Prolog
“Anna, ayo kita menikah!”
Lampu di sekitarku tiba-tiba menyala serempak, membuatku refleks terperangah. Kotak beludru merah yang dilengkapi cincin emas putih yang begitu cantik kini terpampang nyata di depanku.
Itu sangat menyilaukan.
Sayangnya, bukan ini yang kumau. Benar-benar bukan ini yang kumau.
“Aku selalu berpikir kalau pacaran itu sebenarnya salah. Itulah kenapa aku ingin kita lanjut ke jenjang yang lebih serius. Mau, kan, An?” Aku masih mematung ketika Mas Al mengatakan itu. Satu kakinya kini ditekuk ke bawah. Dia telihat menunggu.
“Mas, sebenarnya aku ... sebenarnya ....” lidahku mendadak kelu. Rasanya sulit sekali mengutarakan apa yang ada di pikiran. Serius, aku tidak pernah mengekspektasikan ini. Aku mengiyakan ajakan Mas Al malam ini karena aku ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting, yakni sesuatu yang justru bertolak belakang dengan lamarannya yang begitu tiba-tiba.
Aldika Zavier Adiwilaga. Aku selalu bangga memiliki kekasih sepertinya. Dia tampan, dia tinggi, dia cerdas, dan yang paling penting, dia sangat baik. Namun, akhir-akhir ini aku justru ingin menjauh darinya. Aku ingin hubungan kami selesai sampai di sini.
Jujur, aku tertekan tiap kali dia mengorbankan waktu dan tenaganya hanya demi menemuiku. Kebetulan kami memang menjalin hubungan LDR, yang mana sebenarnya aku sendiri tidak bisa. Aku bertahan sejauh ini demi dia, karena aku sangat menyayanginya.
Sayangnya, akhir-akhir ini aku sadar akan satu hal. Hubungan kami lebih banyak memberi efek kurang baik. Setidaknya bagiku. Aku jadi jarang bisa berkonsentrasi karena sering memikirkannya. Barangkali, itu perasaan rindu. Dan siapa pun tahu, menahan rindu itu tidaklah mudah.
Lagi pula, kami berdua masih muda. Tidak ada jaminan kami berjodoh. Jalan kami juga masih panjang. Aku masih ingin berjuang untuk mimpiku, pun aku tidak ingin membuatnya berkorban lebih banyak lagi.
Aku tahu, aku egois dan naif di saat yang sama. Sayangnya, untuk saat ini aku merasa tidak punya pilihan lain.
Aku ingin fokus pada diri sendiri, mengoptimalkan apa pun yang selama ini dirasa masih kurang. Terutama tentang studiku. Aku merasa tidak akan pernah bisa maksimal kalau pikiranku terbagi-bagi.
“Sebenarnya apa, An? Kenapa diam?”
“Mas Al berdiri dulu ...”
Dia mengangguk.
Saat ini dadaku rasanya campur aduk. Sebetulnya ada sedikit perasaan senang karena akhirnya aku dilamar, tetapi perasaan sedih lebih mendominasi karena sudah pasti aku akan menolaknya. Lamarannya tidak pernah salah, yang salah hanya waktunya.
Aku ini baru lulus sarjana, dan aku masih ingin mengejar magister. Bayangan tentang menikah masih sangat jauh dari anganku.
“Mas, sebelumnya makasih banyak, ya, buat makan malam yang super cantik ini.” Aku mengusahakan untuk tersenyum meski sebenarnya aku ingin sekali menangis. “Dan makasih juga buat bunga plus kado wisudanya. Bener-bener makasih.”
Mas Al diam. Sepertinya dia mulai paham dengan alur pembicaraanku karena saat ini ekspresinya mulai berubah.
“Tapi maaf, Mas, aku enggak bisa menerimanya.” Aku menunduk, lebih tepatnya sengaja menatap cincin dalam beludru merah itu.
“Kenapa, An? Kamu marah karena aku enggak bisa datang ke Semarang dan nunggu kamu pulang ke Jogja?”
Aku buru-buru menggeleng. “Apa aku sekekanakan itu, Mas? Itu terlalu sepele. Alasannya nggak ada hubungannya dengan itu sama sekali.” Justru aku senang dia tidak ke Semarang mengorbankan waktunya demi aku di saat jadwalnya mulai padat.
“Lalu?”
Aku terdiam sejenak, berusaha merangkai kalimat yang tepat.
“Aku merasa masih terlalu muda untuk menikah. Aku belum siap.”
“Itu artinya, aku masih harus menunggumu?”
Aku kembali menggeleng. “Jangan! Jangan tunggu aku.”
“Terus?” Mas Al kini meraih kedua tanganku. “Aku akan menunggumu, An. Kalau kamu belum mau menerima lamaranku sekarang, it’s ok. Aku harus menunggu berapa lama? Satu tahun? Dua tahun? Atau tiga tahun?”
Aku tetap menggeleng. “Aku enggak mau membuat orang menunggu, dan aku pun enggak mau ditunggu. Kalau Mas Al memang sudah ingin menikah, Mas Al boleh banget cari perempuan lain. Yang suka Mas Al kan banyak—“
“Anna! Bisa-bisanya kamu ngomong gitu?” Rahangnya tiba-tiba mengeras. “Aku akan menunggumu. Oke, lupakan malam ini. Anggap aku enggak pernah melamarmu.”
Akhirnya air mataku menetes juga, tapi aku buru-buru mengusapnya. Kuberanikan diri menatap lurus mata Mas Al, lalu tersenyum. “Mas, kita putus aja, ya?”
“Aku enggak mau. Kenapa kita harus putus kalau kita masih memiliki perasaan yang sama?”
“Perasaan yang sama?” aku membeo. “Mas Al tahu apa tentang aku di Semarang? Teman laki-lakiku banyak, lho.”
“Jadi kamu akan berakting kalau kamu selingkuh agar aku mudah meninggalkanmu, begitu?” Dia tertawa sumbang. “Enggak mempan, An.”
“Aku enggak pernah bilang kalau aku selingkuh.”
Jangankan selingkuh, aku bahkan tidak pernah melirik laki-laki lain. Selama dua tahun ini perasaanku hanya untuknya sekalipun aku mendapat banyak pernyataan cinta dari teman-teman.
“Terus apa? Kenapa kamu menyinggung teman laki-lakimu?”
“Aku hanya ingin meralat, kalau perasaan kita mungkin udah enggak sama lagi.” Ini adalah kebohongan terbesar yang pernah aku katakan padanya.
“Oke.” Mas Al kembali tertawa. “Jadi ini maumu? Membalas lamaranku dengan kalimat perpisahan? Tak bisakah kamu pura-pura menerimaku dulu, lalu minta putus esok hari?”
Aku menunduk, air mataku menetes lagi. “Aku minta maaf ...”
“Aku akan berpura-pura malam ini enggak pernah terjadi.”
“Mas, aku serius.” Aku kembali mendongak. “Aku enggak main-main dengan kata-kataku barusan.”
“Aku mengenalmu, An. Jangan kira aku langsung percaya kalau kamu bilang perasaan kita udah beda.”
“Tapi aku tetap mau putus—“
“Dan aku akan tetap menunggu.”
“Mas!” aku memejamkan mata sejenak. “Hubungan asmara itu harus terjalin atas kesepakatan dua orang. Kalau salah satu udah enggak mau, jangan dipaksa. Enggak akan berhasil.”
“Tapi ini terlalu mendadak. Tadi kamu masih excited ketika aku mengajakmu keluar.”
Aku mengangguk membenarkan. “Aku hanya berpura-pura.”
“Aku salah apa, An? Coba bilang.”
“Enggak, Mas Al enggak salah apa-apa. Masalahnya ada di aku. Aku yang ingin menyudahi hubungan ini.”
“Aku tidak mau. Kalau kamu memang mau S2, silahkan. Aku enggak melarang. Aku akan menunggu. Aku cukup sabar.”
“Mas, please ...” aku menatapnya dengan air mata terus mengucur.
“Bagaimana aku bisa mengiyakan kalau kamu malah menangis seperti itu?”
Karena sebenarnya ini sangat berat, tetapi aku tidak punya pilihan lain.
Melihatku yang tak kunjung menjawab, Mas Al akhirnya menyerahkan paksa kotak beludru itu ke genggamanku
“Pakai cincinnya kalau aku masih ada harapan mempertahankan hubungan kita. Kalau benar-benar udah enggak bisa, buang saja. Aku hitung sampai sepuluh,” ujarnya yang terdengar putus asa. “Satu ... dua ... tiga ...”
Aku menatap ke arah sudut kiri ruangan, yakni tempat tong sampah berada. Mas Al masih menghitung sementara aku mulai berjalan. Sebelum benar-benar menjatuhkan kotak beludru ke tong sampah, aku menyempatkan menatap Mas Al untuk melihat reaksinya. Dia kini sedang menatapku tajam.
Dan akhirnya, kotak beludru itu kulepas. Jatuh ke dalam tong sampah menimbulkan bunyi yang tidak terlalu keras, tetapi masih terdengar jelas.
“Anna, kamu betul-betul keterlaluan!” ujarnya penuh penekanan, lalu pergi begitu saja meninggalkan ruangan.
Malam itu, aku yang harusnya berterimakasih banyak padanya, justru menorehkan luka yang mungkin akan dia ingat dalam waktu yang lama.
***
Aksioma - 18 April 2023