“Bu Anna mau ke mana?” tanya Bu Nur ketika melihatku menata meja dan beranjak buru-buru. Aku sudah telat, jadi harus cepat-cepat.
“Mau ke ruangan Pak Al, Bu. Bahas kelanjutan hasil workshop kemarin. Harusnya udah dari jam satu, tapi ini udah setengah dua. Enggak enak kalau kelamaan telatnya.”
Terlepas dari yang mau kutemui itu Mas Al atau bukan, aku selalu merasa tidak enak kalau sampai membuat orang lain menunggu. Aku lebih suka menunggu daripada ditunggu sekalipun banyak orang bilang menunggu itu tidak enak. Bagiku, setidak enak apa pun menunggu, lebih tidak enak lagi merasa terbebani karena membuat waktu orang lain terbuang sia-sia hanya karena menunggu.
Aku tidak bisa mengembalikan waktu mereka yang sudah terlewat. Itulah kenapa aku selalu berusaha tepat waktu selagi bisa. Ayah dan Ibu sudah mengajarkanku dari kecil tentang betapa berharganya waktu yang kita lalui.
“Oh ... iya, iya. Tapi beberapa menit yang lalu Pak Al masih bimbing mahasiswa di ruangannya. Soalnya saya habis dari sana, kasih berkas titipan Pak Fadli.”
“Semoga bener, deh. Biar enggak ngerasa bersalah-bersalah amat karena kelamaan telatnya. Pak Al ada ngajar jam setengah tiga soalnya, Bu. Jadi enggak enak aja kalau saya ngaret. Saya udah free soalnya.”
“Ya udah sekarang Bu Anna segera ke lab aja, barangkali bimbingannya udah selesai.”
“Iya, Bu.”
Sebelum aku pergi, kulihat Bu Nur terus menatapku. Dia tersenyum, dan kali ini senyum itu entah kenapa terasa aneh. Aku berhenti sejenak.
“Kenapa, Bu Nur?”
Bu Nur menggeleng, senyumnya terus tercetak jelas di bibir. “Saya harap suatu saat Bu Anna mau jujur sama saya. Dan saya harap tebakan saya ini benar. Atau minimal mendekati.”
“Maksudnya, Bu?”
Bu Nur kembali menggeleng. “Enggak, Bu, enggak. Saya bercanda. Udah, sana. Segera ke ruangan Pak Al.”
“Iya, Bu. Mari ....”
Sebetulnya aku ingin bertanya pada Bu Nur tentang keanehannya, tetapi sekarang bukan waktu yang tepat. Aku harus segera ke lab untuk menemui Mas Al. Aku harap dia tidak marah karena aku telat datang.
Aku telat karena perutku mulas. Aku di kamar mandi cukup lama sampai rasanya sangat lemas. Ini pasti karena sambal bawang buatan Mama kemarin sore. Tidak cukup pagi tadi aku sudah lama di kamar mandi, ternyata siang ini pun masih sama.
Sesampainya di lab, aku setengah berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Suasana lab tampak sepi. Hanya sesekali terdengar suara orang menjelaskan, sepertinya itu suara asdos yang sedang mengajar praktikum.
Tepat ketika aku baru saja belok menuju lorong lab lantai dua sebelah kanan, aku melihat seorang perempuan keluar dari ruangan Mas Al. Ah, sepertinya itu salah satu mahasiswa bimbingannya. Dia terlihat masih muda dan cantik.
Begitu aku dan mahasiswa itu saling melewati satu sama lain, kami bersitatap sepersekian detik. Di saat yang sama, tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat. Aku berhenti, lalu menoleh ke arah mahasiswa itu. Dia sudah berlalu ke arah yang berlawanan.
Keningku mengernyit heran. “Kok kaya familiar? Aku pernah lihat dia di mana?”
Barusan mahasiswa itu melewatiku begitu saja. Dia bahkan tidak mengangguk untuk sekadar basa-basi. Selama beberapa saat aku masih berhenti dan melihat ke arah berlawanan, padahal dia sudah tidak terlihat dari jangkauan mataku lagi.
“Apa dia salah satu mahasiswa yang kuajar?” aku menggumam pelan. “Ah, entahlah! Enggak penting juga.”
Aku berjalan cepat menuju ruangan Mas Al. Aku mengetuk pintu tiga kali seperti biasa, dan langsung masuk begitu mendapat sahutan dari dalam.
“Maaf, Pak. Saya terlambat agak lama.”
“Enggak papa. Saya juga baru selesai bimbingan.” Mas Al terlihat mengambil sesuatu dari rak sementara aku menyiapkan materi yang akan kami bahas bersama.
Ngomong-ngomong Mas Al, sebetulnya aku masih kesal karena ulahnya tempo hari ketika kami selesai workshop. Ingin rasanya aku marah karena tindakannya yang agak semena-mena, tetapi tetap tidak bisa karena pada ujungnya dia bertanggungjawab atas perbuatannya. Maksudku, setidaknya dia tidak benar-benar tega membiarkanku pulang sendirian setelah sebelumnya menawarkan tumpangan. Anggap saja gocar yang dia pesan sebagai bentuk kompensasi.
“Pak Al ...” panggilku pelan ketika dia tak kunjung selesai memilah. Entah apa yang dia cari sampai harus membuka buku di rak satu per satu.
“Apa?”
“Saya kok enggak asing sama mahasiswa bimbingan Pak Al, ya? Barusan saya ketemu di lorong.”
Kening Mas Al mengkerut samar. “Terus kenapa kalau tidak asing? Wajah seperti itu kan pasaran.”
“Ih, jahat betul ngatain wajah orang pasaran.”
“Siapa yang jahat? Kenyataannya memang banyak orang yang mirip satu sama lain.”
“Iya, sih. Cuma entah kenapa saya ngerasa enggak asing aja. Familiarnya itu agak gimana gitu di mata saya.”
Mas Al kini menatapku lurus. Selalu saja, tiap kali dia sudah pasang tatapan mata tajam, aku pasti mendadak ciut.
“Bu Anna datang kemari untuk mengajak saya bergosip atau menindaklanjuti hasil workshop kemarin?”
Aku meringis. “Maaf, Pak.”
“Jadi gimana? Bu Anna sudah merangkum apa saja?”
Aku segera menyerahkan hasil rangkumanku yang aku ketik dan aku print sekalian. Mas Al menerimanya, lalu gantian dia menyerahkan kertas padaku.
“Ini rangkuman saya. Kita pelajari satu sama lain, lalu nanti cari benang merah. Kalau sudah dapat, nanti kita lebih mudah membuat laporan sekaligus tema jurnalnya.”
“Siap, Pak.”
Aku membaca sekilas rangkuman Mas Al, dan tanpa sadar bibirku sudah mengembang. Untuk ke sekian kalinya, aku merasa amazed dengan bagaimana dia bisa menulis dengan detail seperti ini. Sisi analisisnya tak terbantahkan.
“Kenapa kamu senyum-senyum?”
“Ha? E-enggak, enggak papa, Pak.”
Setelah selesai membaca seluruh rangkuman, aku diam menunggu Mas Al berkomentar. Cukup lama dia membaca rangkumanku, karena sesekali dia menatap layar komputernya.
Sedang begini, aku tiba-tiba ingat saat-saat kami belajar bersama dulu. Kami kuliah di beda kota, tetapi tiap ketemu selalu ada momen-momen kami belajar banyak hal. Tidak pasti membahas materi perkuliahan, kadang-kadang kami berdiskusi tentang fenomena tertentu yang menarik untuk dibahas.
Percayalah, Mas Al tidak hanya cerdas di akademik. Wawasan umumnya juga tak kalah menakjubkan. Sekilas, dia itu sempurna.
Kekurangannya hanya satu, sulit untuk kumiliki kembali.
“Poin kedepalan itu maksud kita sama, kan?”
Aku segera membaca poin kedelapan milik Mas Al. Dia juga menyerahkan kembali kertasku. “Oh iya, bener.”
“Ambil itu aja. Itu kalau Bu Anna setuju.”
“Setuju, Pak. Kebetulan saya suka materi ini. Saya dulu hampir mau masuk analisis, tapi akhirnya kembali lagi ke pilihan awal.”
“Kenapa sempat ingin analisis?”
Aku terdiam.
Tentu saja itu karena dirinya. Aku sempat oleng ingin ambil analisis agar aku lebih mudah belajar dengannya. Mas Al itu ahlinya. Dulu ketika aku kesusahan mengerjakan tugas mata kuliah analisis, dia sering memberi arahan dan akhirnya nilaiku naik.
“Karena ingin aja,” balasku akhirnya. “Tapi enggak jadi.”
Mas Al menatapku dengan alis menekuk selama beberapa detik, lalu manggut-manggut. Andai dia sadar itu karena dirinya, ya bagus. Memang harusnya begitu.
Masa lalu kami memang sudah selesai, tetapi bukan berarti kenangan-kenangan yang kami lalui bersama akan hilang begitu saja. Ini bukan hanya tentang masa-masa kami menjalin asmara, lebih dari itu, saat-saat kami bekerja sama untuk menangkap pelaku pembunuhan Kak Vita. Itu justru lebih mengena.
Kami berdua bahkan sudah saling berkorban nyawa. Katakan begitu, karena kami berdua hampir mati demi melindungi satu sama lain.
“Oke fix, tema kedelapan yang kita ambil.”
“Siap, Pak.”
“Besok-besok kalau ada yang perlu kita bahas bersama, gantian saya yang ke ruang dosen di fakultas. Kita bahas di sana.”
Aku mengangguk. “Baik, Pak.”
***
Sore ini aku pulang lebih cepat karena ingin berkunjung ke makam Kak Vita. Aku sudah ke makam Ibu kemarin, sekarang saatnya gantian. Makam mereka tidak satu arah, juga lokasinya agak jauh. Kalau tidak disempatkan, rasanya selalu tidak ada waktu. Ya meskipun mendoakan mereka bisa dari mana saja.
Sesampainya di makam, tiba-tiba aku ingat seseorang. Dulu ada nenek-nenek yang jualan bunga di dekat makam. Namanya Nenek Sarti. Sejak dua tahun terakhir, aku sudah tidak melihat beliau. Apakah beliau meninggal atau pindah tempat, aku tidak tahu. Atau bisa jadi, aku saja yang tidak beruntung karena kebetulan beliau tidak jualan ketika aku datang.
Baru saja aku masuk area makam bagian dalam, aku dibuat tertegun ketika melihat seorang laki-laki berpakaian serba hitam sedang jongkok di dekat makam Kak Vita. Aku tersenyum. Bahkan dari jauh pun aku tahu kalau laki-laki itu pasti Mas Al. Postur tubuhnya sudah sangat kuhafal.
Heran sekali. Bertahun-tahun lamanya setelah kami putus, kami tidak pernah secara kebetulan datang bersamaan begini. Tiba-tiba hari ini kami kompak ke makam Kak Vita seolah membuat janji.
Sejujurnya, aku sering bertanya-tanya. Setelah hubunganku dengan Mas Al kandas, apa dia masih mengunjungi makam Kak Vita? Bagaimanapun, mereka bersahabat sejak lama, jauh sebelum kami menjalin asmara.
Hari ini aku mendapatkan jawabannya. Terlepas rutin atau tidaknya dia berkunjung, tetapi aku cukup tersentuh karena dia masih mau meluangkan waktunya untuk ‘menjenguk’.
Mas Al dan Kak Vita itu sangatlah dekat, bahkan mungkin Mas Al lebih terpukul daripada aku ketika Kak Vita meninggal. Aku yakin saat itu Mas Al sangatlah hancur. Dia ditinggal sahabatnya untuk selama-lamanya, ditambah dia sendirilah yang menemukan jasad sahabatnya yang terbujur kaku di lantai empat fakultas tempat mereka menimba ilmu. Aku membayangkan betapa traumanya dia saat itu.
Namun, Mas Al itu kuat. Dia akhirnya bangkit dengan cepat dan bertekad ingin menemukan dalang dibalik siapa yang membunuh sahabatnya. Lewat sanalah, kami menjadi dekat dan semakin dekat. Kami yang tadinya hanya sebatas teman online, akhirnya bisa bersua secara langsung.
Rasa-rasanya, kebetulan di antara aku dan Mas Al memang terlalu banyak. Ada saja yang menghubungkan kami berdua. Bahkan di saat kami sudah saling memutus komunikasi, tiba-tiba sekarang kami menjadi rekan kerja.
Kali ini aku pasrahkan saja pada Tuhan karena Dia-lah yang Maha Pengatur Segalanya.
“Ehm!” aku sengaja berdehem agar Mas Al tahu kalau aku ada di sana. Aku ingin dia gantian.
Hari sudah semakin sore, sebentar lagi matahari akan terbenam. Aku takut terlalu lama berada di kegelapan. Apalagi makam bukanlah tempat yang ramah untukku.
Mas Al agak kaget ketika melihatku. Dia mungkin baru sadar kalau hari ini kami berdua ke kampus mengenakan baju serba hitam. Aku pun sama tak sadar sampai aku melihatnya beberapa saat yang lalu.
“Udah boleh gantian atau belum?” tanyaku. “Aku bertanya sebagai Anna adiknya Kak Vita. Aku juga mau jenguk kakakkku.”
Mas Al tiba-tiba tersenyum. Senyum itu tipis. “Silakan.”
Mas Al mundur, tetapi tidak pergi. Makam Kak Vita terlihat basah dan penuh dengan bunga segar yang baru Mas Al tabur. Aku berdoa sejenak, lalu ikut menabur bunga di atas makam Kak Vita.
“Maaf ya, Kak. Baru sempat jenguk. Kemarin aku ke makam Ibuku dulu,” aku berujar pelan, diikuti air mata yang menggenang di pelupuk.
Setelah selesai, aku berdiri di sebelah Mas Al. Kami sama-sama mematung menatap makam yang terlihat asri itu.
Sudah tujuh tahun lebih sejak makam itu ada. Kini makam itu terlihat benar-benar rata dengan tanah. Meski begitu, Ayah dan Mama memberi penanda. Mereka menanam beberapa tanaman di sekelilingnya. Selain itu, batu nisannya pun sudah diganti dengan yang lebih bagus.
“Semalam aku mimpiin jo.”
Deg!
Mas Al menggunakan ‘aku’, itu artinya dia sedang dalam mode melunak. Maksudku, dia tidak dalam mode ‘Pak Al’ yang agak menakutkan.
“Kak Vita lagi ngapain di sana?”
Vita dan Jo adalah orang yang sama karena nama kakaku adalah Jovita. Mas Al memanggil dengan sebutan Jo karena penampilan kakakku ini tomboy. Katanya, panggilan Jo terdengar lebih cocok.
“Aku enggak yakin karena mimpi itu aneh.”
“Konotasi baik atau buruk?”
“Entahlah.”
Aku menoleh, setengah mendongak. Kelihatannya Mas Al enggan bercerita, jadi ya sudah. Aku pun tidak akan memaksa.
“Makasih, Mas, karena sudah nyempetin jenguk Kak Vita.” Aku tidak peduli dengan reaksinya karena panggilanku kembali seperti dulu. Lagi-lagi, aku sedang memposisikan diriku sebagai adik dari sahabatnya.
“Dia sahabatku, enggak akan pernah ada yang bisa mengubah fakta itu.”
“Iya, aku tahu. Tapi tetap aja, makasih.”
“Ya ....”
Akhirnya, kami keluar makam berurutan. Aku lebih dulu, sedangkan Mas Al belakangan. Di sini aku baru sadar kalau mobil Mas Al terparkir cukup jauh dari mobilku. Tadi aku tidak begitu memperhatikan ada mobil terparkir di sana.
“Saya duluan ...” ujar Mas Al pelan, lalu bergegas menuju mobilnya.
Mas Al yang ‘sekarang’ sudah kembali.
“Iya.” Aku mengangguk. “Hati-hati.”
Mas Al tidak mendengar balasanku karena dia benar-benar langsung pergi setelah pamit. Aku masih berdiri di dekat pintu masuk ketika dia berjalan menuju mobilnya. Aku terus bergeming di sana, bahkan setelah mobilnya menyala dan pergi.
Tiba-tiba, aku merasa seperti ditampar realita. Pasalnya, beberapa menit yang lalu aku merasa seperti kembali ke masa lalu. Kini aku harus kembali sadar kalau aku dan Mas Al sudah tidak sama seperti dulu.
Tidak ada lagi Al dan Anna yang kompak. Tidak ada lagi Al dan Anna yang saling melindungi. Tidak ada lagi juga Al dan Anna yang saling perhatian.
Yang tersisa hanyalah satu, Al dan Anna yang saling asing.
***