5. Seseorang di Masa Lalu

2440 Kata
Acara workshop dimulai pukul delapan, tetapi aku dan Mas Al sudah tiba sejak pukul tujuh lebih seperempat. Kami sengaja datang jauh lebih awal agar bisa mengurus administrasi lebih dulu dan memilih tempat duduk yang diinginkan. Mas Al memilih kursi nomor tiga dari depan. Aku ikut saja apa katanya. Tiga dari depan juga tidak buruk karena view ke pematerinya pas. Tidak terlalu jauh, pun tidak terlalu dekat. Perwakilan dari universitas lain ternyata juga rata-rata dosen muda. Aku tebak umur mereka tidak jauh dari umurku dan Mas Al. Bahkan, aku melihat ada salah satu dosen yang tampak seperti anak SMA karena badannya yang mungil dan wajahnya yang baby face. “Wah, ada puding labu!” aku berseru senang begitu melihat makanan kesukaanku ada di dalam kotak snack yang dibagikan panitia. Sepertinya panitia menyediakan ini untuk berjaga-jaga barangkali ada peserta yang belum sempat sarapan. Isinya sangat lumayan untuk mengganjal perut. Dalam satu kotak, aku lihat ada arem-arem berukuran cukup besar, lumpia ayam suir, roti bolu mini, serta puding labu. Selain kotak itu, kami masih diberi air mineral berukuran sedang serta sedotan. “Pak Al sudah sarapan atau bel—“ pertanyaanku terputus ketika melihat Mas Al ternyata sedang menggigit arem-arem sampai mulutnya penuh. “Pasti belum.” Aku mengambil arem-arem milikku lalu memberikan makanan itu padanya. “Saya sudah sarapan.” Ternyata Mas Al menerimanya. Aku sudah cukup senang meski dia tidak berterimaksih. Tak apa, aku baik-baik saja. Hanya satu ucapan biasa, jadi bukan masalah besar. Ya, sekalipun ini seperti bukan Mas Al. Dulu dia tidak pernah lupa mengatakan kata itu kalau habis diberi atau dibantu. Justru dia tak jarang menegurku kalau aku lupa. Orang bisa saja berubah. Ya, aku harusnya tahu itu. “Makasih.” Tiba-tiba satu cup puding labu dia masukkan ke dalam kotak snack-ku tanpa permisi. Aku menoleh. “Buat saya?” “Tidak mau?” “Ya maulah!” aku membalas cepat. “Makasih, Pak.” “Hm.” Ternyata aku hanya terlalu buru-buru dalam menilai. Jujur saja, perlakuan dia padaku akhir-akhir ini membuatku jadi mudah berprasangka buruk padanya. Maafkan aku, Mas Al ... Aku rasa Mas Al masih ingat kalau puding labu adalah salah satu makanan kesukaanku. Nyatanya, dia memilih menukar arem-arem-ku dengan puding labu alih-alih roti bolu atau lumpianya. Dulu, Mas Al sering membawakanku puding labu buatan Kak Dila, kakak perempuannya. Kak Dila pandai membuat puding labu. Bahkan rasanya tak berlebihan kalau aku bilang puding labu buatan Kak Dila adalah yang terenak yang pernah aku makan. “Sudah di-print materi yang kemarin?” tanya Mas Al ketika aku mulai menyuap puding labu dari cup pertama. “Sudah.” Aku mengambil tas, lalu mengeluarkan bendel materi yang aku print kemarin sore. “Sudah dicatat poin pentingnya?” “Baru separuh, Mas—eh, Pak.” Aku menggeleng kuat. “Maaf, maaf. Saya baru sempat baca separuh. Semalam ada acara di rumah, jadi saya kekurangan waktu.” “Biar saya saja sisanya.” “Oke.” Aku menepuk pelan bibirku berkali-kali. Sempat-sempatnya aku keceplosan! Selama menunggu acara dimulai, Mas Al terlihat membaca materi. Sementara itu, aku menghabiskan dua cup puding sampai habis tak tersisa. Andai ada cup ketiga atau keempat atau kelima, perutku rasanya masih sanggup menampung. Tiba-tiba, terdengar bunyi tes speaker dari depan. Aku reflek mendongak, menatap panggung yang akan diduduki para pemateri. Namun, mendadak aku salah fokus pada seserorang yang kini sedang duduk di kursi paling sudut. Itu Mas Fathan, kakak tingkatku dulu. Dia pernah menjadi asdosku ketika aku masih mahasiswa baru. Aku dengar dia melanjutkan S2 di Amerika. Ingin rasanya aku memanggilnya, tetapi tentu tidak mungkin. Acara sebentar lagi dimulai, juga belum tentu Mas Fathan masih mengingatku. “Kenal laki-laki itu?” “Hah?” Aku menoleh. “Apa, Pak?” “Bu Anna kenal dengan laki-laki yang duduk di sudut?” “Ah ... kenal, Pak. Dia kakak tingkat saya dulu. Saya semester satu, dia semester tujuh.” Mas Al mengangguk, lalu tidak mengatakan apa pun lagi. Melihat Mas Fathan di depan sana, entah kenapa membuatku mendadak bersemangat. Jujur saja, aku pernah menyukainya sebelum bertemu Mas Al di semester berikutnya ketika pulang ke Jogja. Bisa dibilang, perasaanku pada Mas Fathan memudar begitu bertemu Mas Al. Kalau bicara sekarang, tentu tidak bisa dibandingkan. Mas Al sudah mengisi hatiku dalam waktu yang lama, sementara Mas Fathan hanya sesaat. Namun, masa depan tidak ada yang tahu. Akhirnya, acara pun dimulai. Aku sudah tidak bisa main-main lagi dan mulai fokus dengan seluruh materi yang disampaikan pemateri. Mas Fathan ternyata jadi moderator. Dia benar-benar terlihat keren di depan sana. *** Jeda isoma, seluruh peserta workshop diarahkan menuju sebuah ruangan besar. Di sana disediakan makanan, juga sofa-sofa untuk istirahat. Fasilitas untuk dosen memang berbeda. Sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan fasilitas untuk mahasiswa yang cenderung seadanya. “Mau duduk di mana, Pak?” tanyaku setelah aku dan Mas Al mengambil menu makan siang. “Di sana saja.” Mas Al menunjuk sofa kosong di sudut kanan timur. “Oke.” Hari ini Mas Al jauh lebih melunak daripada sebelum-sebelumnya. Meski masih jauh dari kata ramah, setidaknya hari ini peningkatannya cukup besar. Tenang saja, aku masih mengingat jelas kata-katanya tempo hari. Aku tidak boleh melibatkan perasaan dalam setiap interaksi kami. Sekecil apa pun itu. Artinya, tentang puding labu tadi pagi anggap saja dia memberiku sebagai balasan terimakasih karena aku sudah memberinya arem-arem. Ngomong-ngomong, untuk makan siang panitia menyediakan box makan khusus. Kasarannya ini seperti nasi kotak, tetapi versi eksklusif. Kalau minum dan cemilan, itu disediakan prasmanan. “Wah, ini sih melebihi ekspektasi.” Aku cukup terkesan setelah membuka box dan melihat isinya. Bagaimana tidak, lauk yang ada bukan sembarang lauk. Di dalam box ada nasi, daging sapi, dua jenis sayur, udang tepung krispi, serta dua jenis saus. Lebih dari itu, susunannya juga sangat cantik. “Kenapa?” Mas Al bertanya pelan. Dia sudah mulai mengunyah. Sudah pasti dia kelaparan. “Karena ini pengalaman pertama saya ikut acara dosen, saya enggak nyangka aja fasilitasnya sebagus ini. Jaman mahasiswa, paling mentok dikasih makan nasi kotak biasa. Kadang enggak dikasih ruangan buat makan, jadi makannya di lantai luar.” “Sebenarnya mau mahasiswa atau dosen, tentang fasilitas itu tetap tergantung panitia penyelenggara. Mereka becus atau tidak mengurusnya, juga cukup atau tidak anggarannya. Cuma memang, biasanya fasilitas untuk dosen tetap lebih baik daripada fasilitas untuk mahasiswa.” Aku mengangguk. “Pastinya, sih.” Suasana di antara aku dan Mas Al mendadak hening. Kami mulai sibuk dengan makanan masing-masing. “Anna ...” Tiba-tiba aku melihat sepasang kaki berdiri di depanku. Aku yang tadinya sedang menunduk hendak menggigit udang, seketika mendongak. Melihat siapa yang datang, aku reflek meletakkan box makanku di meja lalu berdiri. “Mas Fathan? Inget aku?” “Ah ... berarti aku enggak salah lihat.” “Wih, senangnya diingat.” Aku terkekeh. “Ehm!” tiba-tiba Mas Al berdehem. “Oh iya. Duduk dulu, Mas, duduk dulu. Saya lagi makan.” Aku meringis. “Makan aja, An.” Mas Fathan duduk di sofa single sebelah Mas Al, lalu tangannya terulur. “Temannya Anna, ya? Saya Fathan.” Mas Al meletakkan sendoknya, lalu menjabat tangan Mas Fathan. “Aldika.” Tiba-tiba aku merasakan atmosfer yang kurang baik. Jabat tangan mereka juga lebih lama dari yang kukira. “Sekarang udah jadi dosen berarti, An? Soalnya bisa ikut acara ini,” tanya Mas Fathan setelah tangannya dan tangan Mas Al terlepas. “Iya, Mas. Alhamdulillah.” “S2 di mana kemarin? Univ kita dulu?” “Bukan, Mas. Aku ambil di Bandung.” “Ambil terapan, ya?” Aku mengangguk. “Iya. Anaknya Pak Sudibyo tulen, aku, Mas.” Mas Fathan tertawa. “Aku juga dulu anak beliau. Ah, jadi kangen ke Semarang.” “Aku malah udah lama enggak ke sana, Mas.” Aku meringis. “Mas Fathan ngajar di sini, kah?” “Iya.” “Pantesan jadi moderator. Kerennya.” “Nambah pengalaman.” Mas Fathan tersenyum, dan senyum itulah yang dulu membuatku menyukainya. Aku menyukai Mas Fathan tak lama. Setelah dia lulus, perasaanku perlahan memudar. Ditambah lagi aku bertemu Mas Al. Ya sudah, akhirnya perasaan itu perlahan benar-benar hilang. “Ya udah, An. Aku ke sana dulu. Aku ke sini karena mau mastiin itu kamu atau bukan.” “Wah, terharu lho ini.” Mas Fathan tersenyum. “Oh iya, aku boleh minta kontakmu?” “He?” “Enggak boleh?” “Ya bolehlah.” Mas Fathan merogoh ponselnya dan menyerahkannya padaku. Aku segera mengetik nomorku dan mengembalikan ponsel itu. “Ini, Mas.” “Oke. Makasih, ya.” “Sama-sama, Mas.” Akhirnya, Mas Fathan pergi. Aku segera mengambil box makanku untuk melanjutkan makan siang yang tertunda. “Ternyata Bu Anna tipe yang mudah sekali memberikan nomor teleponnya ke orang lain.” Kunyahanku berhenti. “Maksudnya?” “Kalimat saya kurang jelas?” “Dia itu kakak tingkat saya dulu, lho, Pak. Sama-sama orang terapan. Ya masa enggak boleh?” Kenapa Mas Al tiba-tiba bicara begitu? Lagi pula Mas Fathan bukan orang sembarangan. Aku justru senang dia minta kontakku. Lain kali aku bisa belajar darinya. “Oh ...” “Oh? Kalau Pak Al bilang gitu, kesannya saya ini cewek murahan. Asal Pak Al tahu, Mas Fathan itu dulu asdos saya waktu saya maba di Semarang. Dia orang yang saya kagumi waktu maba karena dia itu cerdas dan baik. Salah satu alasan kenapa saya ambil terapan, saya termotivasi olehnya. Jadi dia bukan orang sembarangan buat saya.” “Tersinggung?” “Ya kira-kira saja gimana!” ketusku. Mana bisa aku diam saja dikata seperti itu, seolah-olah aku ini mudah memberikan kontakku pada sembarang orang. Terlebih, aku yakin konteks Mas Al di sini adalah ‘memberikan nomor pada sembarang laki-laki’. Selera makanku mendadak menguap. Meski begitu, aku tetap menghabiskannya daripada mubadzir. Aku mengambil air mineral di meja, lalu segera membukanya. Namun sayangnya, usahaku gagal. Tutupnya terlalu kuat. Aku sampai mengulang dua kali masih saja gagal. Tiba-tiba Mas Al meraih air mineralku dan membukanya. Meski kelihatan susah, hanya dalam sekali putar dia sudah berhasil. Dia mengembalikan air mineral itu padaku tanpa bicara. Detik itu juga rasa kesalku padanya luntur seketika. “M-makasih.” “Saya ke toilet dulu. Jangan pergi, gantian.” Aku mengangguk. “Iya.” Dari arahku duduk saat ini, mataku terus menatap punggung Mas Al yang perlahan menjauh. Aku mengusap-usap d**a kiriku karena jantungku kini mulai berdetak sangat cepat. “Kenapa aku selemah ini, sih!” *** Sesi kedua selesai pukul setengah lima lewat beberapa menit. Aku dan Mas Al langsung antri keluar setelah seluruh pemateri pergi meninggalkan aula pertemuan. Hari ini aku tidak membawa mobil karena mobilku dipinjam Ayah. Mobil beliau lagi di bengkel, kebetulan juga aku sedang agak malas mengendarai mobil sendiri. Aku masih kelelahan setelah seharian kemarin membantu Mama mengurus acara di rumah. “Anna!” suara familiar itu memanggilku. Sesuai dugaan, suara itu memang milik Mas Fathan. Suaranya masih terdengar sama dengan yang dulu, hanya sedikit lebih berat. “Iya, Mas, gimana?” aku berhenti dan menunggu. “Kamu ke kampus naik apa?” “Oh itu, aku tadi naik gocar.” “Enggak bawa mobil?” tanya Mas Al. Dia tampak heran. Kebetulan tadi kami datangnya ada selisih lima menitan, jadi dia tidak tahu kalau aku datang diantar driver. “Enggak, Pak. Mobil saya lagi dibawa Ayah.” “Aku antar pulang, An.” Mas Fathan menawarkan diri. “He?” aku mendelik. “Bu Anna pulang dengan saya. Jadi tidak perlu repot-repot.” Aku semakin mendelik. “Lho, Pak?” “Kami pamit dulu.” Tiba-tiba Mas Al meraih lenganku, lalu setengah menarikku pergi. Aku yang agak kaget hanya bisa pasrah dan menunduk ke arah Mas Fathan untuk pamit. “Duluan, ya, Mas.” “Iya.” Mas Fathan mengangguk. Aku bisa melihat gurat kecewa di wajahnya. Mas Al melepaskan tanganku tepat ketika kami sudah belok menuju area parkiran. Herannya, dari lobi fakultas sampai area itu aku seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Alias pasrah-pasrah saja. “Pak, sebenarnya apa-apaan ini?” Aku berhenti, dan Mas Al pun ikut berhenti. “Saya akan antar kamu pulang.” “Pak Al kesambet, kah? Enggak perlu. Saya bisa pulang sendiri.” “Oke, silakan.” Aku melongo ketika melihat Mas Al tampak tak peduli dan langsung menuju mobilnya. Dia meninggalkanku yang masih berdiri mematung seperti orang bodoh. Karena aku kesal, aku berjalan menyusulnya. “Jadi Pak Al niat atau tidak mau antar saya pulang?” “Awalnya niat. Tapi karena Bu Anna tidak mau, ya sudah.” “Terus kenapa narik-narik saya ke parkiran?” “Saya memang mau ke parkiran, dan Bu Anna tidak melepaskan diri. Kalau tidak mau, harusnya protes.” Aku kehabisan kata-kata. Benar juga, kenapa aku pasrah saja ketika Mas Al menarikku? “Tahu gitu saya pulang sama Mas Fathan aja. Lumayan, irit ongkos.” Rumahku jauh dari kampus ini, sekali jalan bisa lima puluhan ribu kalau naik gocar. Mas Al tidak menyahut lagi. Dia malah dengan santainya masuk mobil dan menutup jendela. Aku menggeram tertahan, menahan diri untuk tidak marah. “Saya duluan, Bu Anna.” Aku tak menyahut. Aku bahkan sengaja memalingkan wajah. Mas Al keterlaluan sekali! Berselang beberapa detik setelah Mas Al pergi, ponselku bergetar. Ada satu pesan masuk, ternyata dari manusia menyebalkan ini. Mas Aldika Ada yang menunggumu di gerbang masuk fakultas. Cepat ke sana. Jangan biarkan dia menunggu. Hah? Apa pula ini? Apa mungkin Mas Fathan? Ketika aku membalas dan bertanya siapa yang menungguku, Mas Al tidak membalas. Boro-boro membalas, dia bahkan tidak membaca pesanku. Akhirnya, dengan langkah setengah kesal aku langsung bergegas menuju gerbang fakultas. Aku celingukan karena bingung. Tidak ada orang yang kukenal di area itu. Mas Al ini mengerjaiku atau bagaimana? “Mbak, Mbak ...” tiba-tiba ada seorang Bapak-bapak menghampiriku. “Kenapa, Pak?” “Dengan Mbak Alanna, ya?” Alisku menekuk. “Iya, saya Alanna. Ada apa, ya, Pak?” “Itu mobilnya, Mbak. Ayo ke sana.” “Lho? Maksudnya?” “Saya dapat pesanan, katanya suruh mengantar Mbak Alanna. Orangnya nunggu di dekat gerbang FMIPA. Begitu.” Aku terdiam sesaat. “Siapa yang pesan?” Bapak-bapak itu mengecek ponselnya. “Eee, ini atas nama Aldika. Katanya saya suruh ngantar Mbak Alanna pulang ke alamat ini.” Bapak itu menunjukkan ponselnya padaku. Dan ternyata alamat itu adalah alamat rumahku. “Ah, iya, Pak. Ini rumah saya.” “Ya sudah, Mbak, mari ke mobil. Sudah sore, takut jalanan semakin macet.” “Iya, Pak.” Begitu naik mobil, aku membuka kolom pesan Mas Al. Dia sudah membuka pesanku, tetapi tidak membalas. Aku segera mengirim pesan ‘terimakasih’ padanya. Hanya dalam hitungan detik, pesanku centang biru. Namun, Mas Al lagi-lagi tidak membalas. “Katanya jangan melibatkan perasaan, tapi kenapa malah kaya gini, sih?!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN