12. Insiden Malam Hari

2524 Kata
Malam ini aku jadi keluar dengan Mas Fathan. Dia menjemputku ke rumah, tetapi tidak pamit dengan Ayah dan Mama karena mereka sedang di luar sejak sore. Meski begitu, aku sudah izin dengan mereka kalau malam ini aku akan keluar bersama kakak tingkat yang kemarin. Mas Fathan jadi mengajakku ke Taman Budaya Yogyakarta. Katanya, di halaman gedung itu dibangun sebuah panggung untuk pentas drama dari para mahasiswa seni. Aku yang memang suka dengan pementasan semacam itu, langsung mengiyakan ajakannya. Kekhawatiran masalah gempa tadi siang sudah sirna karena tidak ada gempa susulan. Katanya, pusat gempa ada di daerah Pacitan. Dan di sana pun terpantau aman. “Acaranya mulai jam berapa, ya, Mas?” tanyaku ketika kami turun dari mobil, lalu menyeberang jalan menuju lokasi. “Jam tujuh katanya.” “Dapat info dari siapa?” “Adikku. Dia kan anak ISI juga.” “Oh, ya? Ikut pentas?” Mas Fathan menggeleng. “Enggak, dia anak disain komunikasi visual. Dia dapat info pementasan malam ini dari teman-temannya.” “Oh, iya iya.” Ngomong-ngomong, Taman Budaya Yogyakarta terletak di area Malioboro. Lokasinya dekat dengan 0 km, juga Pasar Beringharjo. Orang-orang biasanya menyebut tebeye, alias TBY. Terakhir kali aku ke sini sudah sangat lama, yaitu saat Mas Al mengajakku kulineran di Pasar Kangen. Pasar Kangen sendiri adalah agenda tahunan, jadi bukan yang setiap saat ada. Saat itu lokasi Pasar Kangen berada di area TBY ini. Aku memang orang Jogja tulen, tapi aku jarang tahu agenda-agenda seperti itu karena aku banyak hidup di luar kota. Dulu Mas Al sampai terheran-heran karena aku tidak begitu akrab dengan kota sendiri. Namun, ya sudahlah. Aku harus berhenti bicara masa lalu. Itu hanya akan membuatku teringat yang dulu-dulu. “Mas, biar aku aja!” aku menahan tangan Mas Fathan ketika dia hendak membayar tiket. “Enggak. Karena aku yang ngajak, aku juga yang bayar. Kalau mau bayar sendiri, habis ini aja waktu beli cemilan.” “Ya udah, iya.” Sebelum masuk ke area depan panggung, lebih dulu kami membeli cemilan yang dijual di sekitar. Kali ini Mas Fathan mengiyakan ketika aku membayar dengan uang sendiri. Dia sepertinya sadar kalau aku kurang nyaman jika semua-muanya serba gratis. “Mau duduk di mana?” tanya Mas Fathan ketika melihat kursi yang ada sudah terisi separuh lebih. “Belakang aja, Mas. Biar enggak terlalu dekat sama sound system.” “Oke.” Hanya berselang lima belas menitan, acara pun akhirnya dimulai. Pengunjung juga semakin ramai, bahkan banyak yang tidak dapat kursi dan duduk di emper gedung. Pertama-tama, aku ingin membuat story w******p. Aku merekam panggung dan keadaan sekitar. Ketika bagian Mas Fathan, aku segera mengarahkan kamera ke bagian bawah agar wajahnya tidak terlihat. “Wihh, totalitasnya!” Aku terkekeh ketika melihat mahasiswa laki-laki berdandan Ibu hamil. “Padahal ada perempuan, kenapa dia yang dapat peran Ibu hamil?” “Kayaknya dia sengaja ambil tantangan. Aku nebaknya gitu. Semakin jauh dari diri mereka, semakin menantang untuk diperankan. Iya, kan?” “Masuk akal. Biar kesannya enggak biasa-biasa aja.” “Nah, betul!” Setelah satu kelompok berhasil tampil, aku mengecek ponsel. Ternyata banyak pesan yang masuk. Salah satunya ada dari Bu Nur. Pesan yang masuk hampir semua isinya sama. Intinya, mereka penasaran dengan badan laki-laki yang tidak kuperlihatkan wajahnya. Ada yang bertanya terang-terangan, ada pula yang semi meledek. Mas Al masuk dalam list penonton story-ku, tetapi dia tidak membalas apa pun. Aku cek profilnya, kosong, dia tidak membuat story. Profil w******p-nya pun masih yang biasanya, yakni foto dirinya dari belakang. Acara di panggung berlangsung seru sekali. Penonton bersorak ramai tiap kali ada adegan yang lucu, menegangkan, atau bahkan absurd. Beberapa kali aku sampai terbengong dengan akting para mahasiswa di depan. Mereka terlihat sangat professional. “Anna ... “ Mas Fathan tiba-tiba menyenggolku. “Iya, Mas?” “Kamu jauh lebih cantik kalau banyak tertawa seperti ini.” Aku tersenyum. “Makasih, Mas.” Sejujurnya, aku merasa kalau Mas Fathan mungkin menyukaiku. Awalnya aku tak cukup percaya diri menebak itu, tetapi akhir-akhir ini perhatiannya padaku terasa lebih-lebih. Untuk saat ini aku jalani saja apa yang ada di depanku. Kalau kami memang berjodoh, pasti akan ada saja jalannya. Kalau bicara perasaanku padanya, aku hanya sekedar suka. Suka di sini juga hanya mengarah pada perasaan kagum. Sebagian besar hatiku masih dimiliki laki-laki lain, yaitu laki-laki yang hampir setiap hari kutemui di tempat kerja. “Satu pentas lagi kita makan, ya, An?” ucap Mas Fathan yang membuatku menoleh. “Kamu belum makan, kan?” “Belum, Mas.” Aku menggeleng. “Kamu mau makan apa?” Aku meringis. “Aku tuh bingung kalau ditanya mau makan apa.” “Bilang aja apa yang kamu ingin. Aku ikut, soalnya aku enggak pilih-pilih soal makanan.” “Eee ... Kalau Yamie, mau?” Aku kembali meringis. “Tiba-tiba aku kangen makan itu.” “Boleh.” Mas Fathan mengangguk. “Kamu ada rekomendari tempat?” “Ada. Lokasinya enggak terlalu jauh dari sini. Tapi mungkin ketemu beberapa titik macet. Enggak papa?” “Oke, enggak papa.” Sambil menunggu kelompok yang ada di depan selesai, aku membalas satu per satu chat yang masuk. Aku membalas netral saja, sengaja agar yang penasaran semakin penasaran. Aku sebut Mas Fathan sebagai teman dekat. Ya, karena kenyataannya hubungan kami kurang lebih baru sebatas itu. *** “Yamie di sini enak, kan, Mas?” tanyaku ketika melihat mangkuk yamie milik Mas Fathan sudah kosong. Dia baru saja meyuap kuah terakhir. “Enak. Enak banget. Kuahnya ini kental, tapi enggak lebay. Aku pernah makan di tempat lain, ada yang terlalu kental jatuhnya eneg.” “Bener, bener. Ada juga yang kuahnya terlalu bening jadi hambar.” “Iya, itu ada juga. Kamu tahu kedai ini dari siapa?” Mas Fathan mengedarkan pandangan. “Soalnya udah kecil, masuk gang pula.” Aku tidak langsung menjawab karena pertama kali aku tahu tempat ini dari Mas Al. Aku takut kalau menyebut nama Mas Al akan membuat Mas Fathan kurang berkenan. Aku hanya tidak ingin atmosfer di antara kami tiba-tiba berubah. “Dari teman, Mas.” “Oh, tahu aja temanmu makanan yang enak.” “Soalnya dia suka kulineran kaya aku.” Memang, aku dan Mas Al sama-sama suka makan. Sering kali kami berdua hunting makanan ketika sedang keluar berdua. Gaya pacaran kami dulu benar-benar aman. Kalau tidak makan, nonton, ya ke perpustakaan. “Pantes! Lain kali aku harus ajak adikku ke sini. Dia juga suka mie soalnya.” “Wah, sama kalau gitu. Tapi tetep pilih-pilih, sih.” “Kalau Mie Ayam suka?” “Jelas. Kayaknya aku udah jelajah banyak warung mie ayam di Jogja.” “Tapi bukannya kamu merantau? Kapan jelajahnya?” Aku nyengir. “Ya kalau pulang. Kan merantau bukan berarti enggak pernah mudik, Mas.” “Iya juga, sih. Sendiri, dong?” “Kadang sendiri, kadang sama teman.” “Dan seringnya sama Al?” Mas Fathan menebak. Aku mengangguk karena memang itulah kenyataannya. “Dulu iya. Sekarang enggak pernah lagi.” Akhirnya kami beranjak dari kedai yamie setelah minuman habis. Mas Fathan menyuruhku menunggu di mobil sementara dia membayar. “Ini udah jam sembilan kurang sepuluh menit. Mau langsung pulang atau mau ke mana lagi?” “Pulang aja, Mas. Orang tuaku juga udah pulang. Nanti kalau kemalaman aku bisa kena marah. Ayahku ketat banget soal jam malam.” Mas Fathan manggut-manggut. “Ya udah, ayo aku antar pulang.” “Oke.” Baru saja aku naik mobil dan dan memakai sabuk pengaman, tiba-tiba ponselku berdering. Keningku mengkerut bingung ketika melihat nama Mas Al muncul di layar. Ada apa dia sampai telepon malam-malam begini? “Hallo, Mas?” aku menyapa dengan suara tegas. “Hallo?” Lho? Kok suara perempuan?” “Ini siapa ya?” Aku melirik Mas Fathan, dan dia terlihat sedang fokus menatap jalan. “Kami petugas rumah sakit, Mbak.” “He? Terus kenapa nomor Mas Al ada di mbaknya?” Mas Fathan seketika menoleh. “Ada apa, An?” “Nanti kukasih tahu,” balasku sambil menjauhkan ponsel. “Oke.” Mas Fathan mengangguk. “Kenapa, Mbak? Kenapa hape teman saya ada di Mbaknya?” “Orangnya pingsan, habis keserempet motor. Ini nomor Mbaknya yang terakhir dia hubungi, jadi saya hubungi Mbaknya aja.” “Oh, iya-iya. Ini dari rumah sakit mana, Mbak? Biar saya ke sana sekarang.” “RSUD Jogja, Mbak.” “Oke, oke. Wirosaban, kan, berarti?” “Iya, Mbak, betul.” Setelah panggilan terputus, aku langsung minta Mas Fathan menepi. Aku perlu turun dari mobilnya dan putar arah menuju rumah sakit tempat Mas Al dirawat. “Kenapa, An?” “Aku turun sini, aja, Mas. Aku perlu ke rumah sakit sekarang juga.” “Kenapa? Al habis celaka?” Aku mengangguk. “Iya, dia keserempet motor. Enggak tahu juga kondisinya sekarang gimana. Yang jelas dia enggak sadarkan diri. Pingsan, katanya.” “Kenapa kamu yang dihubungi? Keluarga dia kan ada.” “Kata yang nelepon, aku orang terakhir yang dia hubungi. Emang, tadi siang dia nelepon aku soalnya aku di-wa enggak bales-bales. Tadi kami ada bahas masalah materi karya tulis buat workshop lanjutan.” “Ya udah. Biar aku antar kamu ke sana—“ “Enggak. Enggak usah, Mas. Aku naik ojek aja. Kelamaan kalau naik mobil. Apalagi ini jalan searah. Mas Fathan butuh muter, belum nanti kalau kejebak macet.” Mas Fathan kini menatapku lurus-lurus. “Kayaknya kamu masih sepeduli itu sama Al, ya, An? Dia aja kelihatannya enggak peduli sama kamu.” “Masalahnya bukan itu, Mas. Hubungan kami enggak sesederhana itu. Oke, sekarang kami cuma mantan dan cuma berteman. Tapi di luar itu dia tetap sahabat almarhum kakakku. Dia yang membantu keluargaku menemukan keadilan—“ “Maksudnya?” alis Mas Fathan bertaut. “Aku enggak ada waktu buat jelasin semuanya sekarang. Maaf, ya, Mas. Aku harus turun di sini. Makasih banyak untuk malam ini. Lain kali aku yang traktir.” Mas Fathan terlihat hendak menahanku, tetapi aku sudah terlanjur turun dan buru-buru menyeberang jalan. Kusempatkan melambaikan tangan padanya, berharap dia mau mengerti. Aku segera memesan ojek online menuju rumah sakit tempat Mas Al di rawat. Entah kenapa, tiba-tiba aku kepikiran sesuatu. Sesuatu yang tentu saja berkonotasi buruk. Aku harap, Mas Al baik-baik saja. *** “Kok bisa-bisanya sampai keserempet motor segala? Ngelamun atau gimana?” tanyaku ketika Mas Al sedang dibantu perawat memakai arm sling di tangan kanannya. Kata perawat, tangan kanan Mas Al kena stang motor. Itu membuat lengan bagian atas terasa ngilu jika digerakkan. “Enggak tahu. Tahu-tahu ada motor yang nyerempet dan aku jatuh.” Tadi begitu aku tiba di rumah sakit, Mas Al sudah siuman. Terdapat sedikit luka di wajah, tetapi tidak terlalu kelihatan kalau tidak diperhatikan betul-betul. Perawat bilang, Mas Al pingsan karena kepalanya terbentur. Untungnya dia pingsan tidak lama. Kondisinya juga bisa dibilang baik-baik saja untuk ukuran orang yang katanya keserempet motor sampai terguling beberapa meter. “Sudah menghubungi orang rumah?” Mas Al menggeleng. Dia terlihat meringis kesakitan, entah apa yang membuatnya seperti itu. Lengannya, kah? Atau justru kepalanya? “Mana ponselnya, Mas?” “Ini, Mbak. Tadi saya yang telepon.” Perawat itu lebih dulu menjawab. Dia merogoh saku seragamnya, lalu menyerahkan ponsel Mas Al padaku. “Ah, iya, terimakasih.” “Jangan hubungi orang rumah. Aku enggak mau bikin khawatir. Aku baik-baik saja.” Mas Al merebut ponselnya menggunakan tangan kiri. “Ya udah, iya.” Sejak aku datang, Mas Al langsung bicara informal padaku. Aku menyimpulkan, dia akan begitu kalau hanya ada kami berdua tanpa ada orang-orang kampus. “Mau pulang sekarang?” “Ya.” Akhirnya Mas Al turun dari ranjang UGD dan keluar. Aku mengantarnya menebus obat. Dia menyerahkan dompetnya padaku, mengisyaratkan agar aku saja yang membayar tagihan. “Ini obatnya. Nota sama kembaliannya aku masukin ke dompet semua,” ujarku sembari memberikan kresek obat sekaligus mengembalikan dompetnya. “Terimakasih.” “Sama-sama. Oh iya, Mas gimana pulangnya?“ “Mobilku masih ada di dekat lokasi.” “Tadi pelakunya langsung kabur, kah?” Mas Al mengangguk. “Iya.” Aku menghela napas pelan. “Jadi mau langsung pulang atau ambil mobil dulu? Biar aku antar. Anggap aja ini balas budiku buat sore itu.” “Ambil mobil dulu.” “Ya udah.” Aku jalan lebih dulu, sementara Mas Al jalan pelan di belakang. Kakinya terlihat agak tertatih, tetapi aku sengaja diam saja karena dia tidak minta tolong. Jujur, aku tidak ingin terlihat mengkhawatirkannya. Aku juga tidak ingin terlihat menyedihkan kalau sampai dia menolak dikhawatirkan olehku. “Kalau niat nolong jangan setengah-setengah gitu.” Aku menoleh. “Maksudnya?” “Kamu jalan secepat itu, enggak lihat kakiku?” Akhirnya aku diam menunggu. “Jadi aku kudu gimana? Disuruh gendong? Mana kuat? Badanku jauh lebih kecil.” “Ya minimal jangan jalan terlalu cepat gitu.” “Iyaaa.” “Tolong pesenin gocar buat ambil mobilku. Pakai ini. Tujuannya ada di Indomaret Kotagede.” Mas Al menyerahkan ponselnya. Aku mengangguk. Kami jalan pelan beriringan sampai keluar rumah sakit. Gocar sudah kupesan, tinggal menunggu datang. Begitu berdiri di trotoar depan rumah sakit, kulihat Mas Al meringis menahan sakit. Akhirnya aku mendekat. “Kenapa, Mas? Apa yang sakit?” “Enggak papa.” “Enggak papa gimana— Mas!” aku segera menangkapnya ketika Mas Al terlihat akan limbung. “Aku mau duduk,” bisiknya pelan. “Di sini enggak ada tempat buat duduk. Bentar lagi, ya. Ini mobilnya udah mau sampai.” Mau tak mau aku mengalungkan tangan kiri Mas Al ke pundakku. Hanya separuh badan begini saja rasanya sudah sangat berat. “Mas, apa baiknya kita balik masuk lagi aja?” “Enggak mau. Aku baik-baik aja,” “Baik-baik aja gimana, sih? Lemes gini.” “Aku lemes karena belum makan dari siang. Perutku sakit.” “Oh, ya ampun! Kenapa bisa belum makan? Mas kan punya mag!” “Kamu berani memarahiku?” Aku mencebik pelan. “Ya enggak. Ya udah, habis ini beli makan dulu.” Berselang beberapa saat, akhirnya mobil yang kupesan datang. Mobil itu berhenti tepat di depan kami. “Perlu dibantu atau enggak, Mbak?” tanya Bapak Sopir. “Enggak usah, Pak. Cuma tinggal masuk aja.” “Baik.” Aku membuka pintu pobil, lalu sedikit mundur agar Mas Al bisa masuk. Aku jadi penasaran. Sejak kapan dia punya bahu selebar ini? “Hati-hati, Mas ...” “Ya.” Setelah Mas Al masuk, dia bergeser. Aku yang tadinya hendak menutup pintu karena mau duduk di samping supir, akhirnya ikut masuk dan duduk di sebelahnya. “Sesuai titik ya, Mbak?” “Iya, Pak.” Mobil mulai berjalan. Aku melirik Mas Al yang terlihat sedang memejamkan mata. Selemas itu, kah, dia? Aku mendadak curiga. Jangan-jangan selain lapar, darah rendahnya juga kambuh? “Mas ... Mas Al?” aku mengetuk-ngetuk lengannya pelan. Aku takut dia pingsan lagi. “Mas? Mas—“ Kalimatku refleks berhenti ketika Mas Al tiba-tiba menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku juga refleks menahan napas karena kaget. Kuberanikan diri menunduk untuk melihat kondisinya. Matanya masih terpejam, dan kini dadanya terlihat naik turun. Ini bukan naik turun biasa, melainkan seperti agak ngos-ngosan. “Mas, are you ok?” Sayup-sayup aku mendengar Mas Al menggumam pelan. “No, i’m not.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN