13. Mantan Calon Mertua

2317 Kata
“Ini dimakan dulu, Mas.” Aku menaruh tiga onigiri dan satu botol air mineral di meja teras Indomaret. Mas Al kuminta menunggu di sana sementara aku masuk dan membeli makanan di dalam. “Makasih.” Mas Al itu suka sekali makan onigiri, jadi aku membelikan makanan itu daripada yang lain. Padahal, aku lihat di dalam masih ada paket nasi ayam khas indomaret. Melihat Mas Al kesusahan membuka bungkusnya, aku segera meraihnya. Aku membuka ketiga-tiganya sekaligus agar dia bisa makan dengan nyaman. Tak lupa, kubukakan juga air mineral di botol. “Makasih.” “Iya.” Sementara Mas Al makan, aku memijat pelan pundak kiriku. Sesekali aku juga memutar pelan kepalaku. “Pundakmu pegal?” Mas Al menoleh. Dia baru saja menggigit gigitan pertama. “Ya pikir aja sendiri. Badan Mas Al yang sekarang itu gede, lho. Berat.” “Kepalaku tadi pusing.” “Ya orang belum makan dari siang.” “Kenapa bicaramu jadi ketus begitu?” “Ya lagian ...” aku menghela napas pelan, meredakan emosi yang tiba-tiba sedikit naik. Memangnya dia sesibuk apa sampai tidak makan dari siang? “Selain pusing, perutku juga tadi sakit.” “Ya pastinya. Lagi pula Ini udah jam berapa?” Aku melirik arloji di tangan, lalu mendelik kaget ketika sadar saat ini sudah pukul sepuluh malam lewat lima manit. “Ya ampun! Mati, aku. Ayah pasti marah besar!” Aku harus menelepon Ayah sebelum beliau meneleponku lebih dulu. Belum sempat panggilan terhubung, Mas Al sudah lebih dulu merebut ponselku. “Mas—“ “Hallo, Om? Ah, iya, ini saya. Kebetulan Anna lagi sama saya. Saya habis kena musibah, jadi dia lagi bantu saya. Enggak papa, Om. Saya baik-baik saja. Iya, Om, iya. Anna aman, kok. Nanti begitu selesai, dia langsung pulang. Iya, waalaikumsalam.” Aku melongo begitu Mas Al meletakkan ponselku di atas meja. “Masalah selesai.” “Ayah enggak tanya macam-macam?” “Enggak. Asal kamu cepat pulang begitu urusan selesai.” “Bukan main. Ayah lebih percaya sama Mas Al daripada anaknya sendiri.” Mas Al tiba-tiba terbatuk. Aku reflek menyodorkan air mineral padanya. Dia menegak beberapa, lalu menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku enggak bohong. Ayah biasanya akan banyak nanya kalau jam segini aku masih di luar.” “Aku tahu, makanya aku ambil alih biar cepat selesai.” Aku mengangguk, lalu menegak air mineral milikku. Aku masih kenyang, jadi tidak membeli apa pun kecuali minum. “Onigirinya masih ada atau enggak di dalam?” tanya Mas Al ketika dia menggigit onigiri terakhir. “Mas masih lapar? Itu udah tiga, lho.” “Lima juga aku kuat.” “Ya ampun, dasar perut karung!” aku menggumam pelan. “Apa kamu bilang?” Aku tak membalas lagi dan memilih untuk segera masuk indomaret membeli onigiri yang tersisa. Tadi masih dua, semoga belum dibeli orang lain. “Ini dua terakhir. Untung belum dibeli orang.” Aku menaruhnya di atas meja. “Kalau minta lagi udah habis.” “Ini cukup.” Suasana di antara kami mendadak hening. Mas Al menghabiskan onigirinya, sementara aku diam menatap lalu lalang kendaraan yang mulai jarang. Padahal, area sini kalau siang seringnya ramai. “Perutnya masih sakit atau enggak?” tanyaku ketika Mas Al menegak air mineral sampai habis. “Masih, tapi sudah jauh lebih baik.” “Kenapa tadi bisa enggak makan, sih, Mas?” “Kenapa kamu penasaran kalau aku enggak makan?” “Ya nanya aja. Cuma basa-basi.” “Oh.” Hening lagi. Rasanya sulit sekali membangun obrolan yang benar-benar santai. Aku merasa kami masih sangat berjarak. “Mas, ngomong-ngomong tadi keserempet di mana? Kok mobil Mas bisa parkir di sini?” “Itu di depan warung nasi padang.” “Lho? Tapi kok penyerempet bisa kabur? Emang enggak ramai? Biasanya di sini ramai lho. Kalau larut malam ya pengecualian.” “Tadi sepi. Orang yang datang menolong aja telat. Tahu-tahu aku udah di rumah sakit.” “Emang tadi mau beli nasi padang atau gimana?” “Iya.” Berikutnya aku segera berdiri, lalu membereskan sampah di meja. Setelah itu, aku membuangnya di tempat sampah yang ada di dekat pintu masuk. Aku tidak tahan lagi kalau harus terjebak suasana serba canggung begini. Diam-diaman aneh, bicara terus malah lebih aneh. “Mas, ayo pulang!” ujarku setengah berteriak. “Udah malam banget, ini.” Bukannya beranjak, Mas Al malah menatapku seperti tadi. Tatapan itu benar-benar sulit kuartikan. “Iya, ayo kita pulang.” Tiba-tiba saja, jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Kenapa jawaban ‘ayo kita pulang’ ini terasa berbeda? Kenapa pula tiba-tiba aku merasa seperti kami akan pulang ke rumah yang sama? Aku menggeleng pelan. Benar-benar memalukan! Bagaimana mungkin aku bisa kepikiran sampai sejauh ini? “Maksudnya, ayo aku antar pulang.” Aku meralat, entah Mas Al dengar atau tidak. Dia kini sudah berjalan menuju mobilnya dan membuka pintu sebelah kiri. Begitu aku masuk mobil, Mas Al langsung menyerahkan kunci yang dia simpan di saku celana. Aku menatapnya selama beberapa saat. “Mas yakin, kan, aku bisa bawa mobil ini?” Aku tanya begini karena dulu aku belum bisa nyetir mobil saat kami masih bersama. Mas Al beberapa kali menawariku mengajari nyetir, tetapi saat itu aku selalu menolak dengan alasan masih takut. “Siapkan uang ganti rugi kalau sampai lecet.” Aku mencibir pelan. “Tenang aja. Aku jamin enggak akan lecet sedikit pun.” Selama perjalanan pulang, kulihat Mas Al terus memejamkan mata. Duduknya miring ke kiri, menyandarkan kepalanya pada pintu. Napasnya terlihat teratur, tidak seperti tadi. Sejujurnya aku penasaran kenapa tadi aku merasa aneh ketika dia tiba-tiba menyandarkan kepalanya di pundakku. Itu bukan seperti modus. Aku merasa dia seperti agak ... takut? Entahlah ... “Mas, tidur beneran, kah?” tanyaku ketika berhenti di lampu merah. “Mas Al ...” Tidak ada jawaban, itu artinya dia benar-benar terlelap. Tanpa sadar aku tersenyum. Setidaknya malam ini saja, sikapnya padaku cukup hangat. *** “Mas Al ... bangun, Mas!” aku menepuk pelan lengannya. “Udah sampai rumah, ini.” Mas Al membuka mata pada tepukan ketiga. Matanya menyipit sejenak, lalu mengedarkan pandangan. “Ini udah sampai. Rumahnya belum pindah, kan?” aku meringis. “Oh iya, makasih.” “Masuk sendiri, ya. Aku mau langsung pesan ojol—“ “Kamu ikut masuk rumah sebentar.” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak mau. Aku langsung pulang aja.” “Kenapa?” “E-enggak papa.” Aku menjawab pelan, lalu menunduk. Aku hanya terlalu malu kalau harus bertemu Om Dimas dan Tante Shila. Sekalipun Mas Al bilang mereka tidak tahu siapa yang memutus hubungan, tetapi mereka tetap tahu kalau aku adalah mantan pacar anak mereka. Aku masih ingat betul, dulu Om Dimas dan Tante Shila sama setujunya dengan hubungan yang terjalin antara aku dan Mas Al seperti halnya Ayah dan Mama. Mungkin karena mereka tahu aku bukan cewek yang suka neko-neko, juga mereka kenal baik kedua orang tuaku. Ibaratnya, jalan kami dulu memang terbuka sangat lebar. “Setidaknya sapa dulu kedua orang tuaku. Aku masih ingat perkataanku sore itu, jadi kamu enggak perlu berpikir terlalu jauh.” Mas Al mengatakan itu sembari melepas sabuk pengaman. Perkataan yang Mas Al maksud itu tentang kami yang tidak boleh melibatkan perasaan, kan? Tidak hanya dia, aku pun masih ingat betul. Kalau pada prakteknya aku masih sering melibatkan perasaan, setidaknya aku tetap berusaha menekannya agar tidak berharap lebih. “Tetap enggak mau nyapa mereka?” tanya Mas Al lagi. “Ya udah, sebentar aja.” Akhirnya kami berdua turun dari mobil. Aku mendongak menatap rumah Mas Al yang masih tampak sama. Hanya catnya saja yang tampak baru. Mas Al menekan bel. Aku sendiri memilih untuk berdiri di belakangnya. Dalam hitungan menit, kulihat pintu utama dibuka dari dalam. Selanjutnya, tampaklah Om Dimas dan Tante Shila keluar rumah. Om Dimas mengenakan celana bahan panjang dan kos putih, sementara Tante Shila mengenakan piyama terusan panjang berbahan satin. Sepertinya mereka sudah bersiap untuk tidur. “Kamu, Al?” tanya Om Dimas sembari menuruni tangga teras. “Iya, Yah.” Mereka berdua belum menyadari keberadaanku karena badanku ketutupan Mas Al. Begitu gerbang dibuka, Om Dimas terlihat kaget. Entah kaget karena melihat kondisi Mas Al atau justru kaget karena melihatku yang sengaja melongokkan kepala. “Malam, Om ...” aku menyapa pelan, lalu mengangguk sesaat. “Siapa, Mas?” “Saya, Tante.” Aku sengaja bergeser, lalu detik itu juga Tante Shila tampak melebarkan mata. “Anna?” Aku meringis. “Malam, Tante.” “Iya, Malam. Ini kenapa— eh, ya ampun. Tanganmu kenapa, Al?” Tante Shila refleks maju, lalu menyentuh tangan Mas Al yang terluka. “Ceritanya panjang.” Mas Al menjawab pelan. “Yah, aku enggak bisa bawa mobil ke dalem. Ini aja Anna yang nyetir.” “Kenapa tanganmu itu?” “Tadi keserempet motor.” “Kok bisa?” “Nanti aja kujelasin, Yah. Intinya aku baik-baik aja dan Anna yang menolongku.” Tante Shila kini mendekat padaku. “Ayo masuk dulu, Anna.” “Enggak usah, Tante. Saya mau pamit sekarang. Sudah malam.” “Enggak boleh. Kamu enggak boleh pulang sendiri. Meskipun naik ojek atau apa pun itu, jangan. Ayo masuk dulu.” Aku masih ingin menolak, tetapi Tante Shila sudah keburu menarikku untuk masuk. Mau menepis tangan beliau, tentu tidak mungkin. Duh, bagaimana ini? Aku dipersilahkan duduk di ruang tamu. Mas Al pun ikut duduk di sana. Om Dimas duduk di sebelah Mas Al, sementara Tante Shila duduk di sebelahku. “Kok bisa-biasanya sampai keserempet motor, Al? Kamu ngelamun atau gimana?” tanya Om Dimas membuka percakapan. “Aku enggak ngelamun, Yah. Tadi aku lagi berdiri di sebelah warung nasi padang habis nyeberang. Tiba-tiba ada motor yang belok, nyerempet aku kencang banget. Dia langsung pergi gitu aja, akunya pingsan.” “Terus kenapa Anna bisa sampai menolongmu? Kamu meneleponnya? Atau kebetulan kalian lagi ketemuan? Atau sebenarnya kalian udah balikan—” “Bund ... jangan mulai.” Mas Al menggeleng. “Terus?” “Aku dibawa ke rumah sakit, dan perawat menelepon Anna karena dia yang terakhir aku telepon.” “Sebentar ... kok bisa? Kalian beneran balikan?” Kali ini aku yang menggeleng. “Enggak, Tante. Bukan gitu” “Lalu?” Mas Al melirikku sesaat. “Karena sekarang aku dan Anna ngajar di tempat yang sama.” “He?” Tante Shila tampak sangat kaget, bahkan lebih dari tang tadi. “Yang bener, Al?” “Iya. Tanya Anna kalau enggak percaya?” Begitu Tante Shila menatapku, aku langsung meringis. “Maaf, Tante. Siang itu saya enggak jujur.” “Ya ampun. Jadi kalian sekarang rekan kerja, begitu?” Aku dan Mas Al kompak mengangguk. “Iya.” Tiba-tiba Om Dimas dan Tante Shila saling pandang, tetapi aku tidak bisa menangkap bahasa isyarat mata mereka. Anggap saja mareka masih kaget dan tak menyangka kalau aku dan Mas Al bekerja di tempat yang sama. “Wah, ya bagus itu. Kalian bisa—“ “Bun, aku udah ada Kiran. Dan Anna juga udah ada laki-laki lain yang dia sukai. Jangan ungkit lagi masa lalu. Yang lalu biarlah berlalu. Kami bisa tetap berteman karena sekarang kami rekan kerja.” Sungguh tamparan realita yang begitu kuat. Aku tak menyangka Mas Al akan se-to the point itu. Meski begitu, aku agak kesal karena dia sok tahu. Memangnya siapa laki-laki yang kusukai? Mas Fathan? “Iya, Al. Siapa juga yang mau menghubungkan masa lalu kalian. Bunda bilang bagus karena setidaknya hubungan pertemanan tidak putus. Ya kamu dengan Anna, juga Ayah - Bunda dengan kedua orang tua Anna. Begitu, kan, An?” Aku tersenyum. “Iya, Tante.” “Oh iya, Tante sampai lupa nawarin minum. Mau minum apa, An?” “Enggak usah, Tante. Ini sudah malam. Kalau boleh malah saya mau pamit sekarang saja” “Ya sudah, enggak papa. Emang udah malem.” Om Dimas tiba-tiba berdiri, lalu masuk sebuah ruangan yang aku tebak adalah kamar beliau. Berselang beberapa saat, beliau keluar lagi dengan membawa jaket. “Ayo, An. Biar Om antar.” Aku mendelik. “Om mau antar saya pulang? E-enggak usah, Om. Saya pesan gocar saja.” “Kamu enggak takut?” “Takut kenapa, Om? Eee... maksud saya, kan tinggal naik mobil lalu selesai.” “Ikut aja, Anna.” Tante Shila mengusap pundakku. “Tapi, Tante—“ “Beberapa waktu lalu, ada mahasiswa kedokteran yang dilecehkan sama salah satu driver waktu dia pulang kemalaman. Memang kita enggak bisa pukul rata semua driver seperti itu, tapi enggak ada salahnya hati-hati. Jam malam untuk perempuan itu sangat berbahaya.” Tante Shila melirik jam dinding. “Apalagi udah mau tengah malam begini. Jalanan pasti banyak yang sepi.” “Tapi nanti saya ganggu waktu istirahatnya Om Dimas, ini.” “Enggak papa. Sekali-kali. Om berterimakasih karena kamu sudah menolong Al. Ayo, An. Sekarang saja. Ini bukannya Om ngusir kamu, ya.” Om Dimas tersenyum, menujukkan kedua lesung pipinya yang dalam. “Ya sudah, Om.” Akhirnya aku berdiri, lalu mencium tangan Tante Shila. “Saya pulang dulu, Tante.” “Iya, hati-hati.” Aku melirik Mas Al. “Aku pulang dulu, Mas.” “Ya.” Mas Al ternyata ikut mengantar sampai teras. Kunci mobil yang tadi sempat kuberikan padanya, kini sudah dibawa Om Dimas. “Hati-hati, ya, Mas. Cepet pulang.” “Iya, pasti.” Begitu berdiri di samping mobil, tiba-tiba jantungku berdetak sangat cepat. Aku menoleh ke arah Tante Shila lagi, dan beliau malah tersenyum sambil melambaikan tangan. Andai beliau tahu, saat ini aku sedang ketir-ketir. Membayangkan semobil berdua dengan Om Dimas rasanya tak kuat. Sekalipun beliau ini baik dan ramah, tetapi tetap saja aku sangat segan, bahkan nyaris takut. “Hati-hati, Anna. Lain kali jangan lupa main ke sini lagi.” “Iya, Tante. Saya usahakan.” Om Dimas akhirnya masuk mobil lebih dulu. Aku sendiri masih ragu-ragu. Bagaimana ini! Sebelum benar-benar masuk, kusempatkan menoleh ke arah Mas Al. Entah hanya perasaanku saja atau bukan, dia terlihat sedang mengulum senyum. Kenapa dia? Memangnya ada yang lucu? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN