Bab 6 (A) - Kehidupan Orang Jakarta?

1181 Kata
Anindya Athaya Zahran. (Ning Anin) Seorang anak kyai di pondok pesantren yang berparas cantik, terlihat sangat menawan dan menjadi idaman semua santri di pondok pesantren. Bukan hanya itu, dia menjadi contoh yang baik untuk teman-teman di pondok milik ayahnya. “Astaga, aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan laki-laki menyebalkan seperti itu.” kata Ning Anin. Ning Anin kini sudah berada di dalam kamarnya bersama dengan Farha, teman dekatnya yang sangat dia sayangi. Anin hanya memiliki satu teman dekat saja. Meski dia memiliki banyak teman di luar sana namun entah mengapa dia merasa hanya Farha yang bisa dia jadikan teman dekat. Farha terkekeh sambil menutup mulutnya. Ini kali pertama dia melihat bagaimana seorang Anin yang biasanya lemah lembut menjadi begitu uring-uringan. Ntah keajaiban apa yang datang pada temannya tersebut. “Sepertinya kamu sudah tertarik kepada laki-laki itu, Ning.” kata Farha. Ning Anin menatap temannya, dia langsung menggelengkan kepalanya begitu saja, “Jangan menggodaku, Farha, aku tidak sedang bercanda, aku sedang kesal sekali padanya.” kata Anin. Farha pun langsung menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Tapi, Ning. Sejujurnya kalau aku boleh menilai, laki-laki tadi sangat tampan.” kata Farha. Ning Anin langsung duduk di samping Farha. Farha tidak mau duduk di atas tempat tidur Ning Anin karena merasa tidak sopan, padahal Ning Anin selalu mengajaknya untuk duduk di atas tempat tidurnya agar mereka bisa leluasa mengobrol. Namun, Farha masih menghormati sahabatnya itu sebagai seorang anak kyai di pondoknya yang juga harus dihormati. Dia tidak mau berlaku tidak sopan. Dia tahu batas-batas kesopanan. “Ah, Ning? Kenapa duduk di bawah? Di atas saja, tidak apa-apa.” kata Farha. Farha terlihat panik karena Ning Anin duduk di sisinya. Duduk di lantai sama sepertinya, padahal lantai sangat dingin, dan dia jadi merasa tidak enak karena sejajar dengan seorang ‘Ning’. “Tidak apa-apa.” kata Ning Anin. Farha pun tersenyum, Ning Anin memang sangat anggun dan juga baik hati, dia bahkan tidak memiliki sifat sombong sama sekali meski menjabat gelar ‘Ning’. “Jadi, betulkan apa yang aku ucapkan tadi?” Farha mencoba mengajak Ning Anin berbicara lagi. “Apa? Kamu mengatakan laki-laki itu tampan? Astaghfirullah, Farha. Kita tidak boleh zinah mata.” kata Ning Anin. Farha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Habis mau bagaimana lagi, Farha sendiri saja langsung menyukai laki-laki seperti Faiz. “Tapi memang tampan kan?” tanya Farha yang mulai menggoda Ning Anin. Inilah yang Ning Anin suka dari Farha. Farha tidak memperlakukannya dengan begitu sopan. Farha tahu batasan-batasan namun ketika sedang bermain bersama, Farha menganggap Ning Anin sebagai teman bukan sebagai anak kyai pondok yang harus begitu dihormati. “Akhlaknya sepertinya minus.” ucap Ning Anin. Namun, seketika Ning Anin langsung beristighfar, dia tidak tahu kenapa dia bisa mencela orang lain seperti ini. Dia benar-benar tidak sengaja mengatakannya, “Astaghfirullah al-adzim.” Ning Anin mulai mengusap dadanya sendiri mencoba menenangkan diri. Farha tersenyum kepada Ning Anin, “Ning, kamu tidak menyangkal apa yang aku katakan berarti kamu membenarkan.” kata Farha. Ning Anin menggelengkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh Farha memang ada benarnya namun sepertinya dia tidak merasa seperti itu, “Farha, maksudku bukan begitu, aku rasa semua anak laki-laki itu tampan, tidak ada yang cantik.” ucap Ning Anin. “Baiklah, Ning. Tapi Ning sejujurnya ini kali pertama kamu begini, sepertinya akan ada sesuatu.” ucap Farha. “Hus, jangan berkata seperti itu, jangan mendahului apa yang belum terjadi.” kata Ning Anin. Farha tersenyum dan menggaruk kepalanya lagi. Kali ini dia membetulkan jilbabnya begitu saja. “Baiklah, Ning.” ucap Farha. “Memang kalau boleh tahu kenapa kamu terlihat seperti sangat tidak menyukainya?” Ning Anin menghela napas, dia menyandarkan tubuhnya ke tempat tidur, “Dia kurang ajar, dia menatapku secara terang-terangan, lalu mengajakku berkenalan di depan kamar mandi. Dia menyodorkan tangannya ke arahku dan berkata, ‘Gue Faiz’. Ya Allah, mohon kiranya ampuni mulut hambamu ini, Ya Allah.” ucap Ning Anin. “Dia ingin berkenalan, Ning. Bukankah itu hal yang wajar?” tanya Farha. Ning Anin menatap mata Farha. Farha langsung menundukkan kepalanya, dia tentu takut dianggap tidak sopan kalau menatap Ning Anin. “Apakah itu adalah hal yang wajar? Mengajakku berkenalan dengan cara seperti itu?” tanya Ning Anin. Farha menggelengkan kepalanya, “Iya sih, aku akui kalau itu bukanlah tindakan yang wajar, dia seharusnya bisa memosisikan dirinya. Tapi, kalau boleh aku membelanya, dia sepertinya seperti itu di daerah asalnya, Bos. Kudengar anak Jakarta memang seperti itu.” kata Farha. “Anak Jakarta seperti itu bagaimana maksudmu?” tanya Ning Anin. Kali ini, Ning Anin langsung tertarik dengan topik yang dibicarakan oleh Farha. Ning Anin belum memiliki pengetahuan tentang dunia luar. Sejak kecil, dia memang hidup disana, pergaulannya juga sangat dibatasi. Dia bahkan tidak tahu ini dan itu kalau saja Farha tidak menceritakannya. “Maaf, Ning, aku bukannya ingin meracunimu dengan apa yang aku tahu, namun aku hanya ingin memberikan sedikit gambaran saja.” kata Farha. “Iya, tidak apa-apa. Ceritakanlah.” kata Ning Anin yang memang masih sangat penasaran. Farha menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia seperti ingin memastikan kalau di dalam kamar itu hanya ada mereka berdua. “Iya, Bos. Pergaulannya sangat bebas. Mereka tidak memiliki batasan. Maksudku, pergaulan antara perempuan dan laki-laki itu tidak ada batasnya. Mereka terbiasa seperti itu. Bahkan, kalau dia menyodorkan tangannya itu masih tergolong sopan untuk mereka yang berada di sana. Biasanya, mereka malah saling memeluk ketika bertemu.” kata Farha. Ning Anin membelalakkan matanya, dia sungguh tidak tahu mengenai hal tersebut, apakah benar seperti itu? Kini pertanyaan itu berputar-putar di dalam kepalanya. Namun, kalau dilihat dari manik mata Farha, Farha sepertinya tidak akan mau berbohong kepada dirinya. “Astaghfirullah al-azim, kamu tidak bohong, kan?” tanya Ning Anin yang masih terkejut. “Aku tidak bisa memastikannya, namun menurut informasi yang aku dapatkan dari n****+-n****+ yang aku baca dan juga dari beberapa teman santri kita yang dari Jakarta memang seperti itu, Ning.” kata Farha. “N-n****+?” tanya Ning Anin. Farha menganggukkan kepalanya. “Iya, buku cerita. Aku akan meminjamimu kalau kamu mau pinjam.” kata Farha. “Bukankah dilarang membaca itu di pondok kita?” tanya Ning Anin. Farha menggaruk kepalanya lagi, dia memang tahu kalau ada peraturan itu namun dia tetap memilikinya beberapa. Saking dia ingin bacanya dan karena dia suka membaca n****+, beberapa novelnya dia sampul dengan sampul kitab dan dia meletakkannya di rak buku yang ada di dalam kelasnya. Pengurus pondok tentulah tidak bisa melihatnya. “Oiya, maaf, Ning. Jangan laporkan aku ya.” kata Farha. Ning Anin terdiam sebentar. Dia mencoba memikirkan sesuatu. Dia sungguh ingin tahu apa isi n****+. Selama ini dia belum pernah satu kali pun membaca n****+. Dia hanya tahu kalau n****+ itu tidak diperkenankan dibawa di pondok. Ntah karena apa. “Baiklah, aku tidak akan melaporkanmu tapi kamu harus meminjamiku.” kata Ning Anin. Farha terdiam, dia tidak tahu apakah dia boleh meminjami Ning Anin n****+ miliknya atau tidak. Karena membaca n****+ itu dilarang namun dia justru ingin meminjami Ning Anin n****+. “Tapi, Ning. Aku tidak boleh meminjamkannya, aku takut pada Abah.” kata Farha. “Aku tidak akan melaporkannya.” ucap Ning Anin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN