Bab 5 – Awal Pertemuan

1123 Kata
Mendengar apa yang dikatakan oleh anaknya membuat Surya menggeram dalam hati. Dia sangatlah tahu tabiat anaknya. Tanpa dia menanyakan kepada anaknya, dia tahu kalau tujuan anaknya yang sebenarnya bukanlah toilet melainkan gadis itu.   “Iya, Nak. Silakan, kamu masuk saja, toiletnya ada di dalam.” Kata Abah dengan sangat ramah.   “Terima kasih, Pak Kyai.” Kata Faiz.   Faiz pun berdiri dan berjalan masuk ke dalam, tujuannya cuma satu, gadis itu. Dia tidak tahan untuk tidak mengajak gadis itu berkenalan.   “Astaghfirullah al adzim.” Pekik gadis yang tengah dicari oleh Faiz.   Mereka hampir saja bertabrakan. Faiz tersenyum. Semesta sepertinya sedang memihaknya, buktinya dia benar-benar bisa bertemu dengan gadis yang berhasil mencuri perhatiannya itu.   “Hai …” kata Faiz.   Gadis itu tidak menjawab melainkan langsung berbalik dan berjalan ke arah dapur. Faiz mengekorinya. Hal tersebut membuat gadis itu merasa bingung.   “Kamu ikutin aku?” tanya Gadis itu yang sudah tidak tahan karena merasa diikuti oleh Faiz.   Gadis itu berhenti di hadapan Faiz. Faiz hampir sama menabrak gadis itu karena dia memang berjalan di belakang gadis itu.   “Enggak, gue ke kamar mandi.” Kata Faiz sambil menatap Gadis itu.   Gadis itu pun terlihat salah tingkah karena dirinya merasa bersalah. Dia merasa bersalah karena telah menuduh Faiz mengikutinya padahal Faiz hanya sedang mencari toilet.   Pipi gadis itu merona merah karena malu. Faiz yang melihatnya benar-benar merasa terpesona. Gadis itu benar cantik.   Gadis itu mengalihkan pandangannya lalu mengarahkan tangannya ke arah kamar mandi. Faiz pun mengamatinya dengan bingung.   “Ada apa?” tanya Faiz yang tidak mengerti apa yang ingin disampaikan oleh gadis itu.   “T-toiletnya ada di sana.” Katanya.   Faiz pun tersenyum, suaranya begitu lembut dan menyejukkan, ntah mengapa alih-alih berjalan menghampiri toilet dia memilih untuk melangkahkan kaki mendekati gadis itu. Melihat laki-laki yang ada di hadapannya berjalan menuju dirinya, Gadis itu pun langsung mundur.   “Gue Faiz.” Kata Faiz dengan gentle man langsung menyodorkan tangannya ke arah gadis itu.   Gadis itu terdiam tanpa mau menjabat tangan Faiz. “Aku harus pergi. Permisi.” Kata Gadis itu yang lebih memilih untuk kembali ke dapur dan berkumpul dengan teman-temannya.   “Anindya Athaya Zahran.” Faiz menyebut nama gadis itu dengan lengkap.   Gadis itupun langsung menghentikan langkahnya dan berbalik. Dia mulai memicingkan matanya, pasalanya dirinya merasa belum memperkenalkan diri kepada laki-laki tersebut. Wajahnya kini mencetak raut wajah penasaran.   “Namamu kan?” tanya Faiz.   Sebelum gadis itu mengatakan sesuatu, tiba-tiba seorang santri putri datang menghampiri gadis itu. Santri putri tersebut terlihat terkejut saat melihat ada pria tampan berbaju koko yang kini berdiri dua meter dari keberadaannya dan gadis itu.   “Ning Anin, dipanggil Umi.” Kata santri putri tersebut kepada putri kyai tersebut.   “Terima kasih, Farha.” Kata Ning Anin.   Ning Anin melirik Faiz sekilas lalu mengajak Farha untuk pergi meninggalkan Faiz. Faiz memandanga Ning Anin begitu lucu.   Ning Anin? Panggilan yang aneh. Tapi lucu. – batin Faiz.   Faiz menggelengkan kepalanya sebentar sambil tersenyum, “Gue anggap kita udah kenalan ya?” kata Faiz.   Ning Anin tidak mau menoleh, Farha yang ingin menoleh pun tidak diperbolehkan oleh Ning Anin. Akhirnya, Farha hanya berjalan saja.   “Ning, dia ngomong sama Ning.” Kata Farha.   “Biarkan saja. Aku tidak kenal dia.” Kata Ning Anin.   Faiz yang masih mendengar apa yang dikatakan oleh Ning Anin hanya bisa menggelengkan kepalanya dan nyengir lebar. Lalu dia menatap toilet yang sebelumnya ditunjukkan oleh Ning Anin. Lalu dia pun masuk ke toilet tersebut dan keluar lagi.   Faiz tidak membuang hajat apapun di toilet tersebut. Dia hanya ingin melihat toilet yang ditunjukkan oleh gadis tersebut saja. Lagi pula dia tidak sedang ‘kebelet’ apapun.   Toilet rumah pemilik pondok pesantren tersebut sangatlah bersih dan wangi. Faiz benar-benar kagum. Rumahnya di Jakarta tentu jauh lebih besar dari rumah yang sekarang diasinggahi, namun ntah mengapa rasanya begitu berbeda.   Di rumahnya dulu, meski di kamarnya ada AC yang siap mendingink tubuhnya namun tidak sesejuk di sini. Bukan hanya sejut, rumah tersebut terasa begitu damai. Faiz yang tengah mengedarkan pandangannya seketika menarik perhatian Umi, istri dari Abah atau ibu dari Ning Anin.   “Ada yang bisa Umi bantu, Nak?” tanya seorang ibu-ibu.   Faiz pun terkejut namun seketika dia langsung menerka-nerka siapa wanita tersebut dan otaknya pun langsung bekerja dengan cepat. Sekilas beliau mirip dengan Ning Anin. Jadi, Faiz mulai bisa menyimpulkan kalau ibu-ibu yang kini berada di hadapannya adalah ibu dari Ning Anin.   “Saya Faiz, Tante.” Kata Faiz sambil menyodorkan tangan.   “Panggil Umi saja.” Kata Umi sambil mengatupkan tangan di depan d**a sambil tersenyum.   Faiz menarik tangannya kembali dan tersenyum, “Saya tadi abis ke toilet, Umi. Saya datang bersama keluarga saya.” Kata Faiz.   “Oh, iya. Santri baru ya?” kata Umi.   “Kalau diterima sama Pak Kyai sih iya, Umi.” Kata Faiz sambil terkekeh.   Umi tersenyum. Faiz terlihat sangat menyenangkan.   “Mari Umi antar ke depan.” Kata Umi.   Faiz menganggukkan kepala. Lalu Umi dan Faiz pun berjalan ke ruang tamu.   Surya yang melihat anaknya bersama seorang wanita yang seumuran dengan mantan istrinya langsung bisa menebak kalau wanita itu adalah istri dari Abah.   “Kenalkan ini istri saya.” Kata Abah.   Intan langsung berjalan dan langsung bersalaman juga bercipika-cipiki dengan Umi. Lalu pandangannya tertuju kepada anaknya.   Surya dan Intan sama-sama memikirkan hal yang buruk tentang anaknya.   “Kamu tidak melakukan hal aneh-aneh bukan?” tanya Intan penuh selidik.   Surya ditempatnya juga membenarkan pertanyaan yang ditanyakan oleh mantan istrinya tersebut.   “Tidak, Ma. Faiz hanya ke toilet dan bertemu dengan Umi.” Kata Faiz menjelaskan.   Surya, Intan, dan Endang pun beryukur dalam hati. Pasalnya, di hadapan mereka sudah ada sosok yang sangat dihormati, sehingga rasanya tidak etis kalau di hadri pertama Faiz datang, Faiz sudah mempermalukan keluarganya. Terlebih mereka ada di sana untuk turut menangung malu.   “Apa benar, Mbak?” tanya Intan yang seakan tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh anaknya.   Faiz ingin sekali melayangkan protes, namun lagi-lagi dia seakan tidak mau untuk memperpanjang urusan. Biar Umi saja yang menjelaaskan, kalau sudah mendapatkan penjelasan dari Umi tentu semua orang akan percaya.   Umi tersenyum mendengar pertanyaan intan, “Iya, Mbak. Dia hanya dari toilet. Tidak melakukan hal macam-macam.” Kata Umi.   “Syukurlah kalau begitu.” Kata Intan.   “Padahal tidak pernah berbohong, Ma.” Kata Faiz.   Intan langsung menyikut pinggal Faiz hingga Faiz sedikit meringis. “Maaf ya, soalnya saya takut dia buat onar.” Kata Intan.   Faiz menghembuskan nafas. Semua orang pun tertawa mendengar hal tersebut.   “Jadi, bagaimana Faiz? Kamu benar siap masuk pesantren ini?” tanya Abah.   “Mau, Pak Kyai.” Kata Faiz.   “Serius?” tanya Abah.   Faiz menganggukkan kepalanya, “Serius, Pak.” Katanya.   “Baiklah kalau seperti itu kamu diterima di pondok pesantren ini. Selamat menyandang gelar sebagai santri.” Kata Abah sambil tersenyum ramah. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN