"Halo?"
"Halo brader! Kumaha? Damang?" sapa Kenzo di ujung telpon sana.
"Hmm." sahut gue malas.
"Eleuh... Naon atuh?"
"Kenapa lo nelpon gue?" sinis gue.
"Astaghfirullah... Ga ada kangen-kangennya lo sama gue?"
"Najis!"
"Eleuh... Jurig sia!"
Gue malah ngekek denger u*****n Kenzo.
"Selamat hari burung brader!"
Astaga, gue aja ga inget hari ini gue ulang tahun.
"Emang gue ulang tahun hari ini?"
"Lah? Belekok!"
"Pantesan Bunda nelpon gue ke kosan pagi-pagi pas gue mandi."
"Telpon balik sana!"
"Iya."
"Jadi, aya naon? Kenapa lo kedengeran lesu gitu?"
"Anyinglah! Ancur nilai urang."
" Itumah gue juga! You're not alone brother!"
Gue ngekek lagi.
"Masalahnya beasiswa gue hangus, Ken."
"Oh."
Kenzo terdiam sesaat. Begitupun gue. Dia tau banget maksud dari omongan gue.
"Lo udah bayar semesteran belum?" tanyanya lagi.
"Udah."
"Beneran?"
"Iya."
"Ulah bohong ka urang! Gue transferin nih sekarang. Pake dulu aja!"
"Udah. Beneran udah, Ken. Gue jadi cowok malam di sini. Lumayan hasilnya buat nabung dikit-dikit kalau ada yang darurat kaya begini."
"Masih rajin nge-gig lo?"
"Lumayan. Dua minggu lalu gue ngider sama band lokal. Dapet voucher diskon makan pizza."
"Masih doyan pizza?"
"Masihlah. Ntar klo gue nikah, gue mau suruh bini gue masak pizza aja tiap hari."
"Alus! Tinggal sembelit dan diabetes aja lo saban ari. Poreper!"
Dan lagi-lagi gue ngikik sendiri.
"Udah ah. Abis pulsa gue nelpon lo. Baybay brader. Don't miss me, ok!"
"Geleuh!"
Giliran Kenzo yang terkekeh di ujung sana.
"Assalammu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Usai Kenzo menutup telponnya, gue kembali menatap nanar lembar transkip di tangan gue. Harusnya transkip ini gue ambil dari awal perkuliahan. Tapi karena gue udah ngitung manual, semangat gue untuk ngambil ini kertas lenyap begitu aja. Syukurnya cuma transkip tingkat satu aja yang dikirim ke alamat rumah, kalau semua transkip dikirim ga tau deh mau ngomong apa gue sama Ayah dan Bunda. Gue aja kecewa sama diri gue sendiri, apalagi mereka? Rasanya saat ini gue pengen banget nangis sambil guling-guling, sambil teriak-teriak, sambil ngejambakin rambut gue.
Dan efek dari IP semester empat gue yang hanya 2.75 sementara semester tiga kemarin IP gue malah cuma 2.4 jadilah IPK gue jeblok, ga nyampe 3. So, semester ini gue cuma ngambil 22 SKS, ga kaya tahun kemarin yang gue berani ngambil 25 SKS per semester. Artinya apa? Artinya waktu gue untuk nge-gig dan ngamen mungkin lebih banyak. Gue butuh duit lebih banyak karena beasiswa gue hangus. Ya kita lihat aja nanti. Kan masih mungkin. Gue aja ga yakin sih mengingat jadwal kuliah, praktikum dan laporan-laporan yang harus dibuat.
Beneran, gue ngerasa kalau gue salah pilih jurusan. Gue bukannya ga pernah belajar, tapi ya itu, kenapa ya? Sumpah gue aja bingung! Kok bisa ya mata pelajaran yang dulu sampai ngebawa gue sebagai perwakilan sekolah di setiap perlombaan ternyata aslinya segini susahnya?
Gue mendengus lagi. Ga tau deh ini udah yang keberapa kali. Ambyar banget semangat gue kuliah di sini. Fix-lah, gue salah jurusan. Titik ga pake koma. Pasti ga pake tapi. Ngenes bukannya ngeles!
"a*u!" geram gue pelan. Karena kalau ada yang dengar, gue cuma bakalan dicap sebagai mahasiswa yang kufur nikmat.
"Yang kenceng kalo ngumpat. Ga ada yang denger!" ujar Pak Awal, salah satu dosen gokil di jurusan gue. Gokil karena menurut gue beliau layaknya senyawa campuran. Ya asik, ya caur, ya killer, ya resek di saat bersamaan. Tapi, beliau adalah salah satu dosen langka yang mau berbaur dengan mahasiswa tanpa sungkan dan peduli banget sama kita-kita ini.
"Hehehehe. Maaf Pak," ujar gue seraya mencengir.
"Kenapa lo?" tanyanya seraya duduk di samping gue.
"Ga apa-apa, Pak."
"Aman?" tanyanya lagi seraya mendelik ke kertas transkip yang sudah gue lipat tertutup.
"Ancurlah Pak. Ada D-nya pulak. Dan rantai Carbon. Boron-nya cuma sebiji, Pak. A-nya mboten wonten alias ora ono!" jawab gue lesu.
Dan dosen gue itu tertawa terbahak-bahak.
Kurang ngenes gimana coba nasib gue. Udah IP jeblok, diketawain dosen sendiri pulak. Tinggal tunggu telpon nyokap gue aja ntar malam, abis gue diceramahin 3 SKS. Ya, Bunda kebiasaannya begitu, kalau ditelpon pagi gue ga ngangkat, beliau bakalan ngulang nelpon gue ntar malam terlepas dari apakah gue nelpon balik atau ngga.
"Bukan gue kan yang ngasih lo D?" tanya Pak Awal lagi.
"Bukan, Pak. An Or, Pak."
"Anorganik?"
"Ho oh. Hafalannya puyeng."
"Ngaji makanya lo. Ngelayap doang sih kerjaan lo kalo malem."
"Apa hubungannya sama ngaji, Pak?"
"Orang yang rajin ngaji ingatannya jauh lebih baik."
"Kata siapa Pak?"
"Kata gue barusan! Lo budeg?"
"Kagak Pak."
"Gue kira lo budeg. Udah IP jeblok, jomblo, budeg pula."
"Bagian jomblonya jangan di ungkit-ungkit dong Pak."
"Suka-suka gue lah."
Gue cuma bisa mendengus pilu.
"Itu name tag ga pernah lepas ya Pak?" tanya gue lagi, mengalihkan pembahasan sebelum status jomblo gue dikupas tuntas sama beliau sampai ke inti-intinya.
"Ngga. Kalau gue kenapa-kenapa di jalan orang gampang ngenalin gue."
"Oh."
"Udah ah, gue mau ke LT dulu. Ga bakal berubah tuh transkip lo tangisin."
"Kagak nangis saya Pak."
Pak Awal bediri, satu tangannya terulur mengacak-acak puncak kepala gue.
"Assalammu'alaikum." ucapnya seraya melangkahkan kaki. Meninggalkan gue yang masih merasa gagal.
"Wa'alaikumsalam."
Begitu beliau pergi, gue masukin kertas durjana itu ke backpack gue, lalu ngebenerin kunciran rambut gue yang panjangnya udah sebahu. Iya, gue gondrong. Alasannya? Males ke tukang cukur. Rambut gue lurus, hitam pekat, tapi mengingat betapa puyengnya kuliah di jurusan ini, kalau tiba-tiba muncul seutas uban di usia gue yang bahkan baru 20 tahun ini, gue rasa ga bakal aneh. Gue menyampirkan backpack gue di bahu kiri, sementara bahu kanan gue pakai buat ngegendong Cintaku - gitar akustik kesayangan gue. Dengan langkah terseok-seok gue melangkah menuju taman jurusan gue, bersosialisasi sekaligus nunggu kuliah berikutnya dimulai.
"ASSALAMMU'ALAIKUM!" pekik gue dengan sengaja kala mengganggu teman-teman gue yang entah pada ngapain ngumpul kaya ikan teri di depan perpustakaan jurusan.
Oke, biar ga bingung, gue jelasin dulu. Jadi, di dalam gedung jurusan gue ada taman kecil. Di tengah taman itu ada kolam dan air mancur - kecil juga - yang biasanya di jadiin tempat nyeburin mahasiswa yang baru aja lulus sidang skripsi. Taman itu sendiri dikelilingi selasar yang menjadi pemisah antara taman dan beberapa ruangan. Ada empat ruang kuliah, satu ruang penyimpanan reagen alias pelarut-pelarut kimia, dan satu ruangan dengan dinding kaca yang dijadikan perpustakaan jurusan gue.
"Wa'alaikumsalam." jawab teman-teman gue serempak.
"Eh, Do. Kemana aja lo baru nongol?" tanya Ardi.
"Biasalah, TP," jawab gue asal.
"Dapet salam lo dari Anggi. Daripada TP mulu mendingan deketin si Anggi."
"Anggi Ilkom*?"
"Yoi."
"Oh. Wa'alaikumsalam."
"Udah gitu doang?"
"Udah."
"Etdah, kurang cakep si Anggi?"
"Dompet gue kurang cakep! Lo pikir pacaran ga pake modal?" sulut gue.
"Buset! Ngegas aja lo!"
"Udah ah, puyeng gue."
"Sama gue aja gimana Do?" tanya Dona, teman cewe gue yang caur-nya ga pake nanggung.
"Lo pepet si Rizky lah, biar bener dikit otak lo jadi bininya anak DKM."
'Jedug!'
Dan tiba-tiba aja kepala gue di dorong ngejedug ke senderan kursi taman yang ga ada empuk-empuknya. Masih syukur itu si Dona ga nempeleng gue nyium pinggiran kursi yang terbuat dari besi. Ngeri emang mainnya tuh bocah!
"Sakit Dona!" omel gue.
"Sukurin!" makinya.
Syukurnya, hari Rabu begini jadwal kuliah dan praktikum gue ga terlalu padat. Kuliah selesai tepat jam tiga sore. Gue langsung siap-siap ngacir begitu Bu Ana, dosen Kimia Organik gue keluar dari ruang kuliah.
"Kemana lo Do?" pekik Reno salah satu teman sekelas gue. Ketua kelas gue, kalau di kampus gue istilahnya Komti alias Komisi Tinggi, kalau di kampus lain istilahnya Kating alias Ketua Tingkat.
"Ngamen!" jawab gue memekik.
"Futsal, Do!" balas Reno lagi.
"Skip dulu gue, duit gue abis!" ujar gue seraya berjalan cepat meninggalkan ruang kuliah.
Ginilah hari-hari yang gue jalani. Berangkat kuliah pagi, pulang sore, kadang menjelang magrib kalau jadwal praktikum lagi padat banget. Habis kuliah kalau duit gue sekarat, gue langsung ngeloyor pergi ke terminal Baranangsiang, ngamen. Dua kali seminggu gue punya jadwal tetap untuk nge-gig di salah satu cafe di daerah Bantarjati. Dan kalau lagi ada yang ngajak nge-gig di tempat lain, biasanya sih gue sanggupin sepadat apapun jadwal gue. Ya mau gimana, gue butuh duitnya. Dan gue ga nutupin keadaan gue sama sekali dari siapapun. Semua teman seangkatan gue tau banget Edo si manusia kalong. Karena kalau siang kerjaan gue pasti molor. Ada jeda kuliah, pasti gue pulas. Gue bisa tidur dimana aja dan kapan aja. Makanya jangan coba-coba tanya kenapa gue ga kunjung pacaran? Ya dikira-kira aja lah, punya waktu ga tuh gue buat pacaran sementara laporan-laporan praktikum aja gue hanya sempat ngerjain selepas shalat subuh sambil nguap berkali-kali.
Dan di sinilah gue, di antara barisan tempat duduk penumpang di dalam bis antar kota Bogor - Jakarta. Gue memindahkan tas ransel buluk gue ke depan d**a, lalu memposisikan Cintaku di gendongan gue agar siap dimainkan. Begitu bis mulai melaju, gue pun memulai petikan dan genjrengan gue sepanjang jalan. Berhubung gue lagi kangen banget pulang ke Bandung, kali ini lagu pertama pilihan gue adalah Yellow, by Coldplay. Lagu terakhir yang gue nyanyiin bareng sobat-sobat caur gue sebelum melangkahkan kaki ke kota hujan.
"Look at the stars
Look how they shine for you
And everything you do
Yeah, they were all yellow
"I came along
I wrote a song for you
And all the things you do
And it was called Yellow
"So then I took my turn
Oh, what a thing to have done
And it was all yellow
"your skin, oh yeah, your skin and bones
(Ooh) turn into something beautiful
(Aah) you know, you know I love you so
You know I love you so"
***
Gue tiba di terminal bis Baranangsiang tepat pukul 7:45 malam. Dan pastinya, perut gue keroncongan. Tadi ada penumpang yang berbaik hati, dua orang cewek cantik yang sepertinya kakak beradik masukin uang kertas berwarna merah dengan ilustrasi dua orang proklamator ke dalam topi gue. Sumpah gue sampe cengo pas cewek yang lebih tua naruh itu duit. Sampe gue bilang ambil aja kembaliannya sendiri. Ya kali aja dia salah masukin apa gimana. Dia bilang ngga, suara gue bagus katanya. Gue pastiin lagi biar dia ga nyesel begitu turun dari bis, dan dia bilang dia yakin ngasih gue seratus ribu karena udah bikin dia nyaman selama dalam perjalanan Jakarta - Bogor plus ngobatin kangennya dia ke adiknya yang katanya suaranya juga bagus kaya suara gue. Yaelah, geer amat gue. Ya udah, gue iyain aja kan, ga baik nolak rejeki.
Dari terminal, gue ga langsung balik ke kosan gue yang jalannya naik turun bukit itu. Gue naik angkot ke Taman Kencana. Ke sebuah cafe yang menjual pizza yang menurut gue enak banget. Pizzanya tipis, kriuk kriuk gitu. Toppingnya cuma pepperoni dan keju. Dua minggu kemarin gue sempet gantiin gitaris band yang suka nge-gig di cafe sekitaran kota Bogor ini, dan terakhir kita nge-gig di cafe pizza ini. Kopinya juga enak banget. Berhubung gue dapet voucher diskon 50% karena gue nge-gig kemarin, ditambah rejeki nomplok seratus ribu hasil ngamen tadi, sampailah gue di cafe ini lagi. Sekali-kali makan enak ga dosa kan?
Gue lagi asik moles-molesin kuas di atas sketchbook gue, mewarnai gambar-gambar abstrak yang gue bikin pas kuliah Kimia Organik tadi. Udahlah ga usah ceramah pantesan IP gue nyusruk begitu. Lo pada kan ga tau gimana puyengnya gue belajar ilmu yang gue pikir waktu SMA sangkin gampangnya dikedipin juga gue bisa. Ternyata, duh... Sudahlah! Sumpah, gue salah jurusan!
"Kereeen!"
'Nah lo, suara siapa tuh. Bening bener suaranya.'
Gue nengok ke sebelah kanan gue, perlahan kepala gue mendongak, menatap seorang cewek cantik yang lagi fokus tengleng kiri dan tengleng kanan merhatiin gambar gue.
"Lo?"
"Hai..." sapanya riang.
"Lo kan?"
"Ternyata gue ga salah lihat. Gue boleh duduk di sini ga? Meja yang lain penuh."
"Oh boleh kok," ujar gue seraya mempersilahkan cewek itu duduk di depan gue.
"Lo sendiri?" tanya gue lagi.
"Iya. Kakak gue ada urusan di PMI. Jadi gue menjelajah deh. Gue denger-denger pizza di sini enak."
"Oh yang tadi Kakak lo? Dan iya, pizza di sini enak."
"Iya, Kakak gue. Lo udah pesan?"
"Udah. Gue pesan pepperoni and cheese. Lo suka?"
"Suka. Gue pesen pizza lagi atau yang lain biar kita bisa sharing?" tanyanya lagi.
'Sumpah lo sharing sama gue? Lah neng, berasa kawan lama aja.'
"Terserah lo aja."
"Gue pesan pasta deh ya."
Gue ngangguk aja, lalu fokus kembali dengan kuas-kuas gue.
"Nama lo siapa?" tanya cewek itu lagi.
"Edo. Lo?"
"Hannah. Biar gampang panggil Hana aja."
Gue ngangguk lagi.
"Lo mahasiswa?" tanyanya lagi.
"Iya."
"Dimana?"
"IPB."
"Jurusan apa?"
"Kimia."
"Apa?"
"Kimia."
"Hah?"
"Kimia! Kenapa sih?"
Dongkol juga gue, men!
"Lo anak Kimia?"
Nah kan dia ulang lagi!
"Iya," jawab gue malas.
"Ga salah?"
"Sejujurnya, gue pun ngerasa salah banget sih. Salah jurusan."
Dan dia tertawa geli.
"Ketawa aja terus, Na."
Dia masih terkekeh, tapi udah ga sengakak tadi.
"Do, elo tuh artist banget tau ga. Lo jago ngegitar, suara lo juga bagus banget, gaya lo mirip anak-anak yang suka nge-gig, dan liat dong gambar lo, keren banget. Gue aja yang anak design ga bisa bikin lukisan abstrak sebagus lo begitu. Jadi wajar kan gue terpengangah waktu lo bilang lo anak Kimia."
"Bahasa lo Na, terpengangah. EYD banget." ejek gue.
Dia ketawa lagi.
"Jadi lo anak design? DKV?" gantian gue yang nanya.
"Iya."
"Dimana?"
"IKJ."
"Wow! Keren Na."
"Do, karya lo juga keren banget tau. Lo sadar ga sih?"
Gue menggeleng. Apalah yang keren dari gue?
"Gue hobi doang Na. Ga ada yang tau gue suka painting gini. Palingan pada tau gue suka ngamen karena kalau ga ngamen ya gue ga makan. Hahaha."
"Serius?" tanyanya prihatin.
Gue mengangguk.
"Lo asli Bogor?" dia nanya lagi.
"Ngga. Bandung."
"Oh."
Dan akhirnya makanan kami datang. Gue ngeberesin semua perintilan gue yang bikin rusuh di atas meja makan, masukin benda-benda berharga gue itu ke dalam backpack. Sambil diperhatiin lekat sama Hana. Sumpah, ini cewek cantik banget. Udahlah cantik, bening pulak. Mulus terawat dan gayanya enak banget diliat.
"Do..."
"Ya?"
"Lo ga inget gue ya?"
Gue diam. Gimana mungkin gue ga ingat dia?
"Lo yang gantiin gitarisnya The Braga's waktu ngisi di acara prom night sekolah gue kan?"
Gue masih diam. Pura-pura sibuk sama pizza di atas piring gue. Gue ga lupa sama dia. Dia cewek yang nasibnya rada-rada sama kayak gue. Sama-sama mencintai orang yang ga selevel dengan kita. Bedanya dia anak mantan orang kaya yang kalau ga salah dengar Bokapnya bangkrut. Sementara gue dari lahir udah prihatin.
"Edo?"
"Berarti lo ingat siapa gue?"
Dia ngangguk.
"Ngapain lo nanya nama gue tadi?"
"Karena gue pikir lo lupa sama gue."
"Oh."
"Gue ga bawa sapu tangan lo..."
Gue ngangkat kepala gue, nantangin kedua netranya yang juga lekat menatap gue.
"Ambil aja, Na... Gue juga ga ngarepin sapu tangan itu balik kok."
Hana ga ngucap apa-apa, dia kembali menyuap pasta di piringnya yang dia serok dengan potongan pizza.
"Hana apa kabar?" tanya gue akhirnya.
Hana tersenyum, masih sambil ngunyah makanannya.
"Ga apa-apa. Baik. Edo gimana?"
"Ya gini-gini aja, Na. Sehat."
"Edo tiap hari ngamen?"
Gue menggeleng.
"Lo ga malu Na duduk sama gue?" bukannya ngejawab, gue malah nanya dia balik.
"Kenapa gue harus malu?"
"Ya kali aja lo malu, Na."
"Edo..."
Gue senyum, lalu sibuk lagi dengan makanan gue.
"Ngga Edo... Gue malah senang bisa kenal sama orang seulet lo. Apa ya, lo tuh bikin gue sadar kalau keadaan gue ga ada apa-apanya. Hidup lo juga prihatin, tapi lo ga ngeluh, lo berusaha yang terbaik. Iya kan, Do?"
Gue lagi-lagi menggeleng.
"Seni itu hobi gue, Na. Rutinitas malah. Sesuatu yang pasti akan gue kerjain setiap hari apapun keadaan gue. Kebetulan aja gue bisa makan dengan ngandalin skill nyanyi dan main gitar. Tapi kalau soal ga pernah ngeluh, justru kayanya Tuhan aja capek kali dengerin gerutuan gue tiap saat."
"Kenapa?" lirih Hana.
Gue menggeleng lagi, lalu menghapus air dari mata gue sebelum turun dan bikin malu.
"Edo..."
Gue ngekek. Terkekeh pelan.
"Sorry, Na..."
"Kita ngomongin yang lain aja ya? Yang bikin lo semangat dan happy!" ujarnya riang. Seketika mood gue naik lagi. Lucu banget ini cewek. Ekspresinya itu lho, gemas!
"Lo anak pertama ya, Do?" tanya Hana lagi.
"Iya. Kok lo tau?"
"Pembawaan lo mirip Abang pertama gue."
"Emang lo punya Abang berapa?"
"Dua."
"Yang satu yang kata Kakak lo jauh ya?"
"Dua-duanya jauh. Bang Irgi masih fellowship di Cambridge. Bang Dirga usaha dan ambil master arsiteknya di London."
"Wow!" kagum gue.
"Pantes aja cowok lo ngotot banget minta lo juga kuliah over seas, Na." sembur gue lagi.
"Mantan!" ujarnya datar.
"Oh iya mantan."
"Abang-abang lo beasiswa?"
"Iya."
"Sumpah keren banget, Na."
"Tapi sejak Papa bangkrut mereka berjuang sendiri di sana. Uang Papa habis buat nanganin kasus penipuan yang bikin Om gue kabur ga tanggung jawab. Tiap ada duit, debt collector pasti datang. Jadi kedua Abang gue yang nyari uang buat gue sekolah dan kuliah, juga buat Kak Nisa kuliah spesialisnya, buat kami makan, dan lain-lain."
"Oh kalau di sana masih pendidikan kedokteran juga udah digaji ya?"
"Iya. Dari internship juga udah dibayar."
"Keren, Na! Sumpah keren banget! Bilang sama Abang-Abang lo mulai sekarang mereka punya fans!"
Hana terkekeh mendengar ucapan yang padahal gue serius banget bilang begitu. Kurang keren gimana coba? Itu Inggris, men! Negara yang katanya cuma bisa diinjek orang-orang tajir melintir. Ya biarpun mungkin mereka ke sana sebelum Bokapnya Hana bangkrut, tapi bisa bertahan hidup dan nempuh pendidikan segitu panjangnya dengan jalur beasiswa tetap aja bikin gue kagum. Lah gue beasiswa lokal aja melayang! Lepas!
"Thanks ya, Na..." lirih gue.
"Kenapa?"
"Hari ini rasanya gue down banget. Tapi begitu makan bareng lo, I feel better now."
Hana lagi-lagi tersenyum hangat.
"Eh, Do... Sebentar deh."
Hana membuka tasnya, mengambil sebuah notebook kecil, menorehkan catatan di salah satu halamannya lalu merobek kertas itu dan memberikannya pada gue.
"Itu alamat web buat seniman-seniman kayak lo mamerin karya. Jual karya juga bisa."
"Oh."
"Contohnya lukisan lo tadi, nanti lo foto yang bagus, abis itu lo upload. Kalau ada yang tertarik nanti mereka message lo."
Gue terpaku sama rangkaian huruf di atas kertas yang tadi Hana tulis. Jauh di dalam hati gue bersuara, mungkin ini salah satu celah yang Allah kasih buat gue.
"Lo tau ini dari mana, Na?"
"Bang Dirga. Bang Dirga sering publish desainnya di situ waktu kuliah. Dari web itu dia sering dapet client yang minta di desainin entah rumah atau interior. Gue juga suka post ilustrasi-ilustrasi yang gue bikin. Sekedar create jejak digital."
Gue menatap Hana lekat. Rasanya ga pengen malingin mata gue dari wajah cantik di depan gue ini.
"Coba aja, Do. Even bukan buat komersil, at least lo punya wadah untuk nyalurin bakat lo. Punya komunitas yang paham dengan apa yang ada di kepala lo. Punya tempat untuk recharge jiwa lo."
Ya Allah, haru banget gue. Gue baru kenal lho sama dia. Dan dia paham apa yang selalu mengganggu pikiran gue. Gue bukannya ga bersyukur dengan apa yang gue jalanin saat ini. Tapi pendidikan gue ini bukan passion gue. Passion gue itu seni. Mungkin otak gue kuat-kuat aja berkutat dengan ilmu-ilmu sains setiap hari, tapi apa ya, rasanya jiwa gue kosong aja gitu. Dan perasaan kosong itu baru terobati saat gue naik ke bis dan mainin Cintaku sambil bersenandung. Atau nge-gig bareng teman-teman gue. Healing aja gitu rasanya.
"Na... Thank you banget ya..."
"Iya Edo. Sama-sama."
"Edo masih mau di sini?" tanya Hana begitu dia menandaskan strawberry milkshake yang dia pesan.
"Ngga kok. Gue juga udah."
Hana lagi-lagi ngebuka tasnya. Kali ini ngeluarin dompet.
"Na, gue aja yang bayar."
"Ih jangan! Kita sama-sama mahasiswa. Butuh uang, Do."
"Gue ada voucher discount kok, Na. Lumayan jadi setengah harga."
"Oh ya?"
Gue mengangguk antusias.
"Gue minta voucher-nya kalau gitu."
Dan sekarang gue cengo. Melongo bingung. Sementara Hana refleks tertawa geli.
"Buat bayar, Do. Nanti gue tinggal kasih uang untuk pesanan gue."
"Ya gue aja Na yang ke kasir."
"Edo ih..."
"Ga apa-apa, Na..."
"Apaan yang ga apa-apa? Jangan ngadi-ngadi deh lo. Gini aja, nanti kalau udah berhasil jual salah satu karya lo di web yang gue kasih tadi, baru lo traktir gue. Kalau sekarang, sorry to say, gue ga mau ditraktir sama lo. Lagian pesanan gue banyak dan pake acara take away juga."
'Buset, tinggi bener harga dirinya ini cewek!'
Gue mendengus.
"Ok."
Dan menyerahkan kartu voucher gue ke Hana.
***
Selesai makan, gue nganter Hana ke PMI, katanya sih Hana dan kakaknya yang namanya Nisa bakalan dijemput sama tunangan kakaknya itu. Nah Kak Nisa ke sini khusus untuk ketemuan sama sahabatnya. Gue malah jadi kangen sama Kenzo, Ical dan Hasan. Apalagi setelah mereka bertiga kompak nelponin gue hari ini walaupun sekedar ngucapin selamat ulang tahun buat gue. So precious!
"Ya udah Na, gue balik ke kosan ya," ujar gue pada Hana begitu kami sampai di lobby Rumah Sakit PMI.
"Iya. Makasih ya Do."
"Lo hati-hati ya," ujar gue sambil berjalan mundur.
Sumpah, gue ga rela ini malam udah selesai buat gue. Belum apa-apa gue udah kangen. Cantiknya dia, caranya dia mandang gue, caranya dia mahamin gue, caranya dia dengerin gue, tutur katanya dia, caranya dia bergerak, senyumnya, bahkan wangi parfumnya udah bikin gue ga ikhlas melenggang pergi.
"Iya. Lo juga ya."
Ga tau kan gue mau ngomong apa lagi, akhirnya gue balik badan, bersiap melangkah pergi.
'Pengecut banget sih lo, Do! Timbang nanya nomer ponselnya aja lo ga punya nyali!' gerutu gue sunyi, kesal sendiri.
"Edo..." panggil Hana.
Gue otomatis balik badan lagi. Menahan langkah gue biar ga lari deketin dia.
"Ya?" jawab gue sok kalem.
"Lo ga nanya nomer hp gue?" lirihnya.
Gue bengong. Bukannya ga mau nanya, gue takut ga sopan. Dan ya itu tadi, gue ngerasa ga bernyali.
"Kan lo harus traktir gue begitu karya lo ada yang laku, Do. Terus gimana caranya lo ngubungin gue kalau lo ga tau nomer gue?"
'Lah iya ya? Belekok si Edo!'
Gue jalan lagi deketin dia.
"Boleh Na?"
Dia ngangguk sambil nunduk. Imut banget. Semoga aja urusan traktir cuma alesan aja biar gue sama dia ga hilang kontak. Ngarep banget kan gue!
Gue ngeluarin ponsel gue dari dalam kantong celana gue. Ngebuka screen lock dan nyodorin ponsel gue ke depan dia. Dia ngambil ponsel gue, masukin nomer dia di sana. Begitu ponsel yang kurang canggih itu kembali ke tangan gue, gue dial dong nomer dia, biar dia juga nyimpen nomer gue.
"Gue barusan miscall ya Na."
"Iya," ucapnya sambil tersenyum. Ngeri khilaf gue. Sumpah!
"Na..."
"Hmm..."
'Ayo, Do! Ulah jadi pengecut maneh!'
"Kalau nanti... Nanti Na... Kalau gue udah cukup sukses. Gue boleh minta sesuatu ga?" tanya gue dengan detak jantung yang menggila.
Seenggaknya kalau tiba-tiba gue kena serangan jantung, gue bakalan tetap aman karena posisi gue di rumah sakit. Luar biasa emang ini cewek. Baru kenal aja udah bikin gue kebat kebit begini. Duh Allah... Pasti pas nyiptain dia pas Allah lagi happy banget!
Hana mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan gue. Atau karena gue setengah bengong?
"Boleh ga Na?"
"Emang apa?" Hana balik bertanya.
"Gue pengen minta, lo jadi cewe gue," ujar gue pelan, tapi gue yakin dia pasti dengar.
Hana terdiam. Kedua manik matanya yang kelam menatap gue lekat. Gue pengen banget lari deketin dia.
"Nanti aja Na, dijawab kalau gue udah cukup sukses. Kalau sekarang, even lo mau jadi cewek gue, gue cuma bakal bikin lo malu. Makan aja kita patungan kaya tadi Na, padahal gue punya voucher diskon," tutur gue apa adanya.
Gue emang miskin, tapi gue punya harga diri. Dan ga bisa bayarin dia - yang memang faktanya kalau gue bayarin semua pesanan kami tadi, gue musti ngamen lagi dua hari ke depan - beneran ngejatuhin harga diri gue.
"Edo..."
"Ya udah, gue balik ya Na..." ucap gue seraya tersenyum semanis mungkin buat dia.
Baru aja gue mau melangkah, suara Hana udah menyapa pendengaran gue lagi.
"Edo... Kalau ke Jakarta kabarin ya. Nanti gue sediain waktu nemenin lo makan enak."
Gue lagi-lagi cuma bisa senyum. Baru segini aja gue udah bahagia banget.