BAB 7: HANNAH - SANG PENGAMEN

3672 Kata
Papa: Pacar Papa sudah jalan? Hannah: Lagi nunggu Diani, Pa Papa: Papa selesai praktek jam 8:30. Tadi sudah visit. Jadi nanti Papa langsung jemput ke lokasi. Ok? Hannah: Beneran Papa bisa? Papa: Bisa dong sayang. Hannah: Kalau ga bisa kabarin ya Pa. Nanti Adek pulang naik taksi atau nebeng teman aja. Papa: Papa pasti datang. Don't worry. Hannah: Ok. Love you Papa. Papa: Love you too pacar Papa. Aku mengunci layar ponselku setelah berbalas pesan dengan cinta pertamaku. Sebenarnya aku malas berangkat ke prom night malam ini. Malam yang dielu-elukan sebagai malam perpisahan dengan masa putih abu-abu. Entahlah, membayangkan akan bertemu lagi dengan Farel membuat perutku ngilu. Rasanya tak nyaman harus berada di satu ruangan lagi dengannya. Setelah beberapa waktu lalu aku memutuskan hubungan kami, Farel masih terus berusaha menghubungiku. Aku bukannya tak lagi mencintainya, masalahnya kata-katanya membuat egoku begitu terpukul telak. Mungkin aku tak akan begini jika yang menuturkan kata-kata itu adalah orang lain. Tapi ini Farel. Orang yang sudah menjadi kekasihku tiga tahun terakhir. Orang yang sudah kukenal dan menjadi salah satu orang terdekatku sejak masa putih biru. Orang yang kusangka paling mengerti keadaanku. Mendengarnya mengatakan jika aku memilih kuliah di negeri ini maka aku tak akan selevel dengannya benar-benar mengiris hatiku. Apa sebegitu picik cara berfikirnya? Apa selama ini dia bersamaku hanya karena merasa aku dan dia berada di level yang sama? Apa jika sedari dulu aku hanya anak orang biasa dia akan mendekati dan mencintaiku? Apa dia tak pernah memikirkan orang tuaku sementara selama mengenalnya aku begitu menyayangi orang tuanya? Ya, kurasa keputusanku sudah benar dan bulat, aku tak akan membuka hatiku kembali untuknya. "Na..." tegur Diani - sahabatku, memecah lamunan pilu di kepalaku sedari aku mendudukkan diriku di atas sedan hitam yang dikemudikan oleh supir keluarganya. "Ya?" "Lo yakin ga mau perbaikin hubungan lo sama Farel?" "Iya," jawabku malas. "Na... Farel bilang, dia masih cinta sama lo." Aku diam saja. Aku tau, Farel pasti meminta Diani untuk bicara denganku karena aku tak pernah mau menjawab panggilan ataupun pesan-pesannya. "Na..." "Gue ga mau bahas ini, Di." "Tapi kalian kenal udah dari SMP lho. Dan kalian udah tiga tahun pacaran. Apa ga sayang, Na? Gue rasa, Farel ga bermaksud merendahkan lo." "Lo pasti nganggep gue terlalu sensi ya?" sinisku. "Bukan gitu, Na." Aku diam. Kemarin Farel, sekarang Diani. Apa tak ada satu orangpun yang memahami kesulitanku? Kegelisahanku? Keadaanku? "Na... Maaf. Jangan marah, Na..." lirih Diani. "Lo sahabat gue, tapi lo justru dukung Farel," sinisku lagi. "Maaf, Na... Maksud gue ga gitu." "Ya udah, kalau lo ga bermaksud begitu, ga usah baik-baikin Farel di depan gue. Harusnya lo di sisi gue dong apapun pilihan gue. Toh pilihan gue bukan pilihan yang sesat dan ga ngerugiin siapa-siapa kan?" Diani terdiam mendengar kekesalanku. Aku menutup kedua netraku, menahan emosi negatif yang begitu membuncah di dalam d**a. Sudah kubayangkan akan seperti ini. Jika bukan karena menghindari pertanyaan Mama dan Papa kenapa aku enggan pergi, harusnya sedari awal aku tak usah datang ke acara pesta ini. "Na... Maaf." "Hmm..." Diani mengulurkan kedua tangannya, menggenggam kedua tanganku yang mengepal di atas pangkuan. "Gue dukung apapun keputusan lo. Apapun itu, Na..." Aku menatap nanar kedua netra sahabatku. Memastikan kejujuran di balik pandangannya. "Nanti gue bantu hajar itu mantan lo! Oke?" Aku mendengus, memberi senyum malas pada Diani. "Na..." "Iya, gue maafin." "Nah, gitu dong!" ujarnya riang seraya merengkuhku dari samping. Kami sampai di lokasi acara sekitar pukul tujuh malam. Benar saja, begitu aku dan Diani melangkahkan kaki memasuki gedung yang digunakan untuk acara malam ini, Farel sudah menembakkan tatapan sendunya ke arahku. 'You can do this, Hannah!' ucapku sunyi pada diri sendiri. Aku memilih menyapa teman-temanku yang lain, berusaha menghindar dari Farel dengan cara yang cantik, walaupun aku tau usahaku gagal total. Semua orang tau hubungan kami, jadi jika malam ini Farel datang sendiri dan aku datang bersama Diani lalu begitu sampai kami tak terlihat bersama, jelas sudah hubungan kami kini statusnya tak lagi sama seperti sebelumnya. "Hana," tegur Farel seraya mencengkram pelan kedua lenganku. "Let's talk, please," pintanya di telingaku. Lembut sekali. Bahkan darahku masih berdesir saat ia melakukan kontak fisik seperti ini. Ya, aku tau, aku begitu mencintainya. Aku tak menyangkalnya sama sekali. Aku membiarkan Farel membawaku keluar dari keramaian ruangan itu menuju selasar yang mengitari gedung yang kami gunakan. Begitu kulihat tak lagi ada yang mungkin bisa mengawasi kami, aku menjauh darinya. "Hana..." keluh Farel. Ia mendekat lagi, mencoba menggenggam tanganku. Aku menepisnya, melukiskan gurat kesal di wajah tampannya. "HANA!" pekiknya. Putus asa menghadapi sikapku. Ia mengulurkan tangannya lagi, memaksa menggenggam tangaku. "LEPAS!" aku balas memekik. Farel terdiam. Membeku, terkejut akan suara lantangku yang baru kali pertama didengarnya. "Kamu ga bisa mutusin aku seenak kamu begitu dong, Han!" akhirnya suara lirihnya menyapa pendengaranku. "Kenapa ga bisa? Lo aja bisa ngomong seenaknya sama gue!" 'Ini aku Rel. Hana yang begitu mencintaimu, Hana yang percaya sama kamu, Hana yang ga pernah meragukanmu. Kenapa kamu tega membuangku dengan kata-katamu yang begitu merendahkanku?' Aku melangkah lagi. Berjalan tergesa menuju balkon gedung yang tak jauh dari tempatku berdiri. Melewati seorang cowok yang duduk di anak tangga - membelakangi posisi kami sebelumnya - sambil bersenandung pelan. "Kita udah ngomongin ini sejak kita naik ke kelas tiga Han!" lirih Farel lagi. "Lo yang ngomongin ini mulu! Gue ingetin, gue ga pernah iyain keinginan lo ini!" pekikku. Aku bosan membahas permasalahan ini. Kenapa Farel tak kunjung mengerti keadaanku dan keluargaku? Apa dia menganggap apa yang terjadi pada Papa hanya guyonan belaka? "Gila! Kamu anggap aku apa sih Han? Kupikir kamu cinta sama aku." sinis Farel. 'Gila?' "Iya, gue emang cinta sama lo. Makanya gue dukung keinginan lo kuliah di NUS. Tapi itu bukan keinginan gue, Rel. Apa pernah sekali aja lo nanya apa yang gue mau?" bentakku lagi. "Hana..." Farel lagi-lagi melirih sendu. "Udahlah Rel, kita putus, pisah jalan, jalan masing-masing. Seperti kata lo, lo bakalan jadi lulusan luar negeri, gue cuma lulusan dalam negeri, dan kita ga selevel. Lagipula dari awal kita udah ga selevel kok, lo anak orang kaya turun temurun, gue anak pengusaha yang bangkrut!" tuturku lagi. Sinis. "Ga bisa segampang itu dong Han!" "Lantas mau lo apa?" "Han, please, pikirin lagi... Kamu kan yang bilang kalau Abang kamu siap kuliahin kamu dimana pun. Please Han, ikut aku. Kita kuliah di Singapore sama-sama." 'Ya Allah, itu lagi.' "GA BISA, FAREL!" aku membentaknya lagi. "Kenapa?" "Kalau gue bilang ga bisa ya ga bisa!" "Aku cinta kamu, Han..." Sesak. Rasanya begitu sesak. Apa dia tak tau, justru karena aku mencintainya setiap penuturan dan ketidakpengertiannya benar-benar menyayat hatiku? "Sorry, Rel. Gue juga cinta elo. Tapi masalahnya, gue jauh lebih mencintai Mama dan Papa. Dan gue ga bisa ninggalin mereka." lirihku akhirnya. Tak berharap ia akan mengerti. Toh ia tak akan paham, ia tak mengalami apa yang aku alami. "Han..." "Stop it, Rel. Please..." keluhku. "Ok. Kalau gitu kita jalanin apa adanya. Kita ga perlu putus, Han," pinta Farel. "Oh, I'm sorry to say kalau gue ga minat dengan long distance relationship," dustaku. Aku sanggup jika memang harus menjalani hubungan jarak jauh, tetapi tidak dalam keadaan seperti ini. Aku mengalami krisis kepercayaan padanya. "Hana... Aku benar-benar minta maaf. Aku tau aku salah. Aku ga bermaksud merendahkan kamu." Aku terkekeh sinis. Setelah aku sebegini kecewanya, ia baru menyadari apa yang membuatku semarah ini padanya? "Terlambat, Rel." "Hana..." "Gue pikir, tiga tahun bareng-bareng bikin lo ngertiin gue dan keluarga gue. Ternyata cuma karena masalah pilihan gue untuk kuliah di sini, lo tega bilang gue dan lo ga selevel. Mungkin buat orang lain omongan lo cuma sekedar omongan ga sengaja atau ga serius. Tapi gue dan keluarga di tahap menata ulang kehidupan kami, yang kami ga tau apa kami bisa bangkit lagi atau ngga. Sangkin takutnya gue dengan ujian yang lagi Allah kasih ke keluarga gue, gue cuma bisa berharap Mama dan Papa ga sakit karena masalah ini. Dan tau-tau lo bilang kita ga selevel?" "Hana... Maaf... Aku benar-benar minta maaf." Aku bisa melihat betapa ia menyesal akan peliknya hubungan kami kini. Betapa ia berharap aku mau memberinya kesempatan lagi. "Sorry, Rel. Gue belum bisa maafin lo. Gue ga tau nanti. Yang jelas saat ini, omongan lo ngelukain harga diri gue. So sorry, hubungan kita udah berakhir. Kayak tadi gue bilang, kita jalan masing-masing," tutupku tegas. Aku melangkah, melewatinya secepat mungkin agar ia tak melihat bulir-bulir yang tak mampu lagi kubendung dari kedua pelupukku. Sakit. Ternyata begini rasanya. Setelah beberapa saat hanya terdengar suara heels-ku yang beradu dengan lantai marmer, aku mendengar derap langkah yang tergesa di belakangku. Lalu, kedua tangan yang begitu kukenal memelukku erat. Wajahnya tenggelam di ceruk leherku, terisak sunyi dengan air mata yang membasahi kulitku. "Farel..." Ia masih terisak. Akupun tak mampu menahan laju air mataku. Aku memaksa berbalik, menatapnya yang tertunduk lesu. Kedua tangaku terangkat, menangkup lembut wajah yang begitu aku sayangi. "Maafin Farel, Han..." isaknya. "Farel masih cinta Hana..." gumamnya lagi, nyaris tak berbentuk karena beradu dengan isaknya. "Rel... Hana sadar, Hana banyak berubah sejak masalah di keluarga Hana datang. Hana sadar, sikap Hana sering nyakitin Farel." "Ngga, Han..." "Hana pun cinta sama Farel. Tapi, kalau kita lanjutin, kita berdua cuma akan makin terluka." "Hana..." "Maafin Hana..." Farel memelukku kembali. Menumpahkan isaknya di bahu dan ceruk leherku. Aku membiarkannya, menunggunya hingga tubuhnya tak lagi bergetar. "Janji sama aku, kamu ga akan jauhin aku, Han," pintanya sendu. Apakah akhirnya ia menyerah? Aku mengangguk lemah. "Satu hari nanti, begitu keadaan kita membaik, aku akan memintamu kembali menjadi kekasihku." "Farel..." "Aku selalu bangga sama kamu, Han... Maafin aku yang terlalu egois karena selalu menginginkanmu di sisiku." Farel menunduk, melabuhkan kecupan hangatnya di bibirku, beranjak mengecup kedua pipiku, lalu puncak hidungku, menuju keningku, sebelum kembali mengecap bibirku beberapa saat. "Aku selalu mencintai kamu, Han," ujarnya lirih lalu pergi meninggalkanku yang terduduk lesu menumpahkan isak tangis. Aku menenggelamkan wajahku di antara kedua lutut dan tubuhku, mencengkram erat kedua kaki berharap agar tubuh ini tak hancur berkeping-keping, karena memang seperti itulah rasanya. Hingga satu tanganku digenggam seseorang. Ia meletakkan sapu tangan berwarna biru muda di telapak tanganku sebelum melangkah menjauh. Aku yang terlambat mengangkat kepalaku hanya bisa menatap punggung cowok itu, cowok yang sama yang tadi bersenandung pelan tak jauh dari tempatku dan Farel bertengkar. --- "Na... Lo dari mana?" "Oh, nyari angin aja. Kenapa, Di?" "Bukan sama Farel?" "Ngga," dustaku. "Ini, tadi Farel nitip ini ke gue." Keningku berkerut menatap Diani. "Tadinya gue pikir lo sama Farel. Tau-tau dia nyamper gue ngasih ini, nitip buat lo katanya, abis itu dia pergi." "Pergi?" "Iya. Dia bilang dia mau balik. Ga enak badan katanya." Aku terdiam. "Lo ga apa-apa, Na?" "Iya, ga apa-apa." "Tadi gue nyari lo. Lo kemana sih?" Ya, tadi begitu aku menerima sapu tangan dari entah siapa, aku pergi mencari tempat yang jauh lebih aman untukku menangis, khawatir ada yang mendapatiku dalam keadaan kacau. "Kan udah gue bilang nyari angin." "Padahal dari tadi lagu-lagunya The Braga's keren-keren banget, Na..." Aku terkekeh melihat betapa mudahnya mood seorang Diani berubah. "Eh Na, lo liat deh gitaris penggantinya. Gila, Na... Cakep bangeeet!" Aku mengikuti arah pandang Diani, menatap seorang cowok yang begitu piawai memetik senar-senar gitar yang begitu mantap direngkuhannya. Aku yakin, ia adalah cowok yang sama yang memberikanku sapu tangan berwarna biru, cowok yang sama yang kini kuyakin mendengar semua pertengkaranku dengan Farel. "Namanya Edo, Na..." "Hah?" "Edo." "Siapa?" "Itu, gitarisnya, namanya Edo!" Aku terkekeh. Dan di saat yang sama kedua netra Edo bersirobok dengan milikku. Ia mengangguk seraya menaikkan sedikit kedua sudut bibirnya. Tersenyum simpul. "Wah, kayaknya kita salah ini bawa Edo!" canda vokalis The Braga's yang aku tau bernama Arda begitu mereka baru saja menyelesaikan lagu ketiga yang mereka bawakan malam itu. Aku lekat menatap sang gitaris yang pandangannya sudah berpaling dariku. Ia hanya terkekeh mendengar candaan Arda. "Ngan manéhna nu diperhatikeun! Kita-kita mah teu katingali!" ujar Arda lagi. Mereka yang berada di atas panggung semua terkekeh geli mendengarkan kalimat yang aku sendiri tak jelas paham apa makanya. Mungkin kira-kira artinya hanya si gitaris yang diperhatikan. "Biar afdhol, gimana kalau Edo kita suruh nyanyi malam ini?" Kalimat yang dilemparkan Arda membuat kegaduhan di seantero gedung, terutama disebabkan pekikan-pekikan memuja dari teman-temanku yang terpana oleh tampang rupawan khas bumi pasundan itu. Dan Edo, lagi-lagi hanya terkekeh. Tak lama, Arda dan Edo bertukar posisi. Kini vokalis sekaligus basis band itu tak lagi berada di belakang mic, digantikan Edo yang masih memeluk mesra gitar hitamnya. "Hai..." sapanya. Yang tentu saja disambut pekikan histeris teman-temanku. Ya Tuhan... Bahkan aku sampai tertawa geli mendengar histeria kagum mereka. "Satu lagu dari saya..." ujar Edo lagi. "KENALAN DULU!" pekik salah seorang temanku. Edo terkekeh lagi. "Saya Ferdhian Edo. Mahasiwa." "UMUR?" "KULIAH DIMANA?" "Ada deeeh!" jawab Edo seenaknya. "HUUU!" sorak teman-temanku. "PUNYA PACAR GA?" "Dimana?" canda Edo santai yang malah memancing gelak tawa teman-teman satu bandnya. "Udah ya, ga usah jadi nyanyi ya?" canda Edo lagi. "JANGAAAN!" "Kalau gitu, sesi tanya jawab ditutup. And, this is a song untuk kalian yang merasa bersyukur sekaligus kehilangan dengan semua kenangan di masa putih abu-abu." Edo mulai memainkan gitarnya. Masuk ke intro sebuah lagu yang langsung membuatku merasa gamang kembali. "So, you sailed away Into a grey sky morning Now I'm here to stay Love can be so boring Nothing's quite the same now I just say your name now "But it's not so bad You're only the best I ever had You don't want me back You're just the best I ever had" Sungguh, suaranya begitu merdu. Bahkan aku tak tau sejak kapan air mataku kembali mengalir. "So, you stole my world Now I'm just a phony Remembering the girl Leaves me down and lonely Send it in a letter Make yourself feel better "But it's not so bad You're only the best I ever had You don't need me back You're just the best I ever had" Seketika, perasaan hampa kembali menyerangku. Mengingatkanku pada sosok Farel dimana tiba-tiba saja terselip sesal karena melepaskannya, namun di saat yang bersamaan aku tau aku tak kuasa memberanikan diri berlari kembali ke hatinya. "And it may take some time to Patch me up inside But I can't take it so I run away and hide "And I may find in time that You were always right You're always right." Entah sejak kapan, aku sudah menyandarkan kepalaku di bahu Diani, menangis dalam sunyi, membiarkannya memelukku seraya mengusap-usap lembut punggungku. "So, you sailed away Into a grey sky morning Now I'm here to stay Love can be so boring What was it you wanted? Could it be I'm haunted? "But it's not so bad You're only the best I ever had I don't want you back You're just the best I ever had "The best I ever had Best I ever." *** Dua bulan kemudian. Aku masih memakai piyama tidurku saat melangkahkan kaki ke ruang makan. Hari ini tidak ada jadwal kuliah yang harus kuikuti dikarenakan aku membatalkan salah satu mata kuliah yang ternyata jadwalnya bentrok dengan mata kuliah dasar yang wajib kuambil di semester awal ini. "Lho Dek? Ga kuliah?" tanya Nisa, kakak keduaku yang sedang pulang menjenguk orang tua kami di sela pendidikan khususnya. "Ngga, Kak. Musti revisi KRS nih, Adek." "Kenapa?" "Ada jadwal yang bentrok. Jadi mau di cancel aja. Habis sarapan mau ke kampus sih. Ngurus pembatalan mata kuliah. Kak Nisa di rumah aja?" "Iya sih. Tapi nanti malam ada janji sama Dona." Aku terkekeh geli mengingat sahabat kakakku yang bernama Doni yang dipanggil Dona oleh kak Nisa. Ya, Dona itu laki-laki dengan nama asli Doni. Tetapi karena terlalu kemayu dan perhatiannya pada kecantikan melebihi kaum hawa, kakakku dan teman-temannya yang lain kompak menyapanya dengan panggilan Dona. "Emang kak Dona dimana sekarang Kak?" "Di PMI, Bogor." "Kak Nisa mau ke Bogor?" "Iya, mau ikut? Tapi naik bis!" "Mau! Pulangnya bakalan malam banget dong? Emang masih ada bis?" "Nanti dijemput pacar akuuu!" ujar Kak Nisa riang. Papa dan Mama yang juga bersama kami di ruang makan ini hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara aku lagi-lagi terkekeh geli. "Ya udah ngobrolnya, buruan sarapan!" perintah Mama. Aku segera menyendok nasi ke atas piringku. Begitupun kak Nisa. "Papa ga praktek?" tanyaku pada Papa yang duduk di hadapanku. "Praktek, nak. Makanya habis ini langsung siap-siap. Bareng aja sama Papa, nanti Papa drop sampai depan kampus Adek." "Beneran Pa?" "Iya." "Emang Papa ga kejauhan?" "Mulai hari ini Papa ada praktek dua kali seminggu di Cikini." "Waaah, asiiiik," sorakku riang. Papa tersenyum hangat melihat keceriaanku. Dan aku begitu bersyukur melihat kedua orang tuaku yang tak pernah kehilangan senyuman hangatnya walaupun keadaan yang harus ditanggung mereka pasti terasa begitu berat. Bayangkan saja, begitu kemarin sore aku menjejakkan kakiku di rumah, bahkan sepatuku saja belum selesai kulepas, dua orang debt collector sudah datang lagi mengucapkan salam di depan pagar rumah kami. Menagih hutang orang lain yang aku benar-benar benci menyebutnya keluarga, sementara orang itu sudah menghilang entah kemana. Tak tanggung-tanggung, kebodohan orang itu sampai membuat Papa harus menutup klinik yang sudah belasan tahun dikelolanya, bahkan sampai menjual bangunan yang menjadi saksi perjuangan Papa di kota besar ini. "Jangan lama-lama siap-siapnya. Nanti Papa terlambat," ujar Papa lagi mengenyahkan lamunanku. "Siap, Jendral!" jawabku semangat seraya meletakkan telapak tanganku yang terbuka di samping pelipis kanan, memberi hormat pada Jendral di rumah ini. Lagi, Papa tersenyum hangat. --- Usai selesai mengurus rencana studiku di semester pertama ini, juga mengikuti hobi kak Nisa berputar-putar menjelajah kuliner tepi jalan di sekitar kampusku, pun usai menyelesaikan ibadah senja kami, kini aku dan kakakku sudah duduk nyaman di sebuah bis dengan trayek UKI - Baranangsiang, Bogor. Baru saja aku ingin memejamkan kedua netra, seorang cowok yang masih sangat kuingat parasnya naik ke dalam bis dengan menenteng gitar berwarna hitam. Ia menyandarkan dirinya pada sisi bis tepat di samping pintu depan, menunggu hingga penumpang terakhir naik dan sang kernet menutup pintu bis rapat. Begitu bis mulai melaju, ia berjalan di tengah-tengah barisan kursi penumpang, menghentikan langkah tepat di titik tengah bis, bersandar di salah satu sandaran kursi dan mulai memeriksa bunyi dari dawai-dawai gitarnya. Aku yang kini duduk tepat di hadapannya yang hanya dipisahkan oleh sosok kakakku, membeku. Begitu senar-senarnya mengeluarkan nada yang sesuai dengan keinginan sang pemilik, ia mengangkat kepalanya. Sesaat kedua netra kami bersirobok, tetapi ia langsung memalingkan wajahnya. Ia pasti tak mengenaliku bukan? Usai meminta maaf karena mengganggu ketenangan perjalanan, cowok itu, Edo, mulai memainkan intro lagu yang akan dibawakannya. Dan lagu pertamanya adalah This I Promise You yang populer dinyanyikan oleh N'Sync. "Oh, oh When the visions around you Bring tears to your eyes And all that surrounds you Are secrets and lies I'll be your strength I'll give you hope Keeping your faith when it's gone The one you should call Was standing there all along "And I will take you in my arms And hold you right where you belong 'Til the day my life is through This I promise you This I promise you" Dan suaranya, membuat satu bis ini terdiam, terhanyut dengan alunan nada yang begitu menyentuh. Bahkan Kak Nisa sampai bolak balik curi-curi pandang ke Edo, sesekali memalingkan wajah ke aku yang duduk di sampingnya, berucap 'sumpah keren banget, Na!' dalam sunyi. "I've loved you forever In lifetimes before And I promise you never Will you hurt anymore I give you my word I give you my heart This is a battle we've won And with this vow Forever has now begun" Kami tak lagi menghitung detik karena sibuk menikmati melodi demi melodi yang Edo nyanyikan, hingga ia menutup suaranya begitu bis memasuki pintu keluar tol kota Bogor. Edo melangkah kembali ke deretan kursi terdepan, melepaskan topi berwarna beige dari kepalanya dan mulai menyodorkan topi itu kepada seluruh penumpang satu per satu. Begitu sampai di kursi kami, kak Nisa memasukkan selembar uang kertas berwarna merah. Edo terdiam sesaat, kemudian bertutur sopan, "Kembaliannya ambil sendiri ya Kak." Kak Nisa justru tersenyum hangat. "Ga usah. Buat kamu aja." Kali ini Edo menganga. Terkesiap menatap Kak Nisa dan uang merah di dalam topinya bergantian. "Serius Kak?" tanyanya tak percaya. "Iya. Makasih ya, udah ngobatin kangen ke adik saya." "Oh." "Saya punya adik yang suaranya bagus banget kayak kamu. Sayangnya dia jauh." "Oh." "Siapa tau suatu saat nanti kalian bisa duet bareng." Edo tersenyum. Bahkan akupun baru menyadari senyum dipadukan tatapan cowok itu begitu manis dan hangat. Ia mengangguk, lalu berucap tulus... "Makasih ya Kak. Sehat selalu dan hati-hati di jalan." "Ya, sama-sama." Edo memalingkan pandangannya, padaku, mengangguk sopan. 'Beneran ya dia ga inget gue?' --- Begitu keluar dari terminal bus Baranangsiang, aku dan kak Nisa melipir sejenak ke sebuah minimarket tak jauh dari terminal. Membeli air mineral kemasan dan beberapa cemilan sebagai buah tangan untuk sahabat Kak Nisa. "Buat kak Dona, Kak?" "Iya." "Kak, Adek jalan ya... Laper. Kakak pasti bakalan lama kan ngobrol sama Kak Dona?" "Ya ntar lo ikut aja. Kita juga pasti makan malem kok." "Adek pengen nyoba pizza di Taken, katanya enak." "Bungkusin buat gue dan Ari ya?" "Beres!" "Duitnya ada?" "Ada, Kak." "Ya udah, gue tunggu di PMI ya? Nanti telpon aja kalau udah sampai." "Beres, Kak." Setelah memastikan kak Nisa mengijinkan aku memisahkan diri darinya, aku segera menaiki angkutan umum berwarna hijau menuju sebuah daerah kuliner di kota Bogor. Daerah yang banyak terdapat cafe kekinian tempat anak muda kota ini berkumpul dan bersosialisasi. Sesampainya di tempat yang kutuju, aku menyapukan pandanganku, mencari meja kosong yang bisa kutempati. Sayangnya, malam itu, semua meja terisi penuh. Aku nyaris saja berbalik arah jika saja sosok Edo tak menyapa penglihatanku. Ia duduk membelakangiku, tak jauh dari tempatku berpijak, sendiri. Aku memberanikan diri melangkah, mau bagaimana lagi, perutku sudah menyuarakan rasa lapar sedari tadi. Tepat ketika aku berdiri di balik punggung Edo, kedua netraku terpaku pada pemandangan di atas meja, polesan demi polesan kuas yang sedang ditorehkannya di atas selembar sketchbook. 'Gila ini cowok!' dengungku di dalam benak. 'Sumpah! Keren banget!' kagumku lagi. Aku masih asik memperhatikannya. Dan ia tak kunjung menyadarinya. Hingga seorang pelayan di seberang meja tersenyum kepadaku. Aku mengangguk, lalu memutuskan untuk menunjukkan kehadiranku pada Edo sebelum ia menangkapku sendiri dan aku terkesan menjadi penguntit cowok seniman ini. "Kereeen!" ujarku. Takjub. Gerakan tangan Edo berhenti, perlahan ia memalingkan wajahnya ke arahku berada, mendongak pelan lalu membalas tatapanku yang tersenyum menatapnya. "Lo?" "Hai!" sapaku, riang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN