Esok paginya, aku baru saja hendak melangkah keluar kamar saat mendengar suara notifikasi pesan singkat masuk ke ponselku. Semalam, begitu sampai di rumah ponselku mati dan baru pagi ini aku aktifkan kembali. Aku tak menunda waktu, ibu jariku lincah menekan tombol read.
Edo: Hai, Na. Udah sampai?
Edo: Pagi Hana.
Aku tersenyum membaca dua pesan singkat yang baru saja k****a. Satu pesan dikirimkan semalam, sementara pesan lainnya dikirimkan pagi ini. Aku terdiam di depan pintu kamarku, menggerakkan kedua ibu jari untuk membalas pesan dari Edo.
Hana: Pagi. Maaf semalam hp Hana mati. Kenapa Edo?
Edo: Ga apa-apa. Cuma mau bilang selamat pagi aja.
Hana: Selamat pagi juga buat Edo. Semangat ya!
Edo: Makasih Hana. Hana juga ya. Semangat!
Tepat pukul 7:45 WIB aku sampai di halaman muka fakultasku. Kakiku bergegas melangkah menuju ruang kuliah untuk mengikuti mata kuliah Pengantar Seni dan Desain pagi ini.
"Na, hari Jum'at malam ada acara ga?" tanya Manda salah seorang temanku begitu aku duduk di salah satu kursi di kelas itu.
"Kenapa emangnya Man?"
"Mau ngajak lo hangout."
"Dimana?"
"Kemang."
"Oh... Ga tau deh, Man..."
"Yaaah ayo dong... Gue Jum'at kan ultah. Kita hangout sekalian gue traktir."
'Kok aneh banget sih, padahal gue ga deket lho sama dia.'
"Gue doang?"
"Ngga. Gue, Nea, ada temen gue juga anak kampus lain dua orang, sama lo."
"Oh..."
"Oke?"
Aku mengangguk, menghargai ajakannya walaupun tetap saja bingung kenapa tiba-tiba Manda mengajakku.
Dan yang lebih anehnya, sepanjang hari ini, Manda terus saja ada di dekatku.
"Man... Ada yang mau lo sampein ke gue?" tanyaku saat kelas terakhir kami usai.
"Ngga. Kenapa?"
"Ga apa-apa sih."
"Lo aneh ya kenapa gue tiba-tiba ngedeketin lo?"
Aku mencengir. Lalu mengangguk.
"Ga ada apa-apa kok, Na... Beneran deh."
"Sorry ya, Man... Bukannya gue curiga atau apa, bingung aja sih."
"Dari awal kita di kampus ini, gue ngeliat lo tuh netral banget sih. Sama siapa aja santai. Ngga ikut kelompok manapun. Jadi ya, gue pikir asik aja kalau bisa dekat sama lo."
"Oh..."
"Jangan curigaanlah sama gue."
Aku tertawa renyah.
"Sorry, Man."
"Iya, ga apa-apa. Lo naik apa? Mau bareng ga?"
"Lo lewat mana emangnya?"
"Mana aja bisa. Santai. Gue bawa mobil sendiri kok."
"Nebeng sampe Rumah Sakit Cikini bisa?"
"Rumah Sakit?"
"Iya, Papa kerja di situ."
"Oh. Bisa, Na. Yuk!"
---
Dan di sinilah aku berada, di sebuah bar di kawasan Kemang. Kemarin dalam perjalanan pulang, aku memberitahu Papa rencanaku hari ini. Jelas terlihat dari wajah Papa gurat kekhawatiran saat aku mengatakan bahwa aku diundang ke acara ulang tahun temanku di bar and club ini. Papa tak melarang, tetapi memintaku berhati-hati. Malah tadinya Papa berencana untuk membawaku lebih dulu ke tempat ini, memperkenalkanku dengan berbagai minuman keras yang aku sama sekali buta akan hal itu, setidaknya sebelum masuk ke tempat semacam ini dengan teman-temanku, aku sudah lebih dahulu mengenalnya dari Papa. Sayangnya, karena hari sudah sudah cukup malam begitu Papa menyelesaikan visit pasiennya, aku tak mengiyakan ajakan Papa. Dan kini, ketika teman-temanku - yang ternyata membawa geromboran cowok-cowok yang tak kukenal sama sekali - memesan berbagai minuman dengan kadar alkohol yang berbeda, aku justru memesan soda. Just soda and a slice of lime. Oh, plus ice cube by the way.
"Na?"
"Ya?"
"Lo ke sini cuma minum soda?" tanya Manda. Aku benar-benar tak menyukai nada bicaranya.
"Iya."
Rasanya aku ingin sekali segera lari dari tempat ini. Baru setengah jam aku di sini rasanya sudah bertahun-tahun. Apalagi dengan seorang cowok bernama Cakra yang duduk di sampingku seraya menatapku lekat sedari tadi.
"Cobain bir aja, Na... Segelas doang mah ga akan mabok!" ujar Nea, salah satu teman satu jurusanku juga.
Aku hanya tersenyum. Jengah dengan sikap, tutur kata, bahkan body language kedua temanku itu. Mungkin aku yang terlalu kurang pergaulan hingga merasa kaget dengan keadaan seperti ini. Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, waktu baru menunjukkan pukul 20:30 wib sementara aku sudah begitu gelisah.
"Kenapa Na?" tanya Cakra.
Aku hanya tersenyum seraya mengangguk.
"Kaku banget sih Na," ujar Cakra lagi.
Aku diam saja, enggan menanggapi.
Baru saja aku ingin meneguk air soda yang kupesan, gelas di genggamanku tiba-tiba berpindah tangan. Aku dan Cakra sama-sama mendongak, menatap pria yang kini menatapku lekat.
"Edo?"
"Hey, babe! Nunggu lama?"
'Babe?'
"Setengah jam lagi aku main. Kamu di sana aja ya, biar dekat ke panggung," ujar Edo lagi.
Aku masih menatapnya lekat. Jujur aku tak mengerti dengan apa yang dikatakannya. Babe? Main? Kenapa Edo bisa ada di sini?
Detik selanjutnya adalah kedua netra Edo berpaling dariku, kini ia menatap Cakra dengan tatapan yang jauh berbeda dengan caranya menatapku. Kali ini, Edo seolah sedang mengancam pria itu.
"Sorry man, she's mine!"
Jantungku tiba-tiba menggila. Wajahku terasa menghangat. Bahkan ribuan kupu-kupu di perutku seolah mengepakkan sayapnya bersamaan. Memberi perasaan asing yang belum pernah kurasakan sebelumnya, bahkan ketika bersama Farel sekalipun.
"Wow! Santai, man. Gue ga tau kalau dia udah punya cowok!"
"Sekarang lo tau kan?" sinis Edo lagi.
Cakra mengangkat kedua tangannya, memberi isyarat jika ia tak lagi berminat padaku. Edo mengulurkan satu tangannya dengan telapak tangan yang terbuka ke atas, memintaku menyambutnya. Permainan apapun ini, entah kenapa hati kecilku meminta agar aku mengikutinya. Aku menyambut uluran tangan Edo, membiarkannya menggenggamku.
"Na?" tegur Manda. Aku bahkan lupa Manda, Nea dan dua orang temannya yang lain ada di sana.
"Eh sorry, Man. Gue pindah ya," ujarku datar.
"Cowok lo, Na?" kali ini Nea yang bertanya. Sinis.
Aku mengangguk. Entahlah, rasanya aku seperti dijebak di tempat ini.
Usai berbasa basi busuk dengan yang lainnya, aku mengikuti langkah Edo. Edo membawaku ke area outdoor, terus melangkah memilih satu sudut yang lebih private untuk kami bicara empat mata.
"Hana ngapain di sini?" tanyanya melepas jaketnya lalu mengikatnya di pinggangku. Aku bisa melihat ia sedang menahan emosinya.
"Hana diundang Manda. Katanya dia ulang tahun."
"Sahabat?"
Aku menggeleng.
"Baru kenal di kampus. Teman satu jurusan."
"Aturan dasar saat kamu mendatangi bar and club seperti ini. Nomor satu, jangan datang dengan orang yang baru kamu kenal, terlebih sendirian. Kamu cewek, Na! Kedua, jangan pakai rok sependek itu! Kamu mancing orang untuk ngelecehin kamu! Ketiga, jangan pernah meminum minuman yang sempat lepas dari pandangan kamu. Kamu ga sadar kan kalau b******n itu udah masukin obat ke gelas kamu?" geram Edo tanpa jeda.
Aku shock. Pandanganku tak mampu lepas dari kedua netranya. Seolah ia mengunciku dalam tatapannya.
"Maaf, Na... Aku emos," lirih Edo seraya mengusap kedua pipiku. Aku bahkan tak sadar jika aku menangis.
Entah apa yang terjadi padaku, aku justru mengikis jarak kami, menyandarkan kepalaku di dadanya. Edo diam saja, hanya mencengkram lembut kedua lenganku.
"Hana mau pulang," lirihku.
Edo mendorongku lembut, memberi jarak agar ia bisa menatapku.
"Jam sembilan Edo main, Na. Apa Edo antar sampai Hana naik taksi?"
"Main apa?"
"Nge-gig, Na."
"Oh. Disini?"
"Iya di sini. Kalau di dalam kan club-nya."
"Hana tunggu Edo aja boleh?"
"Boleh. Tapi Edo baru selesai jam sebelas nanti."
"Oh."
"Takutnya Hana udah ga nyaman. Apa ada yang bisa dihubungi untuk jemput?"
Aku terdiam.
"Na?"
"Papa," lirihku.
"Kak Nisa?"
"Udah flight kemarin."
"Oh."
Edo terdiam. Terlihat berfikir, mencari solusi agar aku bisa keluar dari tempat ini. Sebenarnya aku bisa saja menunggu sampai Edo menyelesaikan perform-nya, masalahnya aku sudah terlanjur tak nyaman. Bahkan sedari tadi rasanya aku ingin sekali menangis menjadi-jadi.
"Edo?"
"Ya?"
"Baju Hana tadinya ga begini. Ini baju Manda. Baju Hana ada di mobil Manda," isakku. Entahlah, aku bahkan tak kuasa menahan air mataku. Kedua tanganku menyilang di depan d**a, mencengkram lenganku sendiri seraya menunduk.
Lagi-lagi Edo melingkarkan kedua tangannya di tubuhku, kali ini kemeja yang tadinya menempel di tubuhnya ikut berpindah ke tubuhku. Aku mengangkat wajahku, menatapnya yang tersenyum hangat.
"Better?" tanyanya lembut.
Aku mengangguk.
"Edo telpon Papa Hana ya?"
"Hana takut, Edo," ujarku masih dengan menahan isakku sendiri.
"Kenapa?"
"Takut Papa marah lihat Hana kaya gini."
"Biar Edo yang jelasin ke Papa Hana. Boleh pinjam hp Hana?"
Aku menatapnya lagi dengan tatapan berkabut. Edo tersenyum seraya mengangguk meyakinkanku. Mengulurkan tangannya meminta ponselku untuk menghubungi Papa. Dan entah apa yang terjadi, aku memberikan benda itu begitu saja ke atas tangannya, bahkan membukakan screen lock dan mencarikan nomor Papa terlebih dahulu.
"Tunggu di sini sebentar ya?"
"Edo mau kemana?"
"Ga kemana-mana. Tiga langkah aja dari Hana."
Aku mengangguk lagi.
Aku tak mampu mendengar apapun yang dibicarakan Edo dan Papa karena suara-suara di sekitarku. Tak lama, Edo kembali, berjalan mendekatiku seraya tersenyum.
"Nunggu di situ yuk sama teman-teman aku."
Aku menurut, mengikuti langkahnya menuju sebuah meja di tepi kolam renang yang tak jauh dari panggung musik berada.
"Edo perform sama siapa?"
"Oh, nama band-nya The Next. Mereka dulu punya gitaris, cuma gitarisnya pindah ke band lain. Sampai sekarang belum dapet penggantinya."
"Kenapa ga Edo aja?"
"Karena aku ga bisa terikat gitu, Na. Kan aku kuliah."
"Oh."
"Mereka nge-gig nyaris tiap malam. Kebanyakan di Jakarta. Bisa rontok badan aku nanti, Na."
Aku terkekeh yang disambut dengan senyuman Edo.
Begitu sampai di meja tempat anggota band berkumpul, Edo memperkenalkanku sebagai Hana. Just Hana. Hingga mereka yang akhirnya bertanya siapa aku. Edo tak menjawab, justru menatapku seraya tersenyum. Saat itu aku paham, Edo tak ingin membuatku berfikir bahwa ia mencuri kesempatan untuk mengakuiku sebagai kekasihnya seperti tadi. Jika tadi ia melakukannya karena terdesak, kali ini ia pasti berfikir tak pantas jika harus mengaku-ngaku sebagai pacarku lagi.
"Na, Edo naik ya?" pamitnya sebelum naik ke atas panggung.
Aku mengangguk. Ia mengusap lembut puncak kepalaku sebelum melangkah menjauh.
Edo meninggalkanku dengan Zyva - kekasih Yuda sang vokalis. Zyva bilang ia biasa menemani Yuda, dan sejauh ini hanya Edo yang tak pernah sekalipun membawa perempuan kala mereka perform. Baru aku katanya. Lucunya, aku justru merasa senang saat mengetahui fakta itu.
"Lo udah lama pacaran sama Edo, Na?"
Aku menggeleng seraya tersenyum.
"Oh, pantes. Gue pikir lo diumpetin sama si Edo!"
Aku hanya tertawa renyah menanggapi.
"Emang Edo udah lama ikutan The Next?" tanyaku akhirnya.
"Lumayan deh. Hampir dua tahun ya. Soalnya pertama kali itu pas ulang tahunnya Yuda. Dua bulan lagi Yuda ulang tahun. Jadi udah mau dua tahun. Masalahnya Edo ga mau jadi anggota resmi."
"Iya, katanya takut ga bisa nyesuaiin dengan kuliahnya."
"Iya sih. Kalau kita-kita kan antara udah lulus dan ga lulus-lulus, Na."
Aku terkekeh.
"Oh gitu?"
"Iya. Yuda aja skripsinya ga beres-beres. Tau deh, gue aja puyeng nasehatinnya. Jadinya kan ribut mulu sama Bokapnya."
Pembicaraan kami larut ke banyak hal, hingga aku merasakan dua tangan hangat milik pria yang sangat kucintai mengusap lembut pundakku.
"Papa?"
"Hai sayang," sapa Papa hangat lalu mengangguk seraya tersenyum pada Zyva.
Papa duduk di sampingku. Di kursi yang Edo duduki sebelumnya. Kedua netranya menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Meninggalkan rasa getir di relung hatiku. Papa pasti kecewa melihat penampilanku malam ini.
Ayahku itu mendengus, walau tak terucap sepatah emosipun.
"Mau pulang sekarang, Pa?" tanyaku pelan.
"Yang namanya Edo yang mana?" Papa malah balik bertanya.
"Gitarisnya Pa."
"Kita tunggu saja habis lagu ini dulu," ucap Papa lagi.
Papa lalu meluruskan posisi duduknya, menatap lekat ke atas panggung. Edo mengangguk, Papa pun membalasnya. Selanjutnya yang kulihat adalah Papa yang begitu menikmati alunan suara Edo yang sedang bertukar posisi sebagai vokalis dengan Yuda. Mendendangkan satu lagu yang populer dinyanyikan oleh OASIS dengan judul Wonderwall.
"Today was gonna be the day, but they'll never throw it back to you
And by now, you should've somehow realized what you're not to do
I don't believe that anybody feels the way I do about you now."
---
"Om?" sapa Edo begitu ia turun dari panggung dan mendekati Papaku. Satu tangannya terulur dengan senyum hangat yang tercetak di wajahnya. Papa menyambutnya, membalas genggaman tangan Edo sama eratnya.
"Edo, Om," ujar Edo lagi.
"Anggara. Papanya Hana."
"Maaf saya ga langsung antar Hana pulang, Om," ujar Edo begitu jabat tangan mereka mengurai.
"It's ok. Terima kasih sudah menghubungi saya."
"Iya, Om. Sama-sama."
"Kamu masih lama?" tanya Papa lagi.
"Masih sampai jam sebelas, Om."
"Dari sini kemana?"
"Langsung balik ke Bandung, Om."
"Kalian dari Bandung?"
"Yuda, vokalis kami juga orang Bandung, Om. Kebetulan malam ini mau balik. Sekalian saya ikut."
"Oh gitu."
Edo mengangguk, lalu melirikku seraya memperlebar senyum manisnya.
"Ya sudah kalau begitu. Nanti kalau sudah luang, saya tunggu di rumah ya!" ujar Papa lagi.
Edo terdiam. Senyuman di wajahnya hilang seketika. Berganti ekspresi bingung. Atau panik?
"Bisa kan, Edo?" tanya Papa lagi. Lugas dan tegas.
Edo mengangguk kaku seraya melirik sesekali kepadaku. Akupun kelu. Entah apa yang ada di pikiran Papa. Yang aku tau, karena kebodohanku malam ini, aku memaksa menyeret Edo masuk ke kehidupanku.
Tanpa mengulur waktu lagi, kami pamit pada semua anggota The Next, beranjak meninggalkan tempat hiburan malam itu lebih dulu. Baru beberapa langkah, aku menoleh kembali ke belakang, Edo masih berdiri memandang punggung kami. Ia tersenyum hangat, lalu mengangkat satu tangannya, melambaikannya padaku.
"Hati-hati!" ujarnya sunyi, hanya gerak bibirnya yang terbaca jelas olehku.
'Edo...'
Tuhan, sepertinya aku... Jatuh cinta.