Hari ini aku kembali ke Jakarta lagi karena ada beberapa hal yang belum selesai diurus seperti, berkas-berkas kepindahan Raka.
Banyak hal yang belum selesai setelah aku pindah ke Bandung. Mungkin karena memang dadakan dan pasti mengundang banyak pertanya. Apalagi teman-teman arisan yang memang hobi bergosip ria. Namun, aku tidak pernah menanggapi setiap pesan masuk atau bahkan yang sengaja menelepon diri ini.
Gosip tentang Mas Randi mungkin sudah jadi bahan gosip di arisan saat ini. Akan tetapi, aku tak mau mengurusinya. Hidupku saja sudah sangat sulit, apalagi jika mengurusi apa yang malas aku jelaskan.
Waktu menunjukkan pukul 12.00, aku dan Raka berada di sebuah mall sesuai permintaan Raka yang ingin membeli sesuatu di tempat ini. Kasihan putraku, harus hidup sederhana dan meninggalkan semua kemewahan yang biasa dia dapat. Sekarang saja, kami hanya mampu makan di tepat paling murah. Bahkan, Raka sedang belajar makan di warteg walaupun dia tidak nyaman kepanasan dan penuh keringat saat di tempat itu.
Aku menghela napas saat melihat Raka makan sangat lahap. Mungkin karena perjalanan jauh dan ia sangat lapar. Beberapa menit, ia sudah menyediakan makannya.
“Mama tunggu aja, takut Mama capek. Nanti kalau sudah aku ke sini lagi.” Raka pamit untuk pergi mencari yang ia butuhkan.
“Iya, Nak. Jangan lama-lama," ucapku.
Setelah itu, Raka menghilang dari pandangan dan aku sendiri hanya sibuk memandangi lalu lalang orang banyak di mall ini. Sungguh membuat iri melihat satu keluarga utuh bersama menikmati hari. Sementara, aku dan Raka sedang meratapi hidup kami. Semua karena suamiku yang gila perempuan.
Netraku menangkap sosok yang aku kenal. Hendri, dia teman Mas Randi yang berprofesi sebagai pengacara. Pria itu seperti melangkah menghampiriku. Aku mencoba menenangkan diri untuk tidak gugup si depan orang.
“Yasmin, kamu lagi apa di sini?” tanya Hendri.
“Sedang menunggu Raka, Hen. Kamu kenapa ada di sini jam kerja seperti ini?” tanyaku balik.
Dia tertawa lepas mendengar penuturanku. Apa yang salah? Dia memang seperti itu, pria humoris, supel, tapi tak pandai mencari jodoh. Itu kata Mas Randi dulu saat dia bercerita tentang teman-temannya. Pria di hadapanku duda yang selalu tak peduli dengan kisah cintanya. Hidupnya mungkin hanya bekerja saja.
“Hen, jangan tertawakan aku.”
“Baik-baik. Maafkan saya, lucu aja sama pertanyaan kamu karena saya seorang pengacara, saya bisa sesuka hati menentukan bertemu klien di mana saja.”
Astaga, aku lupa. Kenapa aku seperti mempermalukan diri sendiri? Duh, benar-benar deh, masalah Mas Randi membuat semua ingatanku kacau.
“Boleh duduk?” tanya Hendri.
“Silakan, Hen.”
“Randi apa kabar?”
Pertanyaan itu menghantam jantungku. Apa yang akan aku jawab? Jujurkah jika suamiku telah menceraikan aku demi gadis belia? Ah ... mungkin dengan menceritakan Hendri bisa membantu apalagi dia adalah seorang pengacara.
“Aku dan Mas Randi akan bercerai.” Aku menjawab dengan tegar.
“Cerai? Bagaimana bisa?” Sebuah pertanyaan yang mungkin aku pun tidak bisa menjawab.
“Bisa karena dia menginginkan poligami dan aku tidak mau. Dia memberikan pilihan jika aku tak mau berpoligami maka dia akan menceraikan aku tanpa harta sepeser pun.”
“Gila. Apa-apan itu. Mana ada seperti itu, Yas. Coba kamu ceritakan awal mulanya.”
Aku menceritakan mulai dari kecurigaan aku tentang wanita yang tengah dekat dengan Mas Randi, sampai pesan masuk dari Citra dan pembuktian aku ke hotel. Lalu, alasan pertanggungjawaban terhadap alm. Pramono yang menitipkan Citra pada Mas Randi.
“Tidak seperti itu ceritanya. Memang beberapa bulan lalu teman kami Pramono meninggal karena sakit jantung. Akan tetapi, dia tidak mewariskan apa pun pada Randi. Aku bisa jamin itu karena saat kami ke rumah Pramono tak ada wasiat apa pun.”
“Be—benarkah itu?”
“Benar, Yas. Masa saya bohong. Justru saya kaget dengan cerita kamu.”
Hantaman itu kembali menghunjam jantung ini. Rasanya bom dalam d**a akan meledak seketika mendengar semua kebenaran yang diutarakan Hendri. Apa aku bisa percaya pada pria di hadapanku? Jujur aku tidak tahu bisa percaya atau tidak.
“Yas, kalau kamu tidak percaya sama saya Enggak apa-apa, itu hak kamu.” Sepertinya Hendri melihat wajahku tidak begitu yakin padanya.
“Bu—bukan begitu, tapi bukannya kamu teman Mas Randi dan harusnya kamu membela dia?”
Pria di hadapanku tersenyum lagi. Namun, aku tidak mengerti arti dari senyum itu. Seharusnya dia sebagai teman menutup-nutupi bukan malah bicara sebaliknya.
“Karena aku seorang pengacara dan aku tidak suka kebohongan apalagi merugikan orang lain. Kalau mau, kamu bisa pakai jasa saya untuk memperoleh harta gono gini. Tidak bisa seenaknya dia. Kamu harus perjuangkan harta itu untuk masa depan Raka.”
Aku sampai tidak memikirkan hal yang dituturkan Hendri. Malah aku mementingkan egoku jika aku mampu hidup tanpa harta, sedangkan selama ini aku melihat Raka sungguh tidak terbiasa hidup sederhana.
Aku mencoba memikirkan bagaimana aku menghadapi Mas Randi. Benar juga, siapa sangka bisa menggunakan jasa pengacara mahal.
“Kalau masih ragu nggak masalah. Wajar, kok. Ini saya tinggalkan kartu nama, kamu bisa hubungi saya kalau sudah siap.”
“Terima kasih, Hen.”
Hendri pamit dari hadapanku. Kegalauan kini menerpa hati ini memikirkan apa yang aku dengar dari pria itu. Aku menjadi berpikir ulang dan mantab memperjuangkan harta gono gini dan rumah yang biasa kami tempati.
Tak lama Raka kembali dengan menenteng bungkusan yang bisa aku tebak itu adalah baju. Seperti biasa hanya di mall ini putraku menemukan tempat yang cocok untuk membeli yang sesuai keinginannya.
“Maaf, Ma. Lama, ya?”
“Enggak, kok.”
“Ayo kita pulang. Mama lelah,”
Sepanjang perjalanan aku tak henti memikirkan perkataan Hendri tentang kebohongan fatal tentang Mas Randi. Suamiku pandai bersilat lidah, dia ciptakan kebohongan demi kebohongan .
***
Belum juga kaki ini melangkah, aku terduduk lesu kembali saat di depan mata Mas Randi lewat bersama Citra. Dengan mesra pria itu merengkuh pinggang kecil gadis simpanannya. Anakku tahu jika aku mulai emosi, Raka mengelus-elus pundakku agar aku lebih tenang.
“Ma, jangan dilihat. Mama pejamkan mata, anggap aja itu halusinasi Mama.”
“Iya.” Aku meremas ujung hijab melampiaskan kekesalan.
Benar-benar membuat hati ini terasa nyeri sekali. Mulai dari terbongkarnya kegilaan mas Randi dan sekarang aku harus melihat hal yang memuakkan. Di hati ini benci dan kalau saja tenagaku kuat ingin aku datang dan menjambaknya.
Dasar munafik, kemarin tak mengakui, tetapi meminta poligami. Kurasa dia seperti kurang waras. Apalagi pasti abis membeli barang mahal.
Aku menarik napas melihat dua pasangan tidak tahu malu itu lewat. Aku harus sabar agar semuanya bisa terkendali. Sama halnya aku sedang mempersiapkan harta Gono gini.
Aku pasti menang melawan kamu, Mas. Lihat aja nanti.
***