Video Viral

1130 Kata
Aku tak kuat dengan apa yang aku lihat. Kaki ini melangkah begitu saja menghampiri pasangan tidak tahu malu itu. Puas, saat aku menarik lengan sang gadis murahan dan mendorongnya hingga tersungkur ke lantai. Beberapa orang sudah memperhatikan kelakuan bar-bar istri sah ini yang tak kuat menahan pedih. Aku sudah tidak peduli dengan cibiran orang sekitar. Hati ini masih belum puas ingin menghajarnya kembali. Namun, Mas Randi sudah menahan tanganku yang akan kembali menarik rambut itu. “Apa-apaan kamu Yasmin!” bentak Mas Randi sembari membantu simpanannya. Gadis itu meringis kesakitan, tetapi aku tak kan peduli hal itu. “Belum juga kamu kirimkan surat perceraian kita, kamu sudah berani menggandengnya.” Kumaki Mas Randi dengan puas. “Tante, salah paham,” ucap Citra. “Lacur, tetap lacur dan enggak akan pernah menjadi Nyonya, walaupun kamu sudah menikah dengan Randi,” ucapku sembari menunjuknya. “Jaga mulut kamu, Yas. Ini di muka umum.” Mas Randi kembali merelai aku dan simpanannya. Malu katanya? Apa dia tidak berkaca, sekarang apa yang sedang dia lakukan? Menyakitiku dengan menggandeng simpanannya? “Biarkan saja, justru aku ingin semua tahu jika suamiku menjadi sugar Dady gadis ini!” pekikku lantang. “Diam!” Mas Randi kembali membentukku. Mas Randi dengan cepat menarik lengan Citra dan pergi dari tempat ini. Napasku begitu sesak, semua orang memperhatikan, tapi aku tidak peduli yang penting aku puas mempermalukan mereka. “Raka, kamu kenapa kok senyum-senyum?” tanyaku heran. “Raka punya sesuatu yang istimewa untuk Citra dan sugar dadynya.” Anakku mengulas senyum penuh arti. “Maksud kamu apa, Ka?” Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Raka katakan. “Nanti Mama juga tahu. Sekarang kita pulang dulu, Mama kelihatan lelah.” Aku semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran Raka. Apa yang dia perbuat pada dua orang tak tahu malu itu? Sepertinya anakku terlihat begitu senang dengan kejadian tadi. Semoga apa yang dilakukannya tidak merugikan kami. Benar kata Raka, aku memang sudah lelah. Apalagi baru saja menguras energi untuk hal tidak penting seperti tadi. Melihat Mas Randi menggenggam simpanannya membuat aku naik darah sampai tidak memedulikan rasa malu di tempat umum. *** Dua setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Bandung. Bi Sarti begitu baik, ia menyambutku dengan memasak makanan kesukaan Kami. Aku merasa tidak enak karena tidak bisa membayar jasa Bi Sarti dengan uang yang aku punya. Namun, ia begitu setia melayaniku sampai tak peduli aku tidak membayarnya. “Bi, jangan terlalu baik. Aku bingung bayarnya nanti. “Mbak Yasmin sudah terlalu baik buat saya. Hanya makanan murah yang saya sajikan.” Raka langsung melahap makanan kesukaannya. Mungkin dia terlalu lelah dalam perjalanan. Aku pun juga merasa lapar, untung saja Bi Sarti menyiapkan masakan paling enak buatan tangannya. Setelah makan, aku merebahkan diri di kasur. Memang tidak baik habis makan langsung tidur, tapi hati ini cukup lelah dengan semua yang aku alami hari ini pertemuan dengan Hendri membuat aku berpikir ulang untuk memperjuangkan hak kami dan tentunya milik Raka—anak kandung Mas Randi. Bukan gadis perusak itu yang menikmati harta kami. Memang aku tak ingin berhubungan dengan Mas Randi setelah perceraian. Akan tetapi, melihat keadaan Raka, aku akan memperjuangkan untuk biaya sekolah dia sampai menjadi orang hebat. Biar Mas Randi bisa melihat Raka tumbuh hebat walau pun tanpa sosok ayah. Heran dengan pria munafik seperti Mas Randi yang kekeh bertanggungjawab atas Citra, sedangkan Raka—anak kandungnya—ditelantarkan. Aku tak terima sebagai orang yang melahirkan Raka. Mas Randi lupa jika dia pernah begitu bahagia dengan kehadiran putra kami ke dunia. Mungkin dia lupa bagaimana cara dia mengasihi Raka sampai pria itu mengacuhkan anak tunggalku. Dunia berputar sangat cepat dan aku merasa semesta sedang mempermainkan aku. Kehidupan yang bahagia begitu saja sirna seperti membalikkan telapak tangan. Ucapan Hendri mungkin ada benarnya, aku harus kembali ke Jakarta dan mengurus harta gono gini setelah perceraian. Aku tak sudi mereka merebut dari kami yang berjuang dari nol bersama Mas Randi dan mereka yang menikmati. Sungguh itu tidak akan pernah kubiarkan terjadi. Kucoba memejamkan mata, tetapi tak bisa juga aku tertidur. Lelah hati ini membuat aku hampir gila membayangkan bagaimana kehidupan nanti pasca cerai dengan Mas Randi. Seperti apa kehampaan yang akan aku rasakan nanti? Apalagi melihat masa depan anakku nanti. Aku bangkit, terdengar Bi Sarti dan Raka sedang asyik mengobrol. Sengaja aku mendekat dan ikut dalam obrolan mereka. Aku menceritakan semua yang Hendri ceritakan kemarin. Netra Raka memerah menahan amarah mendengar semua penjelasan aku tentang apa yang dituturkan Hendri dan usaha yang akan kutempuh setelah bercerai. “Kurang ajar!” teriak Raka. Tangan Raka terkepal keras dan menghantam tembok berkali-kali. Hati ini begitu sakit melihat kemarahan anakku. Begitu tega ayahnya membuat luka sedalam itu. “Raka sudah, Nak. Jangan lukai dirimu.” Raka menjatuhkan diri ke lantai rumah. Tangannya mengusap kasar bulir bening yang sejak awal dia tahan. Namun, kini tumpah membanjiri pipinya. Allah ... cobaanmu begitu berat untuk anakku. “Kenapa harus Raka, Ma? Kenapa kehidupan Raka yang harus hancur?” Tangis Raka tumpah seketika. “Ka, Mama yakin kamu kuat. Mama ikhlas, Ka. Demi kebahagiaan kita, lupakan semuanya. Kamu pasti bisa.” “Ma, seumur hidup luka ini enggak akan pernah hilang sekali pun aku mati!” Aku langsung mendekap tubuh Raka, menenangkan dirinya. Bi Sarti ikut menangis melihat kejadian ini. Hanya ikhlas dan kesabaran yang aku punya untuk melalui semua masalah ini. *** Semalaman aku tidak tidur memikirkan Raka. Selama ini dia terlihat tegar, tapi ternyata dia sangat rapuh. Ia menangis tergugu dalam dekapanku sampai tertidur. Sunggu nyeri hati ini melihatnya. Dering ponsel bergetar begitu kencang. Nama Mas Randi sudah tertera di layar pipih itu membuat aku keheranan ada apa dia menelepon aku. “Ha—“ “Yasmin, mau kamu apa dengan mengirimkan video kemarin dan menyebarkan ke grup sekolah Citra?” Suara nyaring terdengar di seberang telepon. “Video apa?’” Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Mas Randi kali ini. “Halah, jangan pura-pura enggak tahu! Awas saja kamu, kulaporkan atas pencemaran nama baik.” Ancaman itu terdengar sangat menyakitkan bagiku. “Heh, Mas, aku juga akan melaporkan kamu dan simpananmu pada polisi jika kamu berani macam-macam dengan aku!” Mas Randi langsung mematikan ponsel. Aku yakin dia marah besar di sana, tapi jujur aku tidak tahu apa yang terjadi. “Ma, maaf, Raka pakai ponsel Mama untuk mengirimkan video kemarin saat di mal untuk aku kirim ke Angel temanku dan dia meneruskan ke grup sekolah. Jika pria itu mau melaporkan aku ke polisi, aku siap karena Raka puas melihat Citra di ujung tanduk. Raka yakin sebentar lagi dia akan dikeluarkan dari sekolah.” “Ra—Raka, kamu bertindak kenapa tak bicara dulu sama Mama?” “Maaf, Ma,” ucap Raka. Dia menyunggingkan senyum kemenangan. Ya Allah ... semoga hal ini tidak berlanjut ke jalur hukum. Lindungilah anakku, Ya Allah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN