Kalau kamu tetap ingin bercerai, aku tidak akan memberi sepeser pun harta untuk kalian.” Mas Randi dengan lantang berteriak seolah-olah aku yang bersalah.
Kalimat itu akhirnya terlontar dari mulut Mas Randi. Sekian lama dia membela diri dan mengelak perselingkuhannya, akhirnya dia mengakui semua itu. Lucu bukan, kini aku yang disingkirkan. Harusnya, aku yang menyingkirkannya, malah semua terlihat terbalik.
“Silakan. Memang itu yang kamu mau, kan, Mas. Aku dan Raka akan pergi dari hidupmu. Tapi, ingat satu hal. Jangan mencari kami jika kamu jatuh terpuruk.” Napasku terasa sesak, luapan emosi pun kini sudah memenuhi rongga d**a.
“Kamu menyumpahi aku?”
“Tidak.”
Aku menyeka bulir bening yang jatuh begitu saja dari pipi. Benar kata Raka, jangan membuang waktu untuk menangisi pria berengsek seperti Mas Randi. Untuk apa bertahan jika kemolekan tubuh gadis muda lebih menarik dari aku yang sudah berkepala tiga. Dengan langkah gontai aku meninggalkan calon mantan suami, dan gegas ke kamar untuk berkemas.
Tak banyak yang akan aku bawa, hanya beberapa baju saja itu pun bukan pemberian Mas Randi. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa pernikahan yang terjadi delapan belas tahun lalu harus kandas di tangan orang ketiga. Badai itu begitu dahsyat menghantam pertahananku.
Lagi-lagi air mata ini jatuh. Bukan perkara mudah melupakan rasa cinta untuk Mas Randi. Bagaimanapun, kami pernah saling cinta, dan melengkapi. Benteng pertahanan pernikahan kami runtuh begitu saja. Bagaimana nasib Raka nanti? Sekolah dan cita-citanya kelak jika aku tak sanggup membiayainya? Namun, aku sudah tak memedulikan hal itu, yang penting kali ini aku keluar dari neraka.
“Kamu masih bisa mengubah keputusan kamu sebelum ke luar dari rumah ini,” ucap Mas Randi. Pria itu ternyata berdiri di ambang pintu menahan aku di sana.
“Keputusan yang aku buat sudah bulat. Maaf, Mas, jangan paksa aku menerima seorang madu, apalagi yang seharusnya menjadi anak.” Air mata ini terus mengalir deras membasahi pipi.
“Dasar keras kepala. Bisa apa kamu hidup di luar tanpa uang dariku? Apalagi anakmu?”
“Jangan meremehkan aku, Mas. Kita lihat, siapa yang akan menjadi terdepan. Kamu atau anakku, Raka.”
“Percaya diri sekali kamu. Anak masih sekolah saja kamu banggakan. Zaman sekarang yang berijasah saja banyak menganggur, apalagi hanya lulusan SMA,” cerca Mas Randi.
Takabur sekali Mas Randi. Semua sudah digariskan Allah, jangan menganggap remeh aku. Bisa saja malah dia yang bangkrut. Raka pasti marah jika mendengar perkataan menyakitkan ayahnya.
“Terserah kamu saja.”
Aku gegas membangunkan Raka. Dia terbangun dan memindai wajahku dan koper yang ada di tangan ini.
“Mau ke mana?” tanyanya.
“Kita pergi, kemasi baju kamu dan tinggalkan yang bukan milik kita. Biarkan orang serakah yang menikmati rumah ini. Suatu saat kita akan memilikinya lagi.”
Raka mengerti dengan ucapaku. Dia gegas merapikan baju dan keperluan sekolahnya. Aku bisa melihat saat tangannya menaruh kunci motor kesayangan di nakas.
“Kamu sedih meninggalkan motor kesayanganmu?” tanyaku langsung.
“Aku lebih sayang Mama. Aku tidak mau harga diri Mama dijatuhkan oleh pria itu. Aku mendengar semua dan setuju dengan semua keputusan Mama. Kita pergi, Ayo.”
Kami melangkah beriringan melewati Mas Randi yang duduk di ruang tamu. Tatapan itu tak sama seperti yang selalu dia berikan. Aku kalah kali ini, tapi tak ada penyesalan dalam hati ini. Semua memang harus terjadi dan aku ikhlas menerima. Mas Randi bergeming, sama sekali tidak mencegahku. Pengabdian sebagai seorang istri berakhir dengan luka.
***
Aku memutuskan pulang ke kota Bandung, kembali menepati rumah peninggalan kedua orang tua saat mereka masih ada. Sudah sangat lama aku tak berkunjung ke tempat ini. Untung saja, ada Bi Sarti yang setia membersihkan rumah kosong ini. Perjalanan dua jam dari Jakarta membuat Raka lelah, dia tertidur di sofa tanpa membuka sepatu.
Bi Sarti menyambut hangat kedatangan kami. Wanita tua itu sibuk mengolah makanan untuk kami. Tak lupa dia menyediakan air hangat untukku mandi. Ada rada tidak enak dengan kesetiaan wanita baik hati itu, kini aku tidak bisa membayar untuk membersihkan rumah ini. Aku tersadar dari lamunan saat Bi Sarti sudah berada di sampingku. Teh hangat dan cemilan kue.
“Mbak Yasmin, tumben datang enggak ngabarin?” tanya Bi Sarti. Tangannya sigap memijit-mijit tanganku.
“Bi, pernikahan saya dan Mas Randi berakhir di pengadilan agama. Mas Randi berselingkuh, Bi.” Aku memeluk tubuh rentan itu.
Tangan keriput Bi Sarti mengelus lembut punggungku. Teringat sebuah pesan darinya waktu itu tentang pernikahan.
“Doakan suamimu, biar lancar rezekinya.”
“Harus, Bi?”
“Haruslah. Karena doa seorang istri manjur. Jadi, jika dia menyakitimu maka hidupnya tak akan bahagia.”
Aku tersadar dari lamunannya saat Bi Sarti mengelus punggung tangan dan mencoba menguatkan aku. Bersabar adalah satu kata yang ampuh dalam menjalani cobaan. Hanya itu jalan satu-satunya dari pada menangisi semua yang sudah terjadi.
Raga tak bisa berbohong jika hati ini masih menyisakan sesak di d**a. Terkadang aku memikirkan hal itu, pernikahan yang aku jaga kini sirna begitu saja.
Harta tidak lebih baik dari kebahagiaan Raka. Bersama Mas Randi sama saja membuat trauma pada diri anakku. Tidak seharusnya dia merasakan hal ini, masa remaja dengan berbagai permasalahan.
***
Sudah hampir sebulan aku di Bandung semenjak permintaan Mas Randi untuk menikahi Citra. Dua hari lalu aku kembali menginjakkan kaki di Jakarta untuk mengurus berkas kepindahan sekolah Raka. Raka pun setuju untuk tinggal dan menetap di kota ini. Tidak ada penolakan karena ia tahu aku sedang menata hati.
“Ka, Mama hanya bisa mendaftarkan kamu di sekolah negeri biasa. Uang Mama enggak cukup.”
“Di mana aja, Ma. Asal Raka bisa sekolah.” Raka menjawab santai.
Jujur, aku tak sanggup melihat netra Raka yang sendu. Dari kecil dia terbiasa dengan kemewahan, tapi kini dirinya harus menerima perubahan begitu cepat. Ponsel mahal milik Raka, sengaja dia tinggalkan karena benda pipih itu adalah hadiah pemberian Mas Randi. Dia kuat, walaupun aku sering melihat anakku menyendiri.
“Bi Sarti sudah memberikan Mama beberapa info sekolah. Sebelumnya kamu aan di tes karena kamu masuk pertengahan.”
“Iya, Ma.”
Setelah itu dia tidak banyak bicara lagi. Raka kembali ke halaman rumah sembari memperhatikan mobil yang berlalu lalang karena rumahku berada di pinggir jalan.
***