Tubuh ini begitu lelah, apalagi setelah seharian menangisi kebusukan Mas Randi. Beban di pundak terasa berat untuk kupukul. Rasa itu masih teramat sakit, sungguh tak percaya jika suamiku melakukan perselingkuhan dan m*****i janji suci pernikahan kami.
Luka itu memang tak berdarah, tapi menorehkan sakit teramat dalam. Aku mengintip dari jendela kamar saat terdengar suara mobil Mas Randi memasuki halaman rumah. Apa yang akan dia lakukan lagi? Masih berani dia menampakkan batang hidung di depan wajahku.
Beberapa teman arisan banyak yang bernasib sama. Padahal, mereka selalu bilang aku adalah orang yang paling beruntung karena usia pernikahan kami panjang. Mas Randi suami , dan tak pernah banyak menuntutku. Akan tetapi, hal itu kini menimpa diri ini. Nasib pernikahan kami di ujung tanduk.
Suara ketukan pintu membuat aku tersadar dari lamunan. Pria itu sudah berada di hadapan, dia tahu kalau aku tidak pernah mengunci kamar ini.
“Yas,” ucap Mas Randi.
“Jangan mendekat. Menjauh dariku, Mas.”
Walau aku menolak, Mas Randi tetap mendekat dan memeluk erat. Aku benci saat hati ini kembali luluh dengan pelukan hangat darinya. Dorongan kuat membuat dia terhuyung hingga tersudut di tembok.
“Maafkan, aku.”
“Aku benci kamu, Mas.”
“Aku tidak bermaksud menutupi hal itu dari kamu, Yas. Citra anak dari Pramono, sahabat lamaku yang meninggal satu tahun lalu dan dia menitipkan Citra untuk aku sekolahkan.”
“Juga untuk kamu nikahkan?”
Mas Randi bergeming. Aku sudah tahu jawabannya, sunggu hati ini begitu teriris.
“Bukan begitu, awalnya memang hanya ingin membantu karena aku kasihan. Namun, maafkan aku, Yas. Aku khilaf.”
Tubuh kekarnya merosot ke lantai sembari memohon maaf padaku. Netra Mas Randi memerah, tapi hal itu tak akan bisa menggantikan rasa sakit di hati.
“Pergilah, Mas. Aku tidak sudi bermadukan gadis belia. Aku muak padamu!”
Andai saja kamu tahu rasa sakit ini menggerogoti seluruh tubuhku. Semua hal tentang indah pernikahan akan kuhapus permanen dari hidup ini.
“Yas, aku tidak bisa hidup tanpa kamu dan Raka. Maafkan aku,” tuturnya.
“Ck! Kamu pikir aku bisa hidup dengan pria seperti kamu? Membayangkan kamu bersama gadis seumuran Raka saja membuat aku muak!”
“Sekali ini, beri aku kesempatan, Yas.”
Aku memalingkan wajah menghindari mata teduh Mas Randi. Aku yang terluka kali ini, kenapa perasaan ini tak karuan.
“Jawab jujur, Mas. Apa kamu sudah menikahi wanita itu?”
Lagi-lagi Mas Randi bergeming. “Jawab, Mas?!”
“Aku tidak menikahinya.”
“Lalu, untuk apa kalian di hotel kemarin?”
Jantung ini berdetak tak karuan memikirkan apa yang mereka lakukan di sana.
“Astagfirullah, Mas. Dia masih sekolah, mau kamu apa, Mas?”
“Aku hanya bertanggungjawab memberikannya uang untuk sekolah, Yas. Karena kesalahanku, dan dia harus tetap bersekolah selayaknya anak seumuran dia.”
“Gila kamu, Mas! Zaman sekarang bisa lewat ATM, jangan kira aku bodoh.”
Makian demi makian aku lontarkan pada Mas Randi. Akan tetapi dia tetap diam mematung di hadapanku. Kepalaku terasa berat hingga semuanya terasa kabur dan gelap.
***
“Mama sudah sadar?”
Sebuah pertanyaan terdengar saat mata ini mulai terbuka. Raka anakku kini berada di kamar ini. Ke mana Mas Randi?
“Papa kamu ke mana?”
“Papa di luar bersama Dokter Aldo. Apa yang dia perbuat sampai Mama seperti ini?”
Aku bisa melihat netra Raka memerah, kebencian begitu terlihat dari sudut mata itu. Anak itu sudah dewasa hingga dia bisa tahu mana yang baik dan tidak. Perasaan Raka mungkin sama hancurnya seperti diri ini. Namun, dia tak banyak bicara hanya terus mengusap punggung tanganku.
Mas Randi terpaku di ambang pintu. Seperti ragu ingin masuk dan menghampiri. Walau jauh, aku bisa melihat wajahnya penuh luka. Siapa yang membuat dia seperti itu? Apa Raka anakku? Tapi, itu tidak mungkin karena Raka adalah anak yang sopan dan tidak akan melukai orang tua. Kini, Mas Randi menghilang di balik pintu.
“Mama jangan banyak pikiran. Raka nggak mau mama sakit, pelakor itu akan mendapatkan balasannya.”
“Apa yang mau kamu lakukan?”
“Entah.” Raka menaikkan bahu.
“Jangan gegabah. Mama tidak ingin masa depan kamu rusak.”
“Tenang, Ma.”
Mendengar Raka berbicara, membuat aku tenang. Anak kesayanganku dan harta paling berharga saat ini. Dendam itu masih teramat sulit terlupakan mengingat tanggung jawab Mas Randi pada temannya.
Namun, pertanggungjawaban seperti apa yang mengharuskan dia membiayai semua kebutuhan gadis itu? Aku harus mencari tahu semuanya.
Badai itu datang terlalu tiba-tiba membuat aku tak siap menyambutnya. Tempat mengadu dan bermanja kini sudah tak nyaman untukku. Mas Randi mengambil keputusan tanpa meminta persetujuan dari aku. Padahal jika dia mau menceritakan masalahnya, mungkin keadaannya akan berbeda.
“Raka mau pergi ekskul, Mama istirahat, ya?”
“Iya.”
Sebelum pergi Raka mencium kening dan punggung tanganku. Dulu aku sangat berunting memiliki dua pria setia di sampingku. Akan tetapi, kini hanya tinggal satu pria yang menemani hari-hariku.
***
Aku bergegas keluar rumah setelah mendapat informasi dari orang suruhan tentang Citra. Walaupun tubuh ini masih terasa berat, tapi demi mengetahui semua kebohongan suamiku, kini aku sudah berada di depan rumah Citra.
Benar saja, belum lama aku menapakkan kaki di halaman. Terdengar deru mobil menghampiri rumah ini. Secepat kilat aku bersembunyi di samping pohon mangga agar tak terlihat.
Itu mobil Mas Randi. Dia turun bersama Citra masuk ke rumah itu. Jantung ini berpacu sangat cepat. Baru saja dia memohon maaf, tapi kini pria itu sudah bersama selingkuhannya lagi. Ada apa ini? Apa benar dia sudah tak mencintaiku lagi?
Perlahan diri ini melangkah maju ke rumah itu. Memindik demi mendengarkan apa yang terjadi sebenarnya. Dari jendela aku bisa melihat jelas wanita tua duduk sembari tersenyum menerima kedatangan Mas Randi. Sementara, Citra datang membawakan teh hangat untuk suamiku. Manis sekali seperti keluarga bahagia, tapi mereka lupa ada aku yang terluka.
“Terima kasih banyak bantuan Pak Randi. Citra bisa sekolah dan kami bisa hidup layak.”
Jelas sekali terdengar suara wanita itu berbicara. Memang jarak ini begitu dekat dan hanya tertutup hordeng lusuh.
“Tidak apa-apa, Mba. Saya juga diwasiatkan Pak Pram untuk menjaga kalian.”
“Saya tidak bisa memberikan apa- apa. Hanya mendoakan semoga Pak Randi bisa mendapatkan pasangan hidup lebih baik setelah perceraian. Sudah cukup lama bukan, ya? Pak Randi bilang satu tahun lalu?”
“Iya.”
Apa? Perceraian? Siapa yang bercerai dan siapa yang akan mendapatkan jodoh? Apa aku tak salah mendengar? Aku meremas ujung hijab, napas ini naik turun hingga terasa sesak. Demi Allah, aku benci mendengarnya. Allah ....
***