Awal Kebohongan

1061 Kata
“Aku masih istri sah kamu, Mas!” Aku berteriak lantang, melangkah masuk ke rumah mirip gubuk itu. Mas Randi terhenyak, begitu pula dengan Citra dan ibunya. Mungkin Mas Randi tidak menyangka jika aku berada di rumah ini, sedangkan yang dia tahu aku sedang berbaring di tempat tidur. Wajah tua itu terlihat keheranan saat mendengar teriakan dari istri terzolimi ini. Begitu juga Citra, gadis itu hanya menundukkan wajah tak berani menatapku. Lemas tubuh ini tak menghalangi untuk mengungkapkan kebenaran tentang kebusukan mereka berdua. Entah, ibunya pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu. “Ibu, istri Pak Randi?” tanya Ibu Citra. “Iya, sayangnya suami saya tercinta tidak mengakui pernikahan ini.” Netraku tajam menatap Mas Randi yang menunduk saat aku mencoba menerobos matanya. “Bu, bukan begitu, Yas,” sanggah Mas Randi. “Bukan begitu bagaimana? Bukannya sudah setahun menduda? Demi Allah, sampai mati aku tak akan pernah rela kamu menikah dengan bocah ingusan ini!” “Ibu tunggu, maksud Ibu apa? Siapa yang akan menikah dengan anak saya?” “Siapa lagi kalau bukan Mas Randi. Jangan pura-pura tidak tahu, Bu, tentang kegilaan yang mereka lakukan,” tuturku. “Tante sudah, aku dan Om Randi tidak ada apa-apa.” Citra akhirnya bersuara dan membela diri. Tidak ada apa-apa? Apa yang aku dengar tidak salah? Lalu, sedang apa mereka di hotel? Allah ... mereka kira aku bodoh dan bisa percaya begitu saja dengan ucapan dari mulut beracun itu. Lancang sekali dia berargumen padaku dan membela dirinya yang serasa suci. Jangan harap hati ini memaafkan kalian. Apa benar wanita itu tidak tahu apa yang dilakukan sang anak selama ini? Atau hanya berpura-pura saja? “Kamu bilang tidak ada apa-apa dengan suami saya? Tapi kenapa kalian berada di hotel tadi?” Belum puas aku memaki, Mas Randi sudah menarik ke luar dari rumah itu. Tidak terima aku dengan perlakuannya, kutampar berulang kali pipi pria itu dengan membabi buta. Kekecewaan beserta emosi yang menyelimuti hati sudah tak bisa terbendung menerima kenyataan pahit yang tak pernah aku duga. Mas Randi bergeming tak membalas. Astaga, kepingan hati kian retak tak berbentuk. Wajahnya serasa tak bersalah. Jadi, selama ini dia mengaku duda? Allah ... sesak d**a ini memikirkan kelakuan gila suamiku. Demi gadis muda, dia rela seolah-olah kami telah berpisah. “Kita pulang, bicara di rumah saja.” “Nggak perlu, Mas. Selesaikan sekarang, untuk apa di rumah kalau sama saja kamu akan menjadikan aku janda seperti pengakuan kamu pada mereka.” “Ma, kamu salah paham. Aku ....“ “Aku apa, Mas? Tubuhku memang tak semulus gadis itu, tapi ingat, harta melimpah dan jabatan tinggi itu hasil doa-doa seorang istri. Bukan doa seorang simpanan! Silakan kamu ceraikan aku, asal kita urus harta gono gini. Nggak sudi aku berbagi harta dengan dia!” Wajah Mas Randi memucat mendengar penuturanku. Jangan harap kamu bisa bahagia dengan gadis itu. Tak masalah bagiku jika hal terparah menimpaku, karena rumah besar nan megah itu sudah atas nama Yasmin Putri. Pasti dia sedang menghitung seberapa banyak yang akan dia miliki setelah berpisah denganku. Aku kembali melangkah ke rumah itu. Lagi-lagi tanganku di cekal Mas Randi. “Mau apa kamu ke sana?” “Mau apa kamu tanya? Yang jelas aku mau kasih pelajaran buat pelakor itu. Kecil-kecil sudah jadi orang ketiga.” Sepanjang aku melangkah, Mas Randi terus menarik lenganku. Kamu pikir aku lemah bisa diam saja diperlakukan seperti ini? Jangan harap gadis itu tidur nyenyak malam ini. Kini, ibu gadis itu yang menghampiriku. “Bu, tidak mungkin anak saya seperti yang ibu tuduhkan?” “Saya tidak asal menuduh. Tanyakan saja pada anak Anda, apa dia masih gadis?” Aku menunjuk gadis itu dengan geram. Sementara, wajah Citra memucat saat aku mempertanyakan kegadisannya. “Jaga bicara Anda!” Ibu gadis itu marah tak terima aku memaki dan menuduh anaknya. Bukan tanpa sebab, apa namanya kalau bukan pelakor bersama orang yang lebih muda di hotel? Sebodoh apa diriku jika tidak bisa membedakannya. “Tante, saya masih gadis. Saya nggak berbuat macam-macam dengan Om Randi,” ucap Citra dengan isak tangis. “Hanya orang bodoh yang percaya!” “Lebih baik Anda keluar dari rumah saya!” Lantang Ibunya Citra mengusirku. Kita lihat, dia akan menyesal telah membuat aku menderita. Kalau perlu mereka akan masuk penjara jika tak ada kesadaran dari mereka. Kini, dengan emosi masih meradang, diri ini keluar dari gubuk berengsek itu. Mas Randi memaksaku masuk ke mobil. Sepanjang jalan dia terus meminta maaf dan membela diri. Aku memang tak menginginkan perceraian itu, tapi untuk apa mempertahankan hubungan tak sehat ini? Untuk apa pula menahan pedih mengingat dia bergumul mesra di peraduan dengan wanita lain, sedangkan aku terus berdoa untuk kesuksesan dan limpahan harta untuknya. “Yas, demi Raka. Aku mohon jangan ambil keputusan gegabah. Aku hanya menebus kesalahanku dengan keluarga itu karena aku yang bertanggungjawab dititipkan Citra untuk aku biayai sekolahnya.” “Membiayai dengan menyimpan gadis muda itu berbeda arti. Untuk apa pula mengaku duda? Pikir paki otak, dong, Mas. Bodoh jangan dipelihara.” “Yas, aku hanya mencintai kamu.” “Persetan dengan cinta kamu, Mas!” Lagi-lagi racun dari mulut Mas Randi membuat aku muak. Semakin tua kenapa semakin menjadi. Dasar pria b******n, setelah kaya, bukan sibuk ibadah malah sibuk mencari wanita lain. Semoga saja dia sadar. Demi Raka dia bilang? Anakku pasti akan tertawa jika mendengar hal menjijikan itu. Mana ada maling ngaku, adanya penjara penuh. Putra kesayanganku sudah dewasa, pasti akan mengerti perasaan mamanya. “Kasih aku waktu untuk menjelaskan. Aku hanya ingin membantu, dia anak yatim , Yas.” “Lalu? Karena dia yatim jadi kamu mengambil kesempatan untuk menjadi pahlawan kesiangan?” Aku heran dengan jalan pikiran suamiku. Sudah jelas dengan semua bukti yang ada, tapi Mas Randi kekeh tidak ingin aku menyebutnya selingkuh. Allah ... kenapa hati ini begitu sakit? Apa yang harus aku perbuat? Kalau bercerai itu keputusan tepat, hal itu akan aku lakukan demi hati yang terluka. “Bukan karena Yatim, tapi karena saat itu ayahnya kecelakaan karena aku yang mengemudi dan kelalaianku hingga terjadi kecelakaan dan membuat Pram meninggal. Dan sebelum itu, dia meminta aku untuk menyekolahkan anaknya yang masih sekolah. Hanya itu.” Entah, apa aku bisa percaya dengan ucapan Mas Randi atau tidak. Intinya aku benci pengkhianatan dalam bentuk dan kemasan kebaikan. Apa dia pikir aku berhati emas dan mengetik banyak kesabaran menghadapi ulah puber keduanya? Hah, jangan berpikir aku akan percaya begitu saja. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN