Aku tak begitu percaya dengan apa yang dituturkan Mas Randi. Kesalahannya menolong orang tanpa berpikir panjang dan berkomunikasi denganku, istrinya. Dia pikir keputusan yang diambilnya sudah tepat, Sayang semua tak seindah yang ia pikirkan.
Lagi, pikiran ini kacau jika mengingat perkataan Ibu gadis itu kalau suamiku adalah seorang duda. Hati ini rapuh, hancur berkeping-keping. Status kami masih menikah dan masih baik-baik saja, mana mungkin kami berpisah.
“Tapi, tidak dengan mengaku sebagai duda, kan, Mas? Apa salahnya kamu bicarakan ini dahulu dengan aku.” Aku masih sangat emosi, bicara dengannya membuat hati ini semakin kacau.
“Aku takut kamu tidak setuju.” Alasan tidak masuk akal, tapi jika ia bicara juga aku pun tak akan mau, untuk apa mengurus anak orang lain.
“Mas, hal seperti itu bukan perkara setuju atau tidaknya. Tapi, ini masalah kenapa aku merasa kamu seperti menjadi sugar daddy bagi Citra.” Aku tak tahan, kuluapkan semua yang ada di hati, apalagi tentang pria dewasa yang memiliki simpanan gadis seusia anaknya.
Jantung ini hampir berhenti akibat Mas Randi menghentikan laju mobil tiba-tiba. Dia menatapku dengan wajah memerah, entah apa yang dia pikirkan. Tangannya mengusap wajah kasar.
“Buang pikiran jelek itu. Aku bukan sugar daddy siapa-siapa. Aku hanya membantu.”
“Bagaimana dengan status duda kamu?”
“Itu hanya salah paham. Mungkin istrinya alm. Pram salah paham.”
Salah paham dia bilang? Aku mengalah sejenak untuk menghilangkan penat. Rasa emosi yang tak terbendung harus aku jernihkan untuk mengatur strategi lain. Mencari kebenaran tentang semua ini. Mas Randi kembali melajukan mobil membelah jalan.
Aku memalingkan wajah, menatap jalanan yang dibanjiri air hujan. Mulut ini bungkam, sudah tak sanggup berkata menahan sesak di d**a. Aku mengembuskan napas panjang, melirik sekilas pada suamiku yang tampak tenang mengemudi.
***
Sesampainya di rumah, Mas Randi langsung masuk ke kamar. Sudah menjadi kebiasaan setelah berpergian pasti dia akan mandi baru kembali berkumpul denganku dan Raka. Aku menghempaskan tubuh di sofa sembari memijit kening yang terasa pusing.
“Ma, dari mana?” Raka bertanya curiga.
“Ada urusan sama teman, Ka.” Aku terpaksa berdusta di hadapan Raka. Demi menutup semua kebusukan suamiku yang juga ayahnya.
“Kok, pulang sama Papa?” Raka semakin curiga.
“Iya, Mama minta jemput. Kepala Mama sakit lagi.” Aku mencari alasan agar Raka tak tahu apa yang aku lakukan tadi. Pasti dia marah besar jika tahu kejadian tadi.
“Mama lagi sakit, bandel pakai keluar segala. Memang nggak bisa ditunda urusannya?” tanyanya lagi.
“Nggak, Ka. Urgent.”
“Urgent mana, sama kesehatan Mama?”
Aku bergeming. Pria kecil ini sudah dewasa dan pandai membuat aku menjadi merasa bahagia bercampur sedih. Dia putra kesayangan yang perhatian padaku melebihi pada dirinya sendiri. Ah ... semoga dia tidak menjadi seperti Mas Randi.
Detik ini, bulir bening mengalir begitu saja saat Raka memelukku. Sesaat masalah itu terlupakan, hanya ada tangis bahagia yang membuat aku merasa menjadi Ibu paling berharga. Dulu, pernah anak ini berkata, “Jika ada yang menyakiti Mama, katakan padaku, percaya orang itu akan Raka buat mati secara perlahan.”
Jika mengingat kalimat itu, sungguh aku sangat takut kehilangan Raka. Putraku dulu berusia 12 tahun saja bisa berbicara seperti itu, apalagi sekarang jika dia tahu sebenarnya.
“Raka tidur dulu. Lelah seharian main basket. Mama jangan lupa minum vitamin, kalau sudah tidak kuat, kita keluar dari neraka ini,” ucapnya sembari berlalu.
Sekilas aku melihat senyum itu, d**a ini terasa sesak. Neraka? Apa Raka tahu apa yang terjadi saat ini? Ucapan dia seperti petir yang menyambar di siang bolong. Pelan, tapi menghanyutkan. Yang kutakutkan jika dia marah, semuanya akan hancur.
Baru saja melangkah, ponsel bergetar. Kuambil dari tas, benda pipih itu masih saja bergetar. Nama Tedy, detektif yang aku bayar untuk mencari tahu semua tentang Citra.
[Jangan menelepon saya sekarang]
[Baik, Bu. Saya hanya ingin menyampaikan kalau Citra bersekolah di SMU Tunas Harapan.]
Bibir ini bergetar hebat. Sekolah itu adalah tempat Raka menimba ilmu, dan kenapa bisa di sana? Apa Mas Randi sengaja menempatkan Citra di sana? Atau memang gadis itu sudah terlebih dahulu bersekolah di sana?
“Raka!"
Hampir saja aku jantungan saat tiba-tiba Mas Randi berteriak memanggil Raka dengan keras. Pintu kamar Raka di gedor sangat kencang hingga membuat aku terperanjat kaget. Ada apa ini? Kenapa suamiku terlihat marah besar?
“Keluar kamu anak kurang ajar!” teriak Mas Randi.
“Ada apa ini, Mas?” tanyaku heran.
“Keluar, kamu!”
Raka keluar dari kamar. Wajahnya sangat tenang menghadapi kemarahan Mas Randi. Hanya tatapan tajamnya yang disorotkan ke sang ayah.
“Ada apa ini, Mas?”
“Tanya saja sama anak kebanggaan kamu!”
“Ada apa, Ka?”
“Ck! Pasti babynya sudah mengadu sampai sang sugar daddynya mengamuk. Salah atau benar ucapanku?”
Aku meringis saat tangan yang digunakan Mas Randi untuk mengelus rambut Raka, kini dia pergunakan untuk menampar buah hati kami. Refleks aku mendorong tubuh suamiku menjauh dari Raka.
“Jangan pernah sentuh anakku!”
“Biar, Ma. Biar dia puas memukul anak kandungnya. Saya muak lihat kelakuan munafik Anda! Menjijikkan!”
Lagi, tamparan itu membuat hati ini sakit. Perih begitu terasa saat tangan itu menyentuh pipi Raka.
“Hentikan! Jangan sakiti anakku, atau aku laporkan kamu ke polisi, Mas.” Aku mengancam Mas Raka dengan keras.
“Jadi kamu mengancam aku? Berani kamu sama aku?” Suara Mas Raka semakin meninggi. Ia mendorongku sangat keras hingga melupakan jika aku adalah istrinya.
Tubuh ini jatuh tersungkur di lantai. Raka murka, aku mencoba menahan tubuh putraku. Namun, terlambat karena Raka sudah memukuli Mas Randi dengan emosi. Netra Raka memerah saat menatap ayahnya, mungkin ia sangat kecewa.
“Siapa yang b******n di sini? Anda atau saya?!” Lagi, Raka berteriak sangat kencang dengan sisa-sisa emosi yang tak terkendali. Aku mencoba menenangkannya, tapi Rakaku semakin emosi.
Mas Randi tergolek lemah. Luka lebam memenuhi wajahnya akibat hantaman demi hantaman yang diberikan Raka. Namun, Raka sama sekali tak merasa bersalah, malah ia kembali ingin menghajarnya jika aku tak menahan tubuh besarnya.
“Meniduri gadis seumuran saya, apa namanya kalau bukan biadab?” Teriakan Raka membuat aku meringis sesak. Ada kecewa yang benar-benar terlihat dari sudut mata Raka.
Lututku lemas bagai tak bertulang. Jantung pun berdetak sangat kencang mendengar penuturan Raka. Meniduri gadis seumuran saya? Apa yang di maksud Raka adalah Citra? Tubuh ini luruh ke lantai, menangis sejadi-jadinya. Ternyata anakku pun sudah tahu bagaimana biadabnya sang ayah
***