Luapan Hati Raka

1061 Kata
“Bangun, Ma. Jangan membuang waktu menangisi pria tak punya hati seperti dia.” Raka membantu tubuh ini yang luruh ke lantai saat tak kuat mendengar semua penuturannya. Sesuatu hal paling ditakutkan adalah anakku mengetahui kebusukan sang ayah. Benar-benar di luar dugaan, Raka sudah mengetahui jika Mas Randi berselingkuh dengan Citra. Apa mereka saling mengenal dan memang satu sekolah dengan Raka? Mas Randi bangkit menghampiri kami. Sebelum itu, Raka sudah dulu pasang badan di depan aku. Putraku masih penuh luapan emosi, terlihat dari caranya menatap ayahnya. “Jangan berani melangkah maju, atau aku akan bertindak kasar lagi!” teriak Raka. “Anak kurang ajar. Masih sekolah saja sudah berani tak sopan. Aku yang membiayai sekolah kamu, beraninya kamu!” “Saya memang masih sekolah, salah jika saya marah jika Anda melukai hati wanita paling berharga milik saya?” “Sudah, Ka. Jangan seperti itu. Dia Papa kamu, nggak baik berbuat seperti itu,” ucapku mereda emosi Raka. Berada di situasi seperti ini membuat aku bingung. Raka masih menggebu dengan emosinya dan Mas Randi tetap menyangkal hubungannya dengan Citra. Hati ini terkoyak dengan kebenaran tentang perselingkuhan Mas Randi yang terbongkar oleh anak sendiri. “Ma, Mama nggak tahu bagaimana malunya Raka di hadapan teman-teman? Mereka berteriak jika Papa menjadi sugar daddy cewek berengsek itu!” Teriakan Raka begitu terlihat sangat emosi. “Diam kamu, Raka!” Mas Randi tetap kekeh tak mau disalahkan. “Untuk apa aku diam? Harusnya Anda punya malu, apa Anda lupa jika anak sendiri sekolah di sana? Berkoar jika Citra anak asuh . Mana ada anak asuh diajak nginep di hotel? Mana ada anak asuh ditiduri?” “Astagfirullah, Mas!” Kali ini tak kuat mendengar semua yang diutarakan Raka. Benar, anakku sudah lebih dahulu mengetahuinya. Tangan ini tak henti memukuli tubuh tegap di di hadapanku, pria itu bergeming seolah-olah pasrah dengan apa yang aku lakukan. Tega sekali dia m*****i pernikahan kami dengan perselingkuhan. “Yas.” Pria yang menemani bertahun-tahun bersimpuh di hadapanku memohon maaf atas kesalahannya. Semudah itu kalimat itu terucap tanpa memikirkan bagaimana dulu memulai bermain api. “Pergi kamu, Mas. Pergi! Tidak hanya membuat luka padaku, tapi kamu terohkan luka pada Raka anak kita. Lihat dia, hatinya tak sekuat yang kita lihat. Kamu tega, Mas!” “Aku khilaf, Yas. Semua di luar kendaliku.” Khilaf? Mudah berbicara itu, sedangkan aku dan Raka menahan pedih atas perlakuan dirinya. Kasihan Raka, dia pasti trauma dengan kondisi seperti ini. Tidak seharusnya di usia masih 17 tahun harus merasakan getir hidup perceraian orang tua. Maafkan Mama, Nak. Aku bangkit hendak berkemas pergi dari rumah. Akan tetapi, lagi-lagi Mas Randi menahan untuk tetap tinggal. Apa yang dia inginkan? Membuat rasa sakit yang terus-menerus hingga diri ini sakit? Atau sengaja agar aku mati perlahan oleh sikapnya. Tangannya merengkuh tubuh ini dalam dekapan yang tak membuat aku iba. “Biar aku pergi, Mas.” Aku berkata sembari melepas rengkuhan Mas Randi. “Tetap di sini, biar aku yang pergi.” “Ma, kita tetap di sini, dan biarkan dia pergi. Rumah ini milik Mama, jangan biarkan siapa pun merebutnya,” ucap Raka. Penuturan Raka membuat aku terkesiap. Benar juga apa kata dia, ini semua milik aku dan Raka. Jika kami keluar, maka suatu saat Mas Randi akan membawa Citra dan ibunya masuk. Itu tidak boleh, ini hak Raka sebagai anak kandung dan putra tunggal kami “Kurang ajar kamu, Raka!” “Cukup! Saya kurang ajar karena Anda tidak pantas untuk dihormati sebagai seorang ayah. Pernah, Anda berpikir bagaimana malunya saya di hadapan mereka saat tahu jika ayahnya menjeput gadis muda yang bukan anaknya? Pernah nggak Anda berpikir kalau saya hampir tak mau sekolah karena malu? Tapi, yang harus keluar dari sekolah bukan saya, melainkan simpanan Anda! Dia tidak berhak sekolah karena untuk apa menimba ilmu, tapi jadi wanita biadab!” “Raka cukup, Nak. Cukup.” Aku merengkuh tubuh Raka yang menegang. Tangannya mengepal keras, netranya merah menatap Mas Randi. Sungguh hati ini begitu sakit mendengar penuturan putra kesayanganku berjuang melawan perih dan getir hidup. Di sekolah, kau bisa bayangkan betapa malunya dia saat semua orang tahu jika ayah Raka berselingkuh dengan daun muda. Nak, sakit yang kamu rasakan membuat Mama bersalah karena membiarkan kamu merasakan hal ini. Kali ini Mas Randi terdiam. Tidak seperti tadi dia terus membela diri dan tak mau kalah. Selama ini, mereka sangat dekat. Canda tawa dan kesukaan yang sama membuat ayah dan anak itu selalu melakukan aktivitas bersama. Namun, aku perhatikan sudah hampir enam bulan tak ada kebersamaan itu lagi. Apa mungkin renggangnya hubungan mereka karena Raka sudah tahu hubungan Mas Randi dengan Citra? *** Lelah dengan pertikaian tadi, Raka kini tertidur di sampingku. Wajah penuh amarah berubah menjadi tenang. Apa yang harus aku lakukan? Mas Randi berdiri di ambang pintu, dia menganggukan kepala memanggilku untuk berbicara. Mungkin karena melihat Raka tidur dia bisa tenang. Aku menghampiri Mas Randi. Sesak ini masih begitu nyata dan aku harus selesaikan semua. Aku harus mendengarkan semua penjelasan apa yang akna di tuturkan Mas Randi kali ini. Walaupun hati ini tak nyaman berdekatan dengannya. “Cepat bicaralah. Sebelum Raka bangun dan mengamuk lagi.” “Yas, aku mengaku salah. Tidak seharusnya aku bermain api, tapi kali ini aku minta kamu menerima keputusan aku untuk menikahi Citra.” Deg. Jantung ini berdetak lebih cepat dari biasanya. Apa ini? Setelah berkali-kali mengelak hubungan dengan gadis itu, kini dia meminta aku mengizinkannya menikahi gadis itu? Allah ... kau buat hati ini kembali tersiksa dengan cobaan berat. Wanita mana yang mau di madu? Entah mengamuk seperti apa anakku nanti jika tahu semua ini? Tanganku kembali menampar keras wajah Mas Randi. Aku tak kuat dengan apa yang dia tuturkan. Sebuah sayatan tajam mengenai jantung dan membuat aku kembali terjatuh untuk kesekian kali. Air mata kini membanjiri pipi saat mengingat janji suci kami dulu. Mudahnya kini dia meminta izin menikahi wanita lain? “Kamu memang tidak punya malu! Bukan hanya aku yang tersakiti, tapi anakmu, Raka. Aku bersumpah, sampai kapan pun tak akan rela di madu. Ceraikan aku dulu baru kamu bisa menikah dengan dia.” “Aku nggak mau menceraikan kamu, Yas.” “Egois atau serakah kamu, Mas? Sampai mati, diri ini nggak akan rela!” “Aku masih cinta sama kamu. Sementara, Citra hanya tanggungjawab aku.” Tanggungjawab apa? Mana ada seseorang di wasiatkan untuk merawat seorang anak, tapi malah dinikahinya. Sungguh gila pikiran suamiku yang dibutakan oke cinta. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN