Ke suatu tempat

1262 Kata
“Hasan ...!” panggil Keysa sambil menggedor pintu kamar mandi.              Tidak lama pintu kamar mandi terbuka. “Ada apa?” tanya Hasan sambil berusaha menampilkan wajahnya seperti biasa. “Justru aku yang harus menanyakan ada apa? Kenapa kamu lama sekali di dalam kamar mandi? Membuatku khawatir saja," ucap Keysa sambil memandangi suaminya. “Tidak apa-apa. Hanya perutku mules tadi," dalih Hasan sambil memegangi perutnya sendiri. “Kamu ingin masuk ke kamar mandi?” Keysa menatap Hasan. “Tidak. Aku hanya merasa kamu terlalu lama di kamar mandi. Aku cemas. Takut kamu jatuh atau kenapa.” Hasan tersenyum dan memegangi kedua pipi Keysa dengan lembut. “Sayangku ini menjadi sangat cemas hanya aku terlalu lama di kamar mandi,” ujarnya sambil mengecup sayang pipi Keysa. Keysa tersipu malu mendapatkan ciuman dari suaminya. “Makan malam sudah siap di bawah.” Hasan menganggukkan kepalanya. “Jika kamarin Hawa benar-benar hilang, entah bagaimana sekarang,” kata Keysa sambil menggandeng lengan Hasan. Mereka berbincang sambil menunju meja panjang di halaman belakang. Meja yang sudah di tata rapi dengan berbagai menu makanan oleh Keysa. Di meja, Adam mengamati Hasan dan Keysa yang berjalan sambil diiringi tawa. Mereka selalu nampak pasangan harmonis dan membuat Adam menyesali semua tindakannya telah meninggalkan Keysa dan memilih Desi, wanita pilihan ibunya. “Mama ... Mama di sebelah kan ada tetangga baru,” kata Hawa sambil menunjuk rumah kosong di sebelah mereka yang telah dihuni oleh seseorang. Halaman belakang rumah tetangga yang biasanya gelap gulita kini terlihat terang benderang. “Aku baru tahu jika kita telah memiliki tetangga baru,” kata Keysa pada Hasan. “Apa makan malam sudah akan dimulai?” tanya Adam dari meja makan yang ada di halaman belakang. Cuaca yang cerah dan nuansa alam membuat makan malam hari ini terasa berbeda. “Tentu. Kita makan sekarang,” jawab Keysa yang kini sudah tidak mempermasalahkan kehadiran Adam di rumahnya. Ini semua dilakukannya demi Hasan. Keysa telah berjanji pada Hasan untuk mendukung kemajuan bisnisnya. Hasan, Keysa, Hawa dan Adam kini telah duduk di kursi masing-masing. “Baiklah, kita mulai makan malamnya.” Hasan mulai memimpin doa sebelum menyantap makanan. Dan setelah setengah sesi makan malam, tiba-tiba suara seseorang yang terdengar familiar terdengar. “Hei ... apa aku tidak di ajak?” tanya Dewi dari balik batas pagar halaman rumah Keysa dengan rumahnya. Pagar yang tingginya sebatas dda orang dewasa dan terbuat oleh papan kayu yang terjajar rapi juga kuat. Spontan semua mata menatap ke arah Dewi yang masih berdiri mematung di balik pembatas pagar. Keysa terkejut melihat Dewi yang berdiri di sana. Tapi mimik muka terkejutnya berangsur berubah perlahan menjadi rasa bahagia. “Dewi ...!” seru Keysa girang. “Ya ampun kamu tinggal di sini?” Kedua alis Dewi terangkat ke atas. “Ya, aku tinggal di sini sekarang. Setidaknya nanti aku punya teman ngobrol,” jawabnya sambil tertawa. “Serius kamu engga bakalan kembali lagi ke ibu Kota?” tanya Keysa. “Kamu malah memilih menjadi tetanggaku.” Dewi menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku ingin di sini. Di kota kecil ini, aku memiliki banyak kenangan yang berharga. Dan aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dengan meninggalkan jati diriku,” jawabnya sambil melirik sekilas ke arah Hasan. Hasan yang sedang menyantap hidangan penutup, merasa tidak nyaman dengan tatapan Dewi yang memandangnya tadi. Tangan Hasan yang sedang memegang garpu kecil dan menusuk buah apel terpotong dadu mendadak berhenti. Kalimat yang dikatakan Dewi pada Keysa terasa menyidirnya atas kenangan mereka yang berharga di Kota kecil ini. “Ke marilah, kita makan malam bersama,” kata Keysa sambil melambaikan tangannya. Dewi menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak. Tidak usah. Aku malas berjalan memutar.” “Yasudah, besok malam kita makan malam bersama lagi di sini,” kata Keysa. “Tentu. Tapi di rumahku ya ...,” jawab Dewi sambil melambaikan tangannya. “Sudah ya, aku masuk ke dalam. Selamat malam.” “Selamat malam,” sahut Keysa dan yang lainnya hampir bersamaan. “Jika Tante Dewi jadi tetangga kita. Aku banyak temennya,” kata Hawa sambil masih menikmati buah pencuci mulut. Keysa tersenyum. “Tentu. Kita bisa sering main ke rumah Tante Dewi. Saat sekolah dulu Tante Dewi adalah sahabat Mama yang paling baik,” jawabnya pada Hawa. Hasan mengantupkan bibirnya. Ia tidak menanggapi perbincangan antara Keysa dan Hawa. Sepasang mata Hasan melirik ke arah rumah Dewi yang kini tepat berada di sebelah rumahnya dan Keysa. Adam mengamati perubahan sikap Hasan. “Hei kawan, malam ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” kata Adam sambil menepuk bahu Hasan pelan. Keysa langsung menoleh ke arah Adam. “Memang kamu mau mengajak Hasan ke mana?” tanyanya dengan mimik muka ketus tak bersahabat. “Kenapa? Ini urusan pria,” sahut Adam yang justru membuat Keysa semakin kesal. Jika bukan karena Hasan memohon padanya, untuk membiarkan Adam tinggal di rumah mereka sampai semua kerja sama bisnis terselesaikan dengan baik, Keysa tidak akan sudi kembali makan malam bersama satu meja dengan pria yang sudah menjadi catatan hitam di kehidupannya. “Memangnya kamu tahu lokasi tempat ini?” tanya Keysa. “Kamu kan pendatang di sini. Makanya aku tanya kamu mau mengajak Hasan ke mana?” Adam terdiam sejenak dan kemudian kembali melanjutkan kalimatnya lagi. “Sebenarnya aku sudah tahu tempat ini. Aku tahu karena dulu aku pernah ke mari ....” Keysa langsung menelan ludahnya. Ia tidak menyangka jika Adam akan menjawab seperti itu. “Kamu pernah ke mari?” tanya Hasan. Adam menganggukkan kepalanya. “Aku pernah jatuh cinta dengan wanita. Seorang wanita yang spesial namun justru aku mencampakkannya. Dia teman kuliahku yang asli orang sini. Makanya ini bukan kali pertama aku ke mari. Walau sudah lama tapi aku masih ingat beberapa tempat di daerah sini ....” “Seorang wanita yang spesial?” tanya Hasan dengan suara lirih. Pertanyaannya seakan bukan ditunjukkan pada Adam. Tapi ia bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang dikatakan Dewi padanya kini perlahan semakin merasuki hatinya. Semua orang memiliki masa lalu. Jadi masa lalu tidak lah menjadi hal penting, pikir Adam menghibur diri dan menyakinkan diri jika keputusannya berkerja sama dengan Adam adalah keputusan yang tepat. “Aku ingin tahu ke mana kamu akan mengajakku,” sahut Hasan sambil tersenyum simpul. “Kamu akan tahu nanti!” jawab Adam dengan kedua alis yang sedikit naik ke atas. ***   Di dalam rumahnya, Dewi menyingkap sedikit tirai jendelanya. Ia mengamati ke arah Hasan, Keysa, Adam dan Hawa sedang menghabiskan waktu malam mereka di halaman belakang. “Dewi, ini adalah keputusan tidak benar yang telah kamu ambil,” katanya pada diri sendiri. “Kenapa kamu menerima tawaran Adam untuk hadir kembali di sini? Jika kamu sendiri tidak dapat mengendalikan perasaanmu ....” Dewi memejamkan kedua matanya. Mengingat bagaimana perpisahan yang terjadi di antaranya dan Hasan. Ketika itu Hasan memohon agar Dewi tidak meninggalkannya dan memutuskan pertunangan mereka. Tapi ambisi Dewi untuk mengejar impiannya lebih besar dari pada rasa cintanya. Di stasiun Kota Dewi berjalan meninggalkan Hasan yang meratapi perpisahan mereka. Tanpa menoleh ke balakang lagi, Dewi mantap menaiki gerbong kereta. “Dewi ...! Kamu akan menyesal telah meninggalkan aku!” Suara teriakan Hasan kala itu masih terngiang jelas di indera pendengaran Dewi. Dewi menghela nafas panjang dan memejamkan kedua matanya sesaat. “Maafkan aku Hasan. Maaf ....” Keysa menatap Adam dan Hasan bergantian. Sulit rasanya mengendalikan Adam agar tidak mengungkit segala masa lalu tentang mereka. Keysa menghela nafas panjang dan ujung matanya sekilas melihat tirai di jendela rumah Dewi bergerak. Keysa menoleh ke arah rumah Dewi. Melihat ke arah jendelanya. Dilihatnya Dewi sedang berdiri sambil mengamati mereka. “Kenapa Dewi memandang ke arah sini seperti itu?” guman Keysa lirih.   Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN