“Jangan malam-malam pulangnya ....” Akhirnya Keysa hanya mampu mengatakan demikian.
“Tentu sayang,” jawab Hasan sambil mencium pipi Keysa.
Adam langsung memalingkan wajahnya ketika Hasan mencium mesra pipi istrinya itu.
Setelah Keysa menutup pintu rumah. Mereka masuk ke dalam mobil.
“Biar aku yang mengemudikan mobilnya,” ucap Adam sambi mengambil kunci mobil yang sedang dipegang Hasan.
“Baiklah ... jika kamu memang tahu jalannya,” sahut Hasan lirih.
Adam tersenyum tipis. “Sudah aku bilang, dulu aku pernah ke Kota kecil ini.”
Dan kemudian mobil mereka pun menyusuri jalanan aspal mulus tanpa lubang menuju pusat keramaian di kota kecil itu. Sebuah bar yang tidak terlalu ramai akhirnya mereka datangi. “Aku dulu sering ke mari bersama kekasihku,” kata Adam sambil memakirkan mobil dengan rapi.
Hasan menimpalinya dengan sebuah senyuman sinis. Tidak usah dijabarkan siapa wanita yang dimaksud oleh Adam, Hasan sudah mengetahuinya. “Pasti mantan kekasihmu ....”
Adam tertawa. “Wah hebat sekali kenapa kamu bisa tahu?”
“Karena terkadang mantan kekasih lebih indah ketimbang mantan istri kan ...,” jawab Hasan yang juga tertawa.
“Mencurigakan ...,” timpal Adam sambil menaikkan kedua alisnya ke atas. “Sepertinya kamu harus menceritakan masa lalumu ....”
***
“Dewi ...,” panggil Keysa sambil mengetuk rumah Dewi.
Setelah Keysa mengetuk pintu untuk beberapa kali akhirnya suara Dewi pun menyahut. “Ya ... Tunggu sebentar!”
Pintu terbuka. Kepala Dewi terlihat menyembul dari balik pintu. “Hai Keysa ... kamu sendiri?” tanyanya sambil melihat ke bagian belakang Keysa. “Hawa tidak di ajak?”
“Dia sudah tidur. Dan tidurnya sangat nyenyak. Aku juga mengawasinya dari kamera cctv yang terhubung di ponselku.”
“Baguslah kalau begitu. Kita bisa mengobrol bebas di sini,” ucap Dewi sambil tertawa. “Ayo masuk ....”
Keysa melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah Dewi. Membuka alas kaki dan merasakan dinginnya lantai keramik yang ia pijak. “Aku terkejut kamu menjadi tetanggaku.”
“Kamu tidak suka aku di sini?” tanya Dewi sambil duduk manis di sofa panjang.
“Tentu saja aku senang kamu menjadi tetanggaku. Hanya aku merasa aneh untuk sesorang yang menyukai keramaian Kota besar. Kamu malah kembali ke kota kecil ini. Aneh saja menurutku ... dan tadi itu asli aku sangat kaget melihat kamu berdiri di samping rumah,” kata Keysa diiringi tawa.
Dewi membalas senyuman tawa Keysa dan kemudian menghela nafas panjang. “Aku patah hati,” ucapnya singkat.
Tawa Keysa langsung berhenti. “Patah hati?!” serunya dengan kedua mata mendelik. “Untuk wanita sukses seperti kamu, kamu patah hati? Bagaimana bisa? Apa ... pria itu mencampakanmu ...?”
Dewi menatap manik mata Keysa. Mereka saling menatap dalam diam. Lalu beberapa menit kemudian Dewi menggelengkan kepalanya pelan. “Bukan aku yang dicampakkan. Tapi aku yang mencampakannya.”
Keysa masih diam dan berusaha menjadi pendengar yang baik.
“Aku mencampakkan pria yang ingin menikahiku. Aku meninggalkanya demi cita-citaku menjadi seorang disainer terkenal. Tapi ... ketika aku melihat pria itu hidup bahagia dengan wanita lain dan mulai tidak peduli padaku ... hatiku sakit,” kata Dewi sambil tersenyum kecut.
“Aku belum kamu kenalkan dengan tunanganmu itu tapi sudah keburu putus,” timpal Keysa. “Dan menurutku, perasaan cemburu pada mantanmu itu aneh. Kamu yang meninggalkannya kenapa kamu yang merasa sakit. Sungguh aneh ....”
“Itu dia!” seru Dewi. “Aku pun merasa eneh dengan diriku. Apa lagi sekarang aku kembali menginginkannya.”
Dahi Keysa berkerut. “Apa ...?! Kamu menginginkan kembali pada mantan yang sudah bahagia dengan orang lain?”
Dewi menganggukkan kepalanya. “Kenapa, aneh ya ...?”
Keysa menggelengkan kepalanya pelan. “Kenapa ada beberapa orang yang menyeseli keputusan yang sudah di ambil?”
“Karena hati tidak bisa dibohongi Key. Rasa cinta yang masih tersimpan di hati walau berusaha di buang tetap saja akan ada.”
Keysa kembali menatap Dewi. Ia tidak menyangka jika memiliki sahabat yang bersifat egois. “Menurutku ... lebih baik kamu mencari pria lain. Kamu yang meninggalkannya, tapi kamu yang merasa cemburu melihat kebahagiaan dia dengan pasangan barunya.”
Sejenak mereka kembali bertatapan. Tidak ada kata hingga tawa Dewi mulai menggema di ruang keluarga rumahnya. “Hahahaha ... sudahlah, jangan terlalu dianggap serius,” sahutnya sambil menggerakan tangannya di depan wajah. “Key ... Key ... serius sekali kamu sampai menatapku seperti itu. Kenapa kamu ...? Jadi teringat mantanmu juga ya ... Hm ... siapa itu namanya? Aduh aku lupa kan. Padahal dulu kita sering mambahasnya ketika chatting.”
“Sudah jangan bahas dia. Aku sama sekali tidak pernah memikirkannya,” sahut Keysa dengan wajah malas.
“Kenapa bisa? Bukannya kamu bilang sangat mencintainya dan akan menikah dengannya ya? Tapi ternyata suamimu kini adalah Hasan.”
“Sudahlah Dew, jangan bahas soal mantan dan mantan. Ampun deh, udah engga musim. Mantan itu dibuang ke laut bukannya di bahas terus!” sungut Keysa dan kemudian menutupi kekesalannya dengan tawa. “Oia aku ingin lihat-lihat rumah barumu ini, boleh?”
***
“Boleh aku minta tambah minumnya?” tanya Hasan pada seorang pelayan bar.
Dan dengan sigap pelayan bar menuangkan minuman beralkohol rendah ke dalam gelas Hasan.
Adam hanya menatapi Hasan yang sudah mulai panas dengan ceritanya tentang mantan terindah di dalam hidupnya.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Adam sambil menyipitkan kedua matanya. Berpura-pura empati.
“Aku ...? Aku baik-baik saja. Tidak ada masalah. Memang kenapa?” Hasan berbalik bertanya sambil berusaha tersenyum. Menunjukkan diri jika dia baik-baik saja.
“Aku merasa kamu gelisah saat aku bercerita tadi. Apa aku salah bicara?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya merasa kurang enak badan hari ini. Mengecek barang-barang produksi yang akan dikirimkan ke Belanda membuatku lelah.”
Adam menatap Hasan dalam diamnya. Sorot matanya terasa berbeda.
“Kenapa melihatku seperti itu. Jangan katakan jika kamu mulai menyukaiku,” kata Hasan sambil berwajah serius. Memecah keheningan di antara mereka dan kemudian tertawa bersama lagi.
“Amit-amit deh ...,” sahut Adam terkekeh.
“Terus kenapa melihatku seperti itu? Membuatku merinding saja ....” Bulu halus di tengkuk Hasan mulai berdiri. Apa yang dikatakannya bukan hanya sekedar sebuah candaan semata.
“Aku tahu kenapa kamu tiba-tiba gelisah dan sedikit diam sejak tadi,” kata Adam sambil kembali menyesap minumannya.
“Hm ... sok tahu,” sahut Hasan sambil melirik ke arah Adam. Wajahnya mulai sedikit memerah karena minuman alkohol yang ia konsumsi. “Memang apa yang membuatku gelisah?”
Adam menatap Hasan lekat. Wajahnya sengaja ia dekatkan pada telinga Hasan dan kemudian perlahan membisikan sebuah nama di sana. “Itu semua karena Dewi ....”
Sontak Hasan langsung menoleh dan menatap Adam. Kedua matanya membulat, seakan berseru, ‘Kenapa kamu bisa mengetahuinya!’
“Aku tahu semuanya Hasan. Aku tahu bagaimana hubunganmu dengan Dewi dan cinta kalian ....”
Bersambung