Nayyara menghempaskan tubuhnya ke atas sofa dengan posisi telungkup, membenamkan dalam-dalam wajahnya pada bantal bulat yang ada di sana. Tas dan sepatu gadis itu sudah berhamburan tak tentu arah, Mbok Nar yang melihat langsung membereskan dan menghampiri Nayyara dengan cemas.
"Neng Nayya, kenapa sepatu sama tasnya dilempar sembarang? Itu juga rebahannya, kok tengkurap gitu, nggak sesak napas?" tegurnya sambil mengusap lengan Nayyara. Mbok Nar tahu jika gadis itu sedang merajuk, pasti ada sesuatu hal yang membuatnya kesal.
Nayyara mengentakkan kedua kakinya meluapkan kekesalan. "Kesel, Mbok. Pengen ku cincang si Liam!" Tangannya yang terkepal ikut memukul sofa, mendesah sebal berkali-kali.
"Nayya, kok dari halaman depan udah lari-larian ke sini, tiduran yang bener dong, Sayang." Andara menghampiri setelah beberapa saat lalu ada yang dibicarakan kepada Pak Agus. "Sepanjang perjalanan juga hanya tidur sambil memberengut wajahnya. Kenapa, Nak?" tanya Andara lembut sambil mengusap rambut Nayyara penuh sayang. Dia tahu pasti ada terjadi sesuatu dengan putrinya itu ketika di panti asuhan tadi. Membuatnya kesal begini.
"Cerita sini sama Ayah, atau mau sama Mbok Nar aja?" Andara menoleh pada Mbok Nar, memberikan kode agar putrinya luluh dan mau bercerita.
Nayyara menggeleng kasar. "Aku kesel."
"Kesel sama siapa? Kamu lapar, Sayang?"
"Sama Liam!"
Andara menaikkan sebelah alisnya. "Lho, kok sama Liam? Kenapa dengan dia, Sayang?"
Nayyara mengangkat kepala, langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Wajahnya lesu seperti tidak ada kehidupan di sana. "Dia nyuekin aku, tapi manis banget ke Meida. Kenapa? Apa aku kurang cantik di mata dia?" Nada suara Nayyara meningkat dari sebelumnya, mengungkapkan kekesalannya pada pria bernama Liam.
Andara menyuruh Mbok Nar meninggalkan mereka berdua saja, agar Nayyara berceritanya lebih nyaman. Ini perihal perasaan, Andara dapat mengatasinya. Putrinya sedang jatuh cinta di masa-masa labil seperti ini, lucu saja akhirnya. Makin menggemaskan, apalagi dengan mata yang mulai berembun.
"Mungkin hanya karena Liam belum mengenal kamu?"
"Udah. Kita udah kenalan, dia tau nama aku Ayah."
"Bukan, bukan seperti itu yang Ayah maksud, Sayang. Maksudnya mungkin saja Liam belum mengenal kamu secara jauh, seperti dia mengenal Meida sejak kecil. Tentu saja Liam sudah terbiasa mengobrol dan bermain dengan Meida daripada kamu, bukan berarti dia nyuekin kamu. Liam sedikit canggung ingin mengajak kamu mengobrol banyak, karena kalian baru mengenal juga."
Nayyara menggeleng yakin. Gadis itu yakin seratus persen jika Liam tidak suka dirinya, padahal Nayyara sudah melakukan yang terbaik. "Enggak, Ayah. Liam emang nggak suka aku, mukanya datar banget kayak tembok, belum lagi sikapnya yang dingin ngalahin ubin, kayak ada dendam kesumat gitu sama aku." Nayyara menarik napas, sesak sekali rasanya.
"Aku nggak pernah nyapu halaman, tapi di panti tadi aku udah usahain belajar nyapu biar daun-daun keringnya terkumpul. Tapi Liam kayak nggak suka liatnya, aku masih melakukan banyak kesalahan ini dan itu. Berbanding terbalik sama Meida yang unggul dalam segala bidang. Dia bisa ngapain aja. Apa semua pria melihat wanita itu dari pekerjaan tangannya? Apa harus semua wanita pintar memasak, menyapu, mengepel, dan semuanya?"
Andara mengusap puncak kepala Nayyara. "Tidak, Sayang. Rasa cinta seseorang tidak bisa diukur dari itu semua. Kalau sudah cinta, ya cinta saja. Seberapa banyak kekurangan kita, dia akan menerima dengan baik--karena bukan itu yang mereka cari, pasangan itu saling melengkapi."
"Tapi Mama juga pintar memasak. Aku masih ingat bagaimana senangnya Ayah menceritakan kalau masakan Mama sangat enak. Kata Ayah, Mama hebat melakukan apa saja." Nayyara meneteskan air mata. Bibir kemerahannya bergetar tanda akan pecah tangisnya sebentar lagi. "Tapi selama ini juga Ayah selalu melarangku memasuki dapur, Ayah selalu mengatakan jika dapur berbahaya."
Andara membawa Nayyara ke dalam pelukannya. Dia kembali teringat dengan mendiang sang istri. Dulu wanita itu di larikan ke rumah sakit karena terpeleset di dapur saat memasak, untung saja penggorengan di atas kompor tidak tumpah ke bawah. Karena pendarahan hebat, bayi dalam kandungannya harus segera di angkat untuk menyelamatkan nyawa putri kecil mereka. Andara memang melarang Nayyara memasuki dapur, sebab pria itu memendam trauma yang sangat amat besar. Andara tidak siap kehilangan Nayyara juga.
"Sayang, sudahlah. Jangan lagi membicarakan hal ini, nanti kamu akan mengerti dengan sendirinya kenapa Ayah selalu melarang kamu melakukan banyak hal di dapur."
"Kenapa? Aku tidak akan mengerti kalau Ayah nggak cerita."
"Nanti Ayah cerita."
Nayyara mengangguk saja, dia harus memahami keadaan Andara. Pria itu akan menceritakan apa saja kepada Nayyara, tidak sekarang berarti nanti, pasti.
"Liam nggak suka aku karena aku banyak bicara, terlalu aktif, nggak bisa melakukan banyak hal seperti wanita pada umumnya, aku cuman bisa ngerepotin Ayah. Iyakan?"
Andara menangkup kedua pipi Nayyara, menggelengkan kepala tidak membenarkan sama sekali ucapan gadis itu. "Siapa yang mengatakan seperti itu?"
"Nggak ada, aku hanya menerka-nerka. Shaleta juga pintar beberes rumah, memasak, berkebun, sedangkan aku hanya bisa tidur, makan, ngerepotin Ayah--"
"Sayang, nggak ada kalimat seperti itu yang berlaku untuk Ayah. Kamu sama sekali nggak ngerepotin, Ayah akan memarahi siapa saja yang mengatakannya kepada kamu. Ayah tahu mana yang terbaik buat kamu, mereka mana tahu. Tidak ada satu orang pun yang lebih mengenal kamu selain Ayah, mereka hanya bisa melihat kemudian mengomentari tanpa mau peduli bagaimana perasaan kita setelah mendengar kalimatnya yang ternyata melukai." Andara menghapus jejak air mata pada pipi Nayyara. "Kamu putri kesayangan Ayah, nggak boleh dilukai oleh siapa pun. Ayah membesarkan kamu dengan penuh kasih sayang, berani sekali jika mereka di luar sana malah membuat anak Ayah menangis. Mereka akan berlawanan dengan Ayah."
Nayyara mengangguk paham. Air matanya kembali mengalir. "Apa aku nggak berhak menyukai Liam Ayah? Wanita seperti apa yang boleh menyukai pria sesempurna dia?"
"Boleh, siapa bilang kamu nggak berhak? Jodoh ada di tangan Tuhan, Sayang."
"Jadi Ayah mendukung aku sama Liam?"
Andara terdiam beberapa saat. "Kamu beneran menyukai Liam?" Nayyara mengangguk mantap. "Benarkah? Liam lebih cocok jadi paman buat kamu, Sayang. Dia pria dewasa, sementara kamu masih remaja."
"No! Aku sudah besar, aku sudah dewasa. Aku dan Liam sangat serasi, hanya umur saja yang membentang jauh. Aku hanya terlambat sedikit untuk terlahir ke dunia Ayah, bukan berarti hal ini bisa membentengi cintaku kan?"
Andara mencubit ujung hidung Nayyara. "Bukan begitu. Oh, sekarang Ayah sadar kenapa Liam sedikit canggung sama kamu." Nayyara melebarkan matanya, bertanya-tanya juga. "Kamu bersikap sesuai usia kamu, sementara Liam juga bersikap sesuai usianya dia. Kalian tentu saja berbeda, mungkin karena hal ini Liam sedikit mengabaikan keceriaan anak Ayah."
"Jadi maksud Ayah aku harus menjadi seorang gadis yang bersikap seperti wanita seusia Liam?"
"Nggak begitu juga sih."
"Eh? Lalu?"
"Lebih baik kamu menjadi diri kamu sendiri saja. Jika Liam menyukainya, berarti dia menyukai kamu sebagai diri kamu sendiri, bukan orang lain. Bukankah hal ini lebih manis?"
Nayyara mengangguk. "Jadi aku nggak pa-pa kan seperti ini aja?" Andara mengangguk.
"Hanya saja, Sayang, jangan terlalu memaksakan ya. Kalau Liam sibuk, kamu jangan mengganggu dia. Ada banyak kesibukan yang orang dewasa lakukan, apalagi kamu tahu sendiri Liam seorang pengusaha yang sukses dan hebat. Dia ada banyak pekerjaan di sana sini. Tentu saja bermain-main bukan pilihannya lagi, dia tidak memiliki waktu untuk itu, Sayang."
"Aish, apa kehidupan orang dewasa semembosankan itu? Apa dia tidak jenuh? Capek? Kan hidup juga perlu jalan-jalan untuk menyegarkan pikiran. Kepala buntu dengan segala macam pekerjaan juga nggak bagus, bisa-bisa berakhir gila nantinya. Ngeri kan, Yah?"
Andara tertawa. "Tidak begitu juga konsepnya, putri Ayah." Lalu menoel ujung hidup Nayyara sambil tertawa. "Pokoknya kamu fokus dulu sama pendidikan kamu. Bermainlah selagi itu yang membuat kamu bahagia, asal tetap ingat ... ada batasannya. Jika kamu berprestasi, karir kamu bagus, siapa sih pria yang tidak menyukai wanita cerdas dengan keahlian di segala bidang?"
Nayyara berpikir keras. "Bener juga sih. Tapi Ayah setuju kan kalau aku pepet Liam?"
"Sebegitu sukanya sama Liam?" Nayyara tentu saja langsung mengangguk. "Ya sudah, tapi tahu batasan ya, Sayang. Mencintai boleh, tapi jangan sampai dibodohin oleh rasa kamu sendiri. Jadilah perempuan yang hebat, tidak semua pria bisa mendapatkan kamu. Tetapi beruntung jika sudah dimiliki."
***
Menjelang sore, Nayyara menggunakan sekuternya menuju rumah Shaleta sambil menikmati angin yang berembus kencang, bikin adem. Orang-orang komplek menyapa riang Nayyara yang juga sangat ramah kepada tetangganya.
"Kak Nayya nggak main bola di sini lagi?" tanya salah seorang anak laki-laki yang sedang bermain bola bersama tiga orang temannya. "Udah lama kita nggak main bareng."
Nayyara terkikik geli. "Nanti, kalau udah nggak banyak tugas ya."
"Tugas apa? Tumben Kak Nayya belajar, biasanya kan lebih memilih main." Anak memakai kaos hitam menyahut tanpa dosa, namanya juga anak-anak.
"Heiii ... jangan ngomong gitu. Harusnya kamu senang aku belajar, biar makin pinter." Nayyara memajukan bibirnya.
"Ya sudah kalau begitu. Nanti kalau ada waktu luang datengin aja ya kita di lapangan ini."
"Oke siap. Aku ke rumah Shaleta dulu, dadahh!" Setelah melambaikan tangannya, Nayyara kembali melajukan sekuter ke rumah Shaleta yang sudah dekat. Nayyara berteman tidak mengenal usia, anak-anak pun jadi. Tapi ya itu, kadang Nayyara jahil. Ada saja anak orang yang dia buat menangis karena kesal sudah dikalahkan dalam permainan.
Apa yang akan di lakukan Nayyaa ketika berhasil membuat anak orang menangis? Meminta maaf? Tentu tidak, dia akan mengolok kemudian kabur tanpa dosa. Anak orang semakin menangis saja dibuatnya. Tapi anehnya, besok ketika Nayyara lewat mau ke rumah Shaleta, mereka mengajak Nayyara bermain lagi.
"Shaleta ...!" panggil Nayyara dari depan. "Bibi Jiah bukakan pintu dong!" teriaknya lagi sambil memencet bel berkali-kali, tidak sabaran.
Bibi Jiah yang sedang berada di dapur, segera berlarian kecil membukakan pintu utama untuk Nayyara. "Sore, Neng Nayya. Maaf Bibi sedikit lambat buka pintu, tadi sibuk di dapur, goreng ayam."
Mata Nayyara berbinar. "Yeay, numpang makan ya, Bi." Setelah itu masuk tanpa harus repot-repot Bibi Jiah persilakan, gadis itu memang selalu sekehendaknya. Tapi tidak masalah, Nayyara sudah seperti saudara bagi Shaleta. Seperti kata Nayyara, rumah Shaleta adalah rumahnya juga. Coba saja tadi pintu utama tidak terkunci, mungkin Nayyara tidak perlu berteriak untuk memanggil. Dia biasanya langsung masuk tanpa permisi, membuat orang rumah kaget dengan kedatangannya secara tiba-tiba seperti anak gaib.
"Aku samperin Sha ke kamar dulu, Bi." Nayyara menaiki undakan tangga yang akan membawanya ke kamar Shaleta di lantai dua. Karena kebiasaan, Nayyata tidak mengetuk pintu dulu ketika masuk. "Sha, gue yang cantik datang nih. Ucapkan salam penghormatan dulu!" Nayyara berseru riang. Pantas saja tidak ada yang menyabut, Shaleta sedang mandi rupanya, terdengar dari gemercik air yang mengalir dari dalam kamar mandi.
Nayyara menghempaskan tubuh di atas kasur Shaleta dengan posisi tengkurap, lalu memeriksa ponselnya.
Iseng, Nayyara mengirimkan pesan kepada Liam yang entah sedang apa di seberang sana.
Ternyata yang dikirimkan Nayyara bukan hanya sekadar pesan, namun menggunakan foto yang baru beberapa detik lalu diambil potretnya. Selfie dengan senyum lebar dan manis, semakin cantik saja wajah gadis itu.
Nayyara: (Kirim gambar). Selamat sore, Pak. Bagaimana hari Bapak hari ini? Menyenangkan?
Nayyara terkikik sendiri melihat ulahnya. Tidak sabar menunggu Liam mengetikkan balasan.
***
Nayyara-Liam up setiap jam 12.00 WIB yak!
Sementara Pactum setiap jam 13.00 WIB. Tungguin aja. Semoga suka sama setiap karyaku.
Terima kasih sudah menjadi pembaca setia karyaku. Semoga "Kisah Cinta Nayyara dan Liam" tak kalah seru dengan cerita lainnya. Akan aku usahakan membuat cerita sebagus mungkin, untuk memuaskan kalian semua. Love!
Maaf jika terdapat kesalahan kata dalam setiap penulisanku.
Jangan lupa tap love untuk menyimpan cerita ini di library dan tinggalkan komen untuk memberikan semangat.
Hehehe ....
Satu komen dan love dari kalian, berharga sekali. Terima kasih banyak. Muachhh!
Salam manis,
Novi.