Kisah Cinta Nayyara dan Liam | 8

1703 Kata
Nayyara mengubah posisi menjadi telentang, sudah sepuluh menit pesannya terkirim tetapi belum mendapatkan balasan. "Ini Om-Om sebenarnya niat nggak sih balas pesan aku? Seneng banget bikin orang nunggu, nggak enak tau!" dumelnya di depan ponsel. Sesekali Nayyara mengetuk-ngetuk layar ponselnya menggunakan jari telunjuk sambil berpikir cara apalagi yang bisa membuatnya di sukai oleh Liam. Ah pria itu, membuatnya hampir gila dalam beberapa hari ini. "Eh, astaga!" Shaleta yang baru saja keluar dari kamar mandi terlonjak kaget melihat Nayyara sudah berada di atas kasurnya. "Kapan lo datang? Bikin gue kena serangan jantung aja!" Lantas melempar boneka mengenai wajah Nayyara. "Resek. Sana lo ganti baju dulu, gue kesel sekaligus laper. Mau numpang makan, tadi Bibi Jiah masak, enak banget aromanya." "Kayak anak pungut aja lo ke sini numpang makan terus." Shaleta memutar bola mata jengah. "Gue tutup mata, gue nggak denger lo ngomong apa." Nayyara memberengut, mendengkus sebal. "Turun dari kasur gue, lo bikin berantakan Nayya!" Nayyara mengangkat baju cuek. "Terus? Emang gue pikirin? Nggak lah, lo kan rajin." Bukanya menjauh, Nayyara malah semakin mengguling-gulingkan diri ke kanan dan ke kiri, menggesek-gesekkan kaki dan tangannya ke sprai seperti paus tergampar di daratan. "Nayya!!!" geram Shaleta, dia sudah mengkriringkan tangan greget ingin mencakar dan mencubut Nayyara sampai gadis itu mengaduh sakit. Tidak pernah dalam sehari tidak memancing emosinya, selalu saja ada yang dibuat hingga menyulut emosi. "Turun!" "Nggak mau, enak. Gue lagi galau tau, lo nggak paham banget!" "Nggak mau tahu, itu urusan lo. Turun sekarang atau langsung gue usir pulang?" "Nye, nye, nye! Lo nggak bakal bisa usir gue, kan gue yang lebih berkuasa di sini. Gue bahkan bisa masuk rumah lo meski nggak lewat pintu." Seketika Shaleta teringat kelakuan Nayyara yang sangat mengejutkan dan membuatnya jantungan pada malam tahun baru waktu itu. Gadis bar-bar satu ini nekat memanjat hingga sampai ke beranda kamarnya. Bayangkan saja, bagaimana bisa seorang gadis macam itu anak melakukannya dengan begitu mudah? Gila! Nayyara nekat, sumpah! Dengan tidak tahu dosa, Nayyara mengajak Shaleta membakar jagung dan sosis, katanya dia malas memanggil dan memencet bel, ingin merasakan masuk dengan cara yang lebih menantang. Konyol bukan? Iya, jika sehat kelakuannya bukan Nayyara namanya. Gadis itu, ah ... memusingkan sekali. "Iyain, biar gue aduin sama Om Andara nanti. Ngidam apa Mama lo dulu, Nay, kok anaknya bisa punya kelakuan kayak dakjal gini." Kejam dan menohok, tetapi Nayyara sama sekali tidak tersinggung atau merasa tersakiti, gadis itu malah membalas dengan tawa. "Gue dakjal, berarti lo temennya dakjal. Sama-sama sesat dong," celetuk Nayyara makin jadi. "Terserah, capek gue ngadepin lo." "Makanya jangan di hadapin, di belakangin aja." "Nyaut terus. Udah diem napa, Nay." "Nggak bisa, mulut gue nggak terbiasa diam. Kayak bukan mulut gue banget yang kayak gitu, nggak suka." Shaleta memutar bola mata. Dia melangkah menuju ruang pakaian, mengganti jubah mandinya dengan pakain rumahan, celana setengah paha dan kaos kelonggaran--andalan Shaleta. Shaleta pikir setelah dia berganti pakaian, Nayyara sudah membereskan kembali tempat tidurnya seperti semula. Nyatanya, tidak sama sekali. Selimut dan sprai Shaleta sudah acak-acakan seperti kapal pecah. Sementara Nayyaranya sudah tam berada di sana, menghilang meninggalkan jejak yang membuat Shaleta mengusap d**a, sabar. Harusnya Shaleta tahu jika Nayyara tak mungkin membereskan tempat tidurnya kembali, kenapa masih saja mengharapkan? Oke, Shaleta salah di sini. Dan Nayyara ... tetap saja gadis itu mengesalkan bukan main. Sudah sembilan belas tahun, tahun kelakuannya seperti bocah sembilan tahun. Mengherankan. Usai membereskan tempat tidur, Shaleta menghela napas sambil berkacak pinggang. Seharian dia mengerjakan tugas, pusing tujuh keliling. Apa Nayyara ingat mereka memiliki tugas yang harus segera diselesaikan sebelum dikumpulkan dua hari lagi? Cepat-cepat Shaleta meninggalkan kamarnya, menuruni satu persatu anak tangga dan melangkah lebar-lebar menuju ruang makan. Nayyara sedang duduk di kursi bar dapur, menikmati secangkir es cokelat dan bolu pandan toping keju bikinan Shaleta tadi siang. "Neng Sha, mau es cokelat juga?" Shaleta mengangguk. Bibi Jiah langsung membuatkannya. Berbeda dengan Nayyara selalu ingin memiliki rasa yang manis dalam minuman cokelatnya, Shaleta hanya meminta tambahkan sedikit gula sebagai perasa manis. "Enak, Sha, kuenya. Mau gue bawa pulang sebagian ya, buat camilan di kamar nanti malam." "Pemalas sih, makanya bikin kue begini aja nggak bisa." Nayyara mencibir. "Gue pemalas gini Ayah juga sayang. Kata Ayah gue nggak perlu banyak gerak, apalagi soal berurusan dapur. Nggak boleh." "Lo sih bar-bar, takut dia kalau sampai lo buat kegaduhan, bakar dapur misalnya." Nayyara mengangguk-anggukkan kepala membenarkan. Satu potongan dadu bolu dia masukkan ke dalam mulut. "Bener. Gue setuju. Biar seru satu komplek?" Sambil terkikik geli. Lantas mendapat pukulan dari Shaleta. "Amit-amit, Nay. Lo nih ya malah dibuat becandaan. Serem tau!" "Ngomong-ngomong, lo udah tugas minggu lalu? Dua hari lagi dikumpulkan lo, Nay." Nayyara membelalakkan matanya. "Lo udah?" Shaleta mengangguk. Nayyara menjentikkan jari. "Gue nyontek!" finalnya tidak ingin di bantah. "Gue kelupaan, bukan salah gue. Abisnya tugas banyak bener, nggak hapal semua gue. Lagian salah lo juga, kok nggak diingetin gue sebelum jauh-jauh hari." Shaleta menghembuskan napas. "Besok bikin papan pengingat di kamar. Kalau ada tugas, tempel di sana. Jadi lo bakal inget terus." "Lo yang bikinin ya?" Shaleta berdecak. "Bikin sendiri! Gampang banget elah, Nay. Tinggal beli peralatannya di toko buku, nanti gue temenin." "Bikin papan pengingat kayak punya lo, cantik di pandang." "Ya gampang juga bikinnya, modal lem dan kertas-kertas doang. Nanti gue ajarin, belajar nyelesein semua sendiri, Nay. Nanti biar lo serba bisa. Sudah mah ceritanya kalau lo cuman bisa andelin orang lain." "Tapi gue kan emang cemen, mana bisa gue sekreatif lo. Aish, gue juga nggak tau kenapa bisa gue bisa kayak gini." "Untung lo cantik ya meski pemalas." Nayyara terbahak. "Iyalah, gue rawat diri ke salon. Ada uang semua gampang, sumpah." Shaleta mencibir, meski apa yang Nayyara bicarakan semua benar. Ada uang, semua urusan lancar. Hebat bukan jika uang yang bekerja. Beres pokoknya. *** Sehabis kelas, Nayyara dan Shaleta melangkah bersama melewati koridor yang akan membawa mereka ke area parkir mobil. Hampir semua anak kampus mengenal Nayyara, iyalah ... dia sang anak pemilik kampus. Masih meragukan seberapa banyak kekayaan keluarganya yang turun temurun? Namun meski begitu, Nayyara tak pernah menyombongkan dirinya akan hal ini. Dia sudah memasuki semester empat, tetapi tak pernah menggunakan kekuasaannya untuk menjadi terkenal, sok paling berkuasa, atau memperalat para dosen untuk meninggikan nilainya. Tidak sama sekali, Nayyara anak yang berprestasi. Ajaib bukan? Meski tugas sering menyontek punya Shaleta, tetapi Nayyara selalu jeli matanya jika pekerjaan Shaleta ada yang kurang, gadis itu yang akan memperbaiki hingga mempunyai akhir yang sempurna. Shaleta sering bingung, Nayyara jarang sekali belajar tetapi ketika ujian dia tak pernah mendapat nilai di bawah rata-rata, selalu berada di antara anak-anak kampus yang berhasil memperoleh hasil memuaskan, menjadi kebanggaan kampus dan juga orang tua. Tidak jarang Nayyara di minta oleh pihak kampus mewakili sesi wawancara atau mengikuti beberapa perlombaan seperti debat contoh salah satunya. Lihat mulut Nayyara yang katanya selalu tidak bisa diam, ternyata ada untungnya juga ketika berada dalam perlombaan debat. Wawasan Nayyara sebenarnya sangat luas, dia cerdas, hanya saja malas dan sikap kekanak-kanakan yang kadang membuatnya mengesalkan dan seolah kelihatan bodoh. "Mau ke mana, Ra?" "Kafe dulu ya, nyari makan. Gue laper." Shaleta hanya mengangguk menurut. Karena bangun kesiangan, katanya Nayyara tidak sempat sarapan dan ini sudah melewati jam makan siang. Pantas saja gadis itu terus-terusan mengeluh lapar sejak dalam kelas. Wajahnya uring-uringan, tidak fokus mendengarkan materi yang di sampaikan dosen. "Kafe mana, Sha? Pilih cepet sebelum lo yang gue telan!" Shaleta memukul kepala Nayyara sampai gadis itu mengaduh kesakitan. "Geger otak gue lama-lama di pukul terus kepalanya!" geramnya kemudian. "Kafe biasa aja, tuh depan sana juga ada cabangnya. Baru buka kata anak yang lain, menunya juga lengkap. Gue udah haus banget anjir, pengen minum yang dingin-dingin. Cuaca hari ini kayak di neraka aja, panas bukan main." Shaleta bersungut kesal, belum lagi teringat dosen killer. Oh ya ampun, hampir meledak rasanya kepala Shaleta. Nayyara menepikan mobilnya ke halaman kafe, untung saja masih ada beberapa meja yang kosong, kafe ini lebih luas dari cabang dekat kampus mereka dan menakjubkannya pengunjung tak pernah sepi dalam setiap harinya. Seperti di dekat kampus, kalau terlambat sedikit saja ke sana ... penuh sampai ke halaman samping dan depannya. Lagi yang membuat kafe ini sering dikunjungi anak muda selain tempatnya yang nyaman dan indah untuk pengambilan foto, ada band yang siap menghibur menyanyikan beberapa lagu atas keinginan pengunjung. Tidak sedikit juga di antara pengunjung yang ada memilih naik panggung untuk menyumbangkan suara indahnya, di nikmati banyak orang sebagai teman makan. Sembari menunggu makanan mereka datang, Shaleta menyenggol Nayyara yang sedang fokus pada ponselnya. "Lo kan bisa nyanyi, nggak berniat nyumbang lagu buat ngehibur pengunjung?" Sambil mengulum senyum berharap Nayyara mengiyakan sarannya. Jangan heran, suara Nayyara begitu lembut saat bernyanyi, merdu dan menenangkan sekali jika didengar. Nayyara menggeleng cepat. "Nggak, nggak bakal mau! Gila aja lo, gue malu." "Apa sih yang buat malu? Orang suara lo bagus banget, semua orang pasti menikmati. Percaya sama gue." "Nggak." Shaleta tiba-tiba mengangkat tangannya ketika seseorang bertanya kepada para pengunjung siapa lagi yang akan menyumbangkan suara indahnya. "Kak, ini teman saya mau nyanyi katanya." Menunjuk ke arah Nayyara tanpa di duga. "Wey, Sha! Nggak ada, ngasal aja kalau ngomong." Bukannya merasa bersalah, Shaleta malah cengengesan dan meminta dukungan dari pengunjung lain untuk menyerukan Nayyara agar mau menyanyikan satu lagu untuk mereka. "Ayo dong, Nayya!" Shaleta mengulum senyum menahan tawa, dia senang sekali bisa menjahili Nayyara seperti ini. "Ayo dong, Nayya!" seru para pengunjung kompak. "Ayo, Nayya. Ayo, Nayya!" Mata Shaleta berbinar, dia menyemangati Nayyara bahwa gadis itu bisa. Jangan malu, semua akan menyukai suara indahnya. Nayyara akhirnya mengalah, dia berdiri dari tempat duduknya. Dan hal itu berhasil mendapat tepuk tangan yang sangat meriah. Semua bersorak padahal Nayyara belum sama sekali menyayikan lagu andalannya. Dari kejauhan, Shaleta bertepuk tangan paling semangat. "Lo sahabat gue!" Kemudian memberikan tanda 'cinta' dari jari telunjuk dan jempolnya. *** Terima kasih sudah menjadi pembaca setia karyaku. Semoga "Kisah Cinta Nayyara dan Liam" tak kalah seru dengan cerita lainnya. Akan aku usahakan membuat cerita sebagus mungkin, untuk memuaskan kalian semua. Love! Maaf jika terdapat kesalahan kata dalam setiap penulisanku. Jangan lupa tap love untuk menyimpan cerita ini di library dan tinggalkan komen untuk memberikan semangat. Hehehe .... Satu komen dan love dari kalian, berharga sekali. Terima kasih banyak. Muachhh! Salam manis, Novi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN