Kisah Cinta Nayyara dan Liam | 6

1711 Kata
Setelah acara semua berkumpul dalam satu ruang untuk menikmati makanan yang disajikan oleh orang-orang panti sebelum nanti melakukan gotong royong membersihkan daun-daun kering di halaman, ini juga berguna untuk melatih anak-anak panti yang masih kecil hingga beranjak dewasa untuk selalu rajin menjaga kebersihan sekitar. Jika lingkungan sudah bersih maka kesehatan akan selalu bersama mereka. Nayyara mengikuti ke mana Andara bertemu dengan orang-orang, memperkenalkan dirinya dengan raut bangga telah memiliki putri seperti Nayyara. Betapa beruntungnya Nayyara memiliki Andara. Setelah saling menyapa dengan seseorang yang juga berpakaian formal, mereka kemudian bergabung dalam satu meja yang sama dengan keluarga Liam. Oh astaga, Nayyara rasanya ingin salto depan dan belakang saking senangnya. Wajah cantik itu sampai memerah malu karena terkesima untuk kesekian kalinya kepada keturunan Alexander yang satu ini. Andara menyalami Rio, Naura, dan Liam. "Yo, perkenalkan ini putriku yang sering kita obrolkan." Andara menoleh pada Nayyara. "Sayang, perkenalkan ini Paman Rio dan istrinya Naura. Kalau ini putra pertama mereka, Liam Alexander." Nayyara berusaha tenang, bersikap sesopan dan seramah mungkin agar terlihat seperti putri yang baik. "Nayyara Paman, Tante." Kemudian yang terakhir Nayyara mengulurkan tangan pada Liam. "Halo Pak, kita ketemu lagi." Membarengi ucapannya dengan kekehan malu-malu. Naura mengusap puncak kepala Nayyara, wanita itu terlihat menyukai putri Andara satu ini. Selain cantik, Nayyara begitu menarik perhatian Naura. "Cantiknya kamu, Sayang. Senang bisa berkenalan sama kamu secara langsung, sudah lama sekali Mami meminta di kenalkan sama Ayah kamu." Setelah menyebut dirinya Mami, Naura tersadar. "Jangan panggil Tante, Mami saja. Biar lebih akrab dan samaan kayak Liam. Kamu juga boleh panggil suami Mami dengan sebutan Papi, Sayang." Nayyara mengangguk paham. "Terima kasih, Mami. Senang juga bisa mengenal Mami." Semua duduk pada kursi masing-masing, Nayyara berada di sisi Liam. "Pak, kata orang kalau ketemunya sampai tiga kali berturut-turut artinya ada sinyal jodoh. Bapak nggak keberatan kan berjodoh sama saya?" bisik Nayyara asal, langsung membuat Liam tersedak. Nayyara terperanjat, dia langsung mengambilkan minum untuk Liam. "Mami, Papi, Om, aku pamit ke belakang dulu sebentar." Setelah itu Liam beranjak dari tempat duduknya. Nayyara cemberut, dia baru saja ingin memulai pendekatan dengan Liam tapi pria itu malah menjauh darinya. Sombong sekali! "Sayang, kalau kamu mau ikut Liam boleh. Silakan. Siapa tahu kamu kurang nyaman bergabung di sini, bisa ikuti Liam ke belakang. Di sana ada banyak anak-anak panti yang lain." Naura sangat paham, untunglah. Nayyara langsung mengangguk. "Ayah, boleh aku pamit ke belakang nyusul Liam?" tanya Nayyara pada Andara. "Ya, boleh saja, Sayang. Silakan. Hati-hati ya, jangan lari." Nayyara mengangguk. Kemudian dia juga permisi ke belakang menyusul Liam dengan langkahan lebar dan cepat. Nayyara senang, dia disukai oleh kedua orang tua Liam. Paling tidak dia sudah mendapat lampu hijau, pepet anaknya tak jadi masalah kalau sudah begini. "Pak!" Nayyara memanggil Liam, dia melambaikan tangan ke arah pria itu yang langsung dibalas dengan senyuman canggung. "Ya, ada apa?" "Bapak ninggalin saya. Nggak sopan!" Liam mengernyit. Anak ini, aneh-aneh saja. "Kamu ikutin saya?" "Iya, Mami yang menyuruh. Dia baik, cocok jadi calon mertua. Eh ngomong-ngomong, aku ngomongnya pakai aku-kamu aja ya, lebih enak didengar. Ada manis-manisnya gitu." Liam memggelengkan kepala. Dia memilih berlalu saja dari saja, meninggalkan Nayyara dengan segala kehaluannya. "Astaga, ngapain lagi?" kesal Liam ketika Nayyara nampak membuntutinya. "Ikutin Bapak. Ke mana pun, aku rela." "Saya mau ke kamar kecil. Masih mau ikut?" Nayyara mengulum senyum. "Boleh juga kalau diizinin." Matanya membulat, berbinar indah dengan kedua pipi di gembungkan. Nayyara sadar dirinya mulai menggila, tapi sungguh tak menyesal mengatakan hal ini kepada Liam. Dia menyukai Liam, tidak ada siapa pun yang bisa membantahnya. Liam memijat pelipisnya. "Jangan. Kamu ke sebelah sana saja, di sana banyak anak panti yang lagi bermain. Kamu bisa mengobrol bareng mereka." "Kamu nggak akan kembali lagi?" "Kenapa memangnya?" "Kembali, nanti aku susah nyariin kalau kamu menghilang." "Jangan bercanda, saya tidak tertarik dengan lelucon anak seusia kamu." Liam kemudian meninggalkan Nayyara tanpa bisa gadis itu cegah. Nayyara tidak mendengarkan Liam, dia malah mengikuti arahan langkah pria itu. Benar saja, Liat memasuki kamar kecil untuk buang air. Sebuah ide muncul di kepala, Nayyata segera mencari kertas kecil berbentuk bunga warna-warni miliknya. Menuliskan beberapa kata di sana lalu menempelkannya pada pintu. "Semangat buang airnya ya." Gila, tapi memang itulah yang Nayyara tulis. Setelah itu dia balik kanan, meninggalkan tempat itu menuju perkumpulan anak-anak panti di halaman samping. Di sana juga tersedia makanan, tempat duduk dan wahana bermain sebagai pelengkap untuk anak-anak agar tidak bosan berada dalam acara yang ramai dengan kedatangan orang-orang. *** Selesai buang air kecil, Liam berdiri di depan westafel yang memiliki kaca cukup besar. Liam melihat penampilannya sampai ke rambut, dirasa cukup dia segera berniat keluar. Namun, tunggu sebentar. Kertas merah muda berbentuk bunga tertempel di pintu bilik toiletnya tadi. Liam mengernyit, lalu mengambil kertas itu. "Ada-ada saja anak ini!" gumam Liam menggelengkan kepala. Bagaimana bisa memberikan semangat hanya untuk buang air, konyol. Liam melipat kertas itu, ingin membuangnya namun urung, malah di masukkan ke dalam saku celana. "Kak Liam ...!" sapa anak panti saat berpapasan dengan Liam. Mereka bahkan ada yang melambaikan tangan ceria. Biasalah, manusia satu itu bak Dewa. Siapa sih yang tidak menyukainya? "Kalian makan yang banyak ya, Sayang." "Siap, Kak." Kemudian Liam melangkah memasuki area dapur, di sana ada Meida yang sedang repot membantu menyusun kue untuk dihidangkan. "Mei, belum kerja baktinya?" Meida menyapa Liam, tersenyum manis. Dia gadis yang rajin sekali, idaman Liam. "Belum, Liam. Katanya sekalian sehabis makan siang saja, sekarang tamu lagi banyak yang datang." Liam mengangguk. "Ada yang perlu aku bantu?" Meida menggeleng. "Jangan, Liam. Kamu tunggu di depan aja. Aku sebentar lagi beres, nanti aku susulin kamu ya." "Oke, jangan lama-lama ya." Meida tersenyum. "Iya, Liam." Sebelum berlalu, Liam berpapasan dengan bunda mengurus panti. "Hai, Liam. Kamu masuk dapur? Ada perlu apa, Nak, nanti bunda ambilkan." "Nggak ada perlu, Bun. Aku nyari Meida, ternyata dia lagi mengurus kue. Katanya sebentar lagi, Liam di suruh nunggu di depan." "Oh iya, Nak. Tunggu di depan saja, di dapur bau bumbu masakan." Bunda tertawa kecil, ciri khas dapur memang seperti itu. Tapi yang Liam tahu, masakan bunda panti sangat enak rasanya. Liam keluar dari dapur, baru saja mendaratkan p****t di kursi panjang yang muat sekitar tiga orang, Nayyara menghampiri dan duduk di samping Liam. "Pak, gimana buang airnya. Lancar?" "Kamu jangan membuat lelucon, saya tidak tertarik." Nayyara berdecak. "Siapa yang membuat lelucon, Pak? Aku cuman mau memberikan semangat, manis banget kan aku?" "Tidak. Sebaiknya kamu susulin Ayah kamu, dia sepertinya sedang mencari kamu." Liam berbohong, bahkan sejak tadi dia tidak bertemu dengan Andara. Hanya saja berada di sebelah Nayyara membuatnya sesak napas. Liam harus mengusap d**a berkali-kali melihat kelakuannya yang tidak masuk akal. "Kamu bohong, ya?" Nayyara mengulum senyum. "Sebelum aku samperin kamu, tadi aku ketemu sama Ayah. Dia bilang aku nggak apa berteman sama kamu dulu sementara dia sibuk dengan orang-orang di dalam sana." Liam mengusap wajah. Ternyata meski seperti ini kelakuannya, Nayyara cerdas juga. Tidak bisa sembarangan membohonginya. "Ya sudah, tapi bisa jangan berulah?" "Ayo tukeran nomor telepon." Nayyara mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, menyerahkan kepada Liam untuk mengetikkan nomor telepon. "Saya tidak menerima pesan yang tidak jelas." "Semua pesanku jelas, percaya deh. Nanti aku semangatin kamu dalam kegiatan apa saja, biar nggak gampang bosan." Liam menggeleng. "Tidak perlu." "Perlu. Ketik aja nomor kamu dulu, atau kamu mau aku mendapatkannya dari minta sama Mami kamu? Boleh juga." Nayyara memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. "Sekalian aku aduin kalau kamu nyuekin aku. Nyebelin." "Ya sudah, sini ponsel kamu tadi." Liam langsung mengetikkan nomornya di sana. "Jangan menelepon saya sembarangan." "Kirim pesan boleh?" "Saya nggak berjanji bisa membalasnya. Saya sibuk, tidak punya waktu untuk itu semua." "Yha, nggak seru. Hidup kamu terlalu datar. Nanti sering-sering main sama aku biar berwarna hidupnya, ya?" Nayyara mengerjapkan matanya, menunjukkan ekspresi paling manis yang dia punya. "Kamu tahu saya bukan lagi anak muda seperti kamu. Usia kita berbeda jauh, sama seperti pergaulan kita. Kamu masih wajar saja ngumpul sana sini, sementara saya tidak." "Tapi muka kamu nggak tua-tua banget kok. Masih cocok jadi anak seumuran aku." Nayyara menaik turunkan alisnya. "Nanti main ke taman, ayo?" "Saya sibuk." "Ck! Kemarin kok kamu bisa jalan-jalan ke taman? Nolongin aku nyebur di kolam." "Kebetulan saja." "Ajak aku nanti ke rumah kamu ya, biar makin kenal sama Mami dan Papi kamu. Nanti aku izin sama Ayah jalan-jalan ke sana." "Saya sibuk." "Hih, pengen kugigit. Judes amat." Nayyara mengerucutkan bibir tidak suka. Tidak lama saling mendiamkan, Meida datang menghampiri. Nayyara menatap gadis itu, melihatnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Ah, tetap cantik aku!" ucap Nayyara dalam hati. Tidak perlu cemas, Nayyara masih lebih unggul dari sosok gadis di hadapannya ini. Ya meski tak bisa juga Meida dibilang jelek, dia lumayan cantik. Yap, lumayan bagi Nayyara. Meida tersenyum menyapa Nayyara, mengulurkan tangannya untuk berkenalan. "Meida." Bukan hanya cantik, Meida juga sopan dan ramah. Dia tidak melunturkan senyum yang tercetak indah pada bibirnya. Nayyara menerima dengan senang hati. "Nayyara, panggil aja Nayya." "Nayyara? Anak Paman Andara?" Nayyara mengangguk membenarkan. "Baru saja aku bertemu Paman, dia mengatakan jika mengajak kamu ke sini. Untunglah kita bertemu, aku sangat senang bertemu kamu." Meida masih mengingat jelas, Nayyara inilah yang tercebur kekolam waktu itu. Dunia begitu sempit, ternyata gadis itu sosok putri seseorang yang begitu Nayyara hormati selain orang tua Liam. "Senang juga bisa mengenal kamu, Meida." "Oh iya, Liam ayo ajak Nayya ambil kue yang tadi. Rasanya enak sekali, Bunda yang bikin semalam." Meida menatap Nayyara. "Nayyara, ayo cicipi kue ke sebelah sana." Nayyara mengangguk semangat. Ternyata benar kata Andara, Meida sangat baik orangnya. Beginikah sosok yang Liam sukai? "Ayo, Pak!" ajak Nayyara. Liam hanya mengangguk, mengikuti dari belakang kedua gadis yang sedang mengobrol itu. Baru mengenal tetapi Nayyara sudah cukup nyaman saling berbagi cerita dengan Meida. Bocah ingusan ini, sangat lancar dalam berbicara. Bibirnya seperti tak memiliki rasa lelah. *** Terima kasih sudah menjadi pembaca setia karyaku. Semoga "Kisah Cinta Nayyara dan Liam" tak kalah seru dengan cerita lainnya. Akan aku usahakan membuat cerita sebagus mungkin, untuk memuaskan kalian semua. Love! Maaf jika terdapat kesalahan kata dalam setiap penulisanku. Jangan lupa tap love untuk menyimpan cerita ini di library dan tinggalkan komen untuk memberikan semangat. Hehehe .... Satu komen dan love dari kalian, berharga sekali. Terima kasih banyak. Muachhh! Salam manis, Novi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN