Calvert menatap punggung Keyna yang perlahan semakin menjauh seiring kepergian gadis tersebut yang katanya akan mengunjungi rumahnya. Kepalanya terasa berdenyut dan agak nyeri. Sementara hatinya sendiri terasa kebas. Calvert tidak tahu bagaimana perasaannya. Dia masih sangat bingung dengan semua hal yang terjadi, semua terasa asing baginya. Siapa dirinya, siapa Keyna, dan mengapa dia bisa berakhir di sana.
Benarkah dia Calvert dan tunangannya Keyna? Ingatannya terasa sangat kosong. Calvert hanya samar-samar mengingat saat dirinya akan tenggelam. Dia ingat bagaimana tubuhnya seakan diimpit oleh sesuatu dari berbagai sisi. Lemas, sesak, dingin, dan gelap. Suasana yang terlalu tenang membuat ngeri, suara air yang terombak, dan embusan kencang angin. Hanya memori itu yang terus berputar di kepalanya, yang terkadang membuat Calvert menggigil. Dirinya mungkin baru saja menang melawan maut.
Calvert menghela panjang napasnya. Sekuat apa pun dia berusaha mengingat hal lain, hasilnya selalu nihil. Alih-alih mengingat sesuatu, hanya sakit kepala yang dia dapat saat berusaha mengembalikan ingatannya.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Calvert mengangkat wajah saat seseorang masuk ke dalam tempat istirahatnya sambil membawa sebuah piring. Seorang pria dengan perawakan yang hampir sama dengannya. Hanya saja, lelaki itu agak lebih kurus. Wajahnya tirus dengan hidung bangir, dan bibir merah muda, layaknya pria itu tidak merokok. Rambutnya berwarna cokelat agak ikal.
Sambil meletakkan piring yang ternyata berisi berbagai buah yang sudah dipotong-potong, lelaki itu duduk di kursi besi di sisi ranjangnya. “Keyna memotongkan buah untukmu sebelum pergi dan meminta aku memberikannya padamu,” ucap pria tersebut.
Calvert mengangguk. Diingatnya baik-baik gadis bernama Keyna yang katanya adalah tunangannya. Gadis yang semalam menangis di pelukannya. Gadis yang meski Calvert tidak bisa ingat, tetapi tatapan tulusnya berhasil membuat lelaki itu percaya, berhasil membuatnya merasa iba dan ingin melindunginya.
“Keyna … gadis seperti apa?” Calvert bertanya ragu.
Nic yang hendak berlalu seketika menyamankan duduknya kembali. Pria itu tidak langsung menjawab. Pertama-tama, selama beberapa sekon, dia menatap Calvert dengan tatapan yang tak bisa Calvert baca. Kemudian pada sekon selanjutnya, pria itu menipiskan bibir, tersenyum.
“Dia gadis yang tangguh. Gadis yang pantang menyerah, berani, dan baik hati. Tapi meski terlihat kuat, sesungguhnya dia adalah gadis yang paling butuh perlindungan,” kata Nic akhirnya. Pria itu menatap Calvert dengan tatapan seolah memberi tahu Calvert bahwa dia yang harus melindungi gadis itu, apa pun caranya.
Calvert jadi ingat bagaimana semalam gadis itu menangis di pelukannya. Meski hatinya masih terasa hambar tidak bisa merasakan perasaan yang seharusnya dia rasakan pada tunangan yang dia cintai, tetapi tangisan lelahnya berhasil mengusik Calvert.
“Apakah kami saling mencintai sebesar itu?” dia bertanya lagi. “Aku … maaf, ingatanku masih belum bisa mengingat Keyna, dan hatiku juga. Aku masih merasa asing dengan semuanya.”
Kali ini, wajah Nic tampak agak mengeras. Emosinya untuk sesaat tampak luntur. Entah itu hanya perasaan Calvert saja atau memang ada sesuatu yang lelaki itu tidak bisa jelaskan dengan pasti.
“Keyna belum pernah mengenalkanmu secara langsung padaku dan Diane. Tapi dia selalu bercerita tentangmu, menceritakan hari-hari bahagia kalian, dan seberapa besar dia mencintaimu.”
“Kapan dan di mana kami pertama kali bertemu?”
Nic menghela napas. Menegakkan duduknya. “Kau bisa bertanya langsung padanya nanti. Mungkin, demi memulihkan ingatanmu, dia akan membawamu ke sana,” pungkasnya. Kemudian berdiri. “Makanlah. Keyna sengaja menyiapkan buah itu khusus untukmu.”
Setelah mengatakan hal itu, Nic tersenyum singkat dan berlalu dari hadapannya. Meninggalkan Calvert yang masih terdiam, memikirkan banyak hal. Dia merasa sangat frustrasi karena tidak bisa mengingat apa pun.
***
Keyna menginjakkan kaki di lantai marmer yang kokoh. Menyusuri rumah tersebut sampai menemukan sosok yang dia cari di halaman belakang rumah, duduk nyaman dengan bikini beserta segelas jus buah yang baru saja dia minum. Sebelah bibir Keyna terangkat naik. Sedikit mencibir, sebab melihat penampilan Joyce yang tidak sesuai dengan umurnya.
“Tampaknya, hidupmu makmur sekali?”
Joyce menurunkan kacamata hitamnya. Menoleh menatap Keyna dengan tatapan malas. “Akan lebih makmur jika kau enyah dari hidupku.”
“Ow. Seharusnya kau yang enyah dari kehidupanku,” pungkas Keyna tak mau kalah. Perempuan itu mensedekapkan tangannya di perut. “Bukankah kau yang datang tiba-tiba ke dalam kehidupanku dan menghancurkan semuanya? Bagaimana kau melupakan hal itu dan bersikap seolah-olah kau adalah korban?”
Joyce memutar bola matanya. Menurunkan kaki dan berdiri di hadapan Keyna. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya. Dia tahu, biasanya Keyna menghindari perdebatan semacam ini. Tenaga wanita itu sudah habis untuk bekerja. Meladeni ucapan Joyce hanya membuatnya semakin lelah.
Keyna mengedikkan bahu. “Aku hanya ingin bilang bahwa Vallencia adalah nyawaku. Aku akan mempertahankannya dengan cara apa pun. Tidak akan kubiarkan dia jatuh ke tangan orang yang tidak seharusnya.”
Mendengar ucapan Keyna, Joyce tampak diam sejenak. Tapi sekon berikutnya, wanita itu tertawa dengan nada sumbang. “Ya. Aku tahu. Itu sebabnya aku semakin ingin mendapatkan Vallencia. Sebab aku tahu, hal itu akan membuatmu hancur. Benar, bukan?”
Keyna tersenyum miring. “Ya, semoga rencana busukmu berhasil,” ucap gadis tersebut. Sama sekali tak gentar. Justru dia membalasnya dengan nada riang, yang jelas saja membuat Joyce kian kesal.
“Aku pergi,” ucap Keyna kembali. “Kembalilah beristirahat dan bersenang-senang. Aku takut kau terkena serangan jantung jika terlalu sering bekerja. Maksudku, banyak mengerjakan hal yang sia-sia.”
Ucapan sarkas Keyna sebelum dia pergi membuat Joyce benar-benar meradang. Wanita paruh baya itu tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh Keyna sehingga gadis itu bisa berbicara selancang itu. Padahal sebelumnya, Joyce sudah percaya diri bahwa Keyna akan segera kalah dalam pertarungan ini. Sebab syarat untuk mendapatkan warisannya adalah fobia yang dia miliki. Menikah. Joyce tahu Keyna tidak ingin menikah.
Sementara itu, Keyna merasa senang karena bisa membuat Joyce marah. Meski rencana utamanya belum terealisasi, wanita itu sudah sangat panas. Bagaimana jika nanti dia tahu bahwa Keyna akhirnya menikahi seseorang tanpa sepengetahuannya? Keyna tidak sabar menantikan hari itu.
“Key!”
Keyna menghentikan langkah saat mendapati kakak tirinya baru saja turun dari mobil. Dengan langkah cepat, pria tinggi tersebut menghampiri Keyna. “Kapan kau pulang? Aku mencarimu ke apartemen tapi kau tidak ada. Kau menginap di suatu tempat?”
Keyna tidak menjawab. Gadis itu hanya menatap Kenneth lamat-lamat selama beberapa saat. “Kau ke apartemenku?” dia tanya dengan tatapan memicing.
Kenneth menghela napas. “Ya. Aku khawatir karena kau pergi dengan marah hari itu. Semakin khawatir karena aku tidak bisa menemukanmu di mana pun.”
“Berhentilah mempedulikan aku, Kenneth. Kau tahu itu adalah hal yang sia-sia, bukan?”
“Tidak ada yang sia-sia bagiku, Keyna.”
Keyna mengembuskan napas keras. “Kau sangat menjengkelkan!” ketusnya. Kemudian berlalu melewati Kenneth. Sama sekali tidak mendengar meski Kenneth memanggil namanya beberapa kali. Lelaki itu selalu merepotkan karena membuat Keyna selalu merasa bersalah.
[]