Keyna menatap pria yang saat ini terlelap damai, sementara tangannya masih menggenggam erat tangan Keyna, seolah tidak ingin Keyna kabur dari sisinya. Melihat hal itu, hati Keyna dipenuhi oleh perasaan bersalah yang menggunung. Dia telah membodohi pria asing ini, tetapi dia mempercayainya dengan begitu besar. Rasanya Keyna ingin mengulang kembali waktu dan tidak membiarkan lelaki itu terlibat dalam hidupnya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Dia sudah terlanjur mengatakan banyak kebohongan pada pria itu. Mundur sekarang justru hanya akan memperumit semuanya.
“Kalian seperti sepasang kekasih sungguhan yang sedang dimabuk cinta.”
Keyna menoleh dan langsung melayangkan tatapan tajam pada Diane. “Bisakah kau diam?” geram Keyna pelan. Takut jika Calvert bangun dan mendengar percakapan mereka.
Sangat pelan, Keyna melepaskan genggaman tangan Calvert padanya. Meski awalnya kesulitan karena Calvert sungguh menggenggamnya erat, tetapi akhirnya Keyna bisa lepas darinya. Sejenak, dia menatap pria itu. Obat yang baru saja Calvert minum sepertinya sudah bekerja, sehingga lelaki itu tertidur dengan begitu nyenyaknya.
Berusaha memfokuskan diri, Keyna keluar dari kamar, membawa serta sepupu sekaligus pemilik rumah tempat mereka berdiam diri sekarang.
“Kau beruntung sekali. Selain tampan, pria itu juga tampaknya sangat baik. Dia memperlakukanmu dengan hangat.”
Keyna menghela napas kasar mendengar ucapan Diane. “Dia memperlakukanku dengan hangat karena tidak tahu bahwa aku membodohinya,” jawab gadis itu penuh sesal.
Diane tersenyum kecil. Mengambil satu kotak jus buah dan menuangkannya ke dalam gelas, kemudian menyodorkan minuman itu pada Keyna. “Ayolah! Berhenti ragu-ragu, Key. Demi Vallencia, kau harus membulatkan tekad.”
Keyna memutar bola matanya. “Tapi mengorbankan orang lain demi kepentinganku sendiri sangat egois. Aku merasa sangat bersalah menyeret pria itu ke dalam hidupku.”
Diane tidak segera menjawab. Wanita itu hanya menatap Keyna dalam diam, dengan intens. “Kau bisa mengatakan yang sejujurnya suatu saat nanti pada Calvert, Key,” ujarnya setelah beberapa lama kemudian.
Tatapan Keyna lurus pada meja pantry di dapur Diane. Sementara tangannya bergerak pelan, melingkar mengikuti bentuk mulut gelas. Pikirannya benar-benar kacau sekarang. Antara ambisi dan rasa kemanusiaan, Keyna dilemma.
***
“Kau dari mana saja?”
Keyna menghampiri Calvert yang sedang berjalan menyusuri rumah Diane tertatih-tatih. Tampaknya lelaki itu terbangun dan lekas mencari Keyna karena gadis itu tidak ada di sisinya saat ia terbangun. Begitu akhirnya menemukan Keyna, wajah pria itu tampak begitu lega, dan hal itu membuat rasa bersalah Keyna semakin besar.
“Aku baru saja makan,” kata Keyna. Pandangannya turun ke arah tangan Calvert yang langsung mengamit jemarinya, seolah pria itu benar-benar mengkhawatirkan Keyna. “Kau sudah baik-baik saja?”
Calvert mengangguk. “Ya, aku rasa aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing dan nyeri.”
Keyna menatap perban yang melingkar di bahu lelaki itu, serta lebam di sekitar wajah dan tangannya. Dalam hati dia bertanya-tanya, hal apa yang terjadi pada lelaki itu sampai dia berakhir terdampar di pantai dengan kondisi ini.
“Untuk sementara kau harus istirahat total. Lusa kita akan pergi ke klinik Dokter John untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.”
Keyna mengambil alih tiang infus yang Calvert bawa, kemudian membawa lelaki itu kembali ke kamar. Tidak ada percakapan yang terjadi. Keyna masih belum terbiasa dengan lelaki itu. Pun dengan Calvert yang kondisinya tidak begitu baik. Sepertinya, lelaki itu juga tengah berusaha keras mengingat banyak hal, termasuk mengenai Keyna. Meski tentu saja, sekeras apa pun dia berusaha, Calvert tidak akan ingat, sebab Keyna tidak pernah hadir di hidupnya sebelum dia kecelakaan.
“Kapan kita akan melangsungkan pernikahan?”
Pertanyaan yang dilontarkan secara tiba-tiba oleh Calvert tersebut berhasil membuat Keyna nyaris saja tersedak oleh salivanya sendiri. Dengan dramatis, gadis itu menoleh pada pria tinggi di sisinya.
“Kondisimu sedang tidak baik-baik saja. Kita akan memikirkannya nanti,” balas Keyna.
Diane memang menyarankan mereka menikah secepatnya, sebelum ingatan Calvert Kembali. Tapi entahlah, Keyna tidak bisa terburu-buru, apalagi melihat kondisi Calvert sekarang.
Sementara itu, Calvert menghela napas pelan. “Bisakah kita menikah sebelum pergi ke klinik?”
Ditikam rasa bersalah yang semakin menjadi, Keyna berusaha mengalihkan topik pembicaraan. “Sore ini aku harus pergi ke suatu tempat.”
“Ke mana?” Calvert tanya segera.
“Ke rumahku.”
“Aku akan ikut.”
Keyna menggeleng. “Kondisimu sedang tidak baik, Cal. Selain itu, ibu tiriku tidak akan suka melihatmu di sana.”
Calvert memejamkan matanya dengan frustrasi, seperti seorang pria yang merasa putus asa karena tidak bisa melindungi gadis yang dia cintai. “Aku akan sembuh secepatnya. Aku tidak akan membiarkan kau melalui banyak hal sendirian.”
Tepat saat mereka sudah tiba di sisi ranjang, Keyna menghentikan langkah, terpaku. Sial, hatinya berdebar mendengar ucapan Calvert. Dia merasa bahwa sandiwara ini suatu saat akan membuatnya sulit.
Calvert memegang bahunya, membuat Keyna mau tidak mau menghadap lurus ke arah lelaki itu. “Apa yang kau pikirkan?”
Keyna mengangkat wajah, menatap sepasang mata yang menatapnya lembut. Sebuah perasaan hangat seketika menjalar ke hati, menghadirkan sebuah debar abnormal yang belum pernah Keyna rasakan sebelumnya. Saat menyadari bahwa dirinya nyaris hilang kendali, Keyna buru-buru membuang pandang. Ke mana pun, selain dari wajah lelaki itu.
“Kau harus istirahat agar cepat pulih,” tandas Keyna, mendudukkan Calvert ke ranjang, tanpa berani menatap wajah apalagi matanya.
[]