"Kau yakin dia bukan seseorang yang kau kenal?"
Keyna menatap Diane dengan kesal. Setelah wanita itu datang menjemput bersama Nic, suaminya, akhirnya dia bisa mengamankan lelaki asing yang dia temui. Namun, pertanyaan demi pertanyaan tak masuk akal terus saja Diane lontarkan padanya.
"Sudah aku bilang aku tidak mengenalnya. Aku menemukannya tergeletak di mulut pantai, terdampar!"
"Oh. Tapi dia terlihat gagah dan tampan. Bukankah seharusnya dia menjadi incaran para wanita dengan fisiknya itu? Menurutmu, kenapa dia bisa berakhir seperti itu?"
Keyna merotasikan bola matanya. "Apakah aku dalam situasi bisa memikirkan permasalahan hidup orang lain?" dia jawab dengan malas. Sungguh pertanyaan yang konyol.
Diane terkekeh geli. "Astaga, kau sensitif sekali."
"Hidupku saja berantakan, untuk apa aku memikirkan hidup orang lain?"
Dengan punggung bersandar, Keyna menatap lurus pada layar televisi di depan. Sementara di dalam kamar tamu rumah Diane, Dokter sedang memeriksa keadaan pria asing yang dia selamatkan. Tentunya, bukan sembarang dokter yang mereka bawa. Ia adalah dokter pribadi keluarga Nicholas. Jadi situasi tersebut dijamin bisa dirahasiakan.
"Tapi kau menyelematkan hidupnya. Kau ikut campur dalam hidup pria itu," pungkas Diane.
Keyna mengembuskan napas kasar. "Aku hanya tidak ingin hidupku semakin rumit jika lelaki itu berakhir mati mengenaskan di sana," kata Keyna. Entah mengapa dia harus menjelaskan. "Menurutmu apa yang akan terjadi padaku jika hal itu terjadi? Ya, aku akan menjadi saksi atau mungkin berakhir menjadi tersangka karena aku satu-satunya orang yang ada di pantai tersebut."
Diane mencebikkan bibir, seolah sangsi dengan pernyataan yang Keyna berikan. Namun dia tidak ingin ambil pusing dan membuat Keyna semakin kesal.
"Nenek Sihir dan Si Burung Merak mengganggumu lagi?" tanya Diane serius kali ini.
Keyna menoleh. Wajah kesalnya berangsur berubah menjadi lebih suram. "Sedikit," katanya.
"Lalu? Apa yang membuatmu terlihat sangat murung jika bukan mereka berdua?"
"Ayah." Keyna tersenyum miris. Menertawakan dirinya sendiri yang tampak begitu menyedihkan sekarang. "Kau tahu, setelah dia meninggal pun, dia masih membuatku sulit."
Diane tidak mengeluarkan sepatah kata pun, tetapi lekas memasang badan, memusatkan atensi padanya.
"Vallencia tidak akan jatuh ke tanganku jika aku tidak menikah segera. Bukankah tidak masuk akal aku harus menikah dalam waktu singkat, sementara berkencan saja sudah tidak pernah lagi?"
Diane membulatkan mata, sementara bibirnya terkatup. Kemudian dia mengulum tawa.
"Entah aku harus prihatin atau menertawakanmu," katanya. Yang tentu saja ucapannya itu langsung mendapat tatapan tajam dari Keyna.
"Maksudku, Key, bukankah tidak salah selama ini aku selalu menyuruhmu berkencan? Pada akhirnya sekarang kau dihadapkan dengan hal ini, kan?"
"Kau senang?" dengan tatapan psikopat, gadis itu melirik sepupunya.
Diane berusaha tidak menunjukkan gigi. Tapi rasanya begitu sulit untuk menyembunyikan senyum. "Tidak. Tapi aku jadi lebih bersemangat untuk menyuruhmu berkencan. Setidaknya sekarang kau punya alasan yang cukup kuat untuk dekat dengan seorang pria."
"Kau benar-benar!" ketus Keyna tak habis pikir. "Aku tidak punya waktu untuk berkencan, kau tahu? Di wasiat tertulis bahwa aku harus menikah setidaknya sebelum tahun ini berakhir. Dan kau tahu, sekarang saja sudah bulan November!"
Diane termenung. Memikirkan jalan keluar untuk masalah Keyna. Namun tidak ada. Ia buntu.
"Mau kucarikan suami kontrak?" Diane tiba-tiba berujar. Entah serius atau bercanda.
Baru saja Keyna hendak merespons, Nic datang menginterupsi. "Dokter sudah selesai memeriksa. Juga, orang itu sepertinya sudah sadar kembali."
Keyna mengembuskan napas lega mendengar berita tersebut. Setidaknya, dia tidak akan repot dihadapkan dengan kondisi kritis orang yang bahkan dia sendiri tidak kenal.
"Tapi, dia amnesia."
Namun pernyataan yang dilontarkan Nic berikutnya, berhasil membuat Keyna membulatkan mata dengan sempurna. Amnesia?
"Apa? Amnesia?" Keyna shock. Nyaris dia segera menuju kamar tamu, tetapi Diane tiba-tiba saja menariknya, sehingga Keyna kembali ke hadapan mereka.
"Kita harus mengembalikan orang itu ke keluarganya segera. Jika dia hilang ingatan, bagaimana kita akan mengetahui identitasnya?" Keyna tanya.
"Tidak. Justru bagus. Kau bisa memanfaatkannya untuk sementara waktu, Key."
Mendengar itu, Keyna mengerutkan alis. Menatap lamat-lamat wajah sepupunya bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya.
Diane menghela napas. Melirik Nic sejenak, seolah meminta persetujuan untuk dirinya mengatakan ini.
"Bukankah kau harus menikah segera demi mendapatkan warisan yang ditahan?" Ucapan Diane membuat Keyna seketika termenung, berpikir. Bukan berarti Keyna tidak mengerti maksud Diane, tetapi dia tidak bisa gegabah mengambil keputusan. "Sekarang Tuhan sedang membantumu melalui pria itu. Bukankah kejadian ini terlalu pas jika dikatakan hanya sebagai kebetulan?"
"Bagaimana jika amnesianya sembuh dalam waktu singkat? Bukankah pria itu akan sangat marah saat tahu aku memanfaatkannya?"
"Siapa peduli?" Diane menjawab tenang. "Yang terpenting, kau menikah dan mendapatkan warisanmu. Lagi pula, di dalam surat wasiat tidak tercantum kau harus menikah dengan siapa dan berapa lama. Hanya tercantum kau harus menikah sebelum akhir tahun ini, dan waktunya sekarang tinggal sebentar."
Keyna terdiam lagi. Sepasang matanya melirik pada pintu kamar tamu milik Nic yang terletak sekitar sepuluh meter dari tempat mereka berbincang. Logikanya berpikir keras mengenai saran yang diberikan oleh Diane.
"Kau takut?" Nic bertanya serius.
Keyna menghela napas panjang. "Menikah bukan sesuatu yang bisa kita permainkan sesuka hati. Menikah adalah sesuatu yang sakral, perjanjian suci di depan Tuhan. Bagaimana bisa aku mempermainkannya?"
"Lalu apa yang akan kau lakukan? Membiarkan harta warisan jatuh ke tangan Nenek Sihir yang merenggut nyawa ibumu?"
"Kau pikir aku gila?!" Keyna menatap tajam Diane.
"Ya. Lalu bagaimana? Surat wasiat ayahmu yang memaksa kau untuk melakukan hal ini, Keyna." Diane melunakkan nada bicaranya. "Atau kau ingin mengencani orang lain dan menikahinya dengan sungguh-sungguh? Sementara waktumu hanya satu bulan."
Keyna menyugar rambutnya frustrasi. Rencana Diane memang gila. Namun ada benarnya. Tapi di sisi lain juga, Keyna ragu. Dia merasa ini salah. Dia ... takut. Semuanya mungkin tidak akan berjalan sesuai dengan harapan di masa mendatang.
"Kau hanya perlu menikah dengannya, Key. Entah itu seminggu, sebulan, bahkan sehari pun, yang penting kau menikah dan memenuhi syarat untuk mendapatkan saham terbesar Vallencia. Setelahnya, kita bisa mengurus lelaki itu."
"Bagaimana jika ingatannya kembali sebelum kami resmi menikah?" Keyna tanya.
"Maka dari itu, kalian harus menikah secepatnya." Diane tersenyum tipis.
"Bagaimana dengan identitasnya? Kita butuh pemberkasan untuk mengajukan pernikahan."
"Tidak usah khawatir," gumam Nic. "Aku memiliki kenalan yang bisa menyelesaikan masalah itu. Kau hanya tinggal duduk manis dan melaksanakan pernikahan."
"Kapan semuanya akan selesai?" Diane menatap suaminya.
"Kau kenal Jayden? Dia bisa mengatasi hal ini kurang dari dua puluh empat jam."
"Okay!" Diane tersenyum lebar sambil menjentikkan jari. Lantas menatap Keyna dengan binar semangat di matanya. "Kalian bisa menikah besok lusa jika seperti itu!"
"What?!" Keyna tak bisa lebih terkejut daripada mendengar hal ini. "Lusa? Kau gila?"
"Lebih gila jika kita terus mengulur waktu. Antara lelaki itu akan segera mendapatkan ingatannya, atau si Nenek Sihir akan melakukan sesuatu yang merugikan."
[]