Penemuan Pria Tak Dikenal

1058 Kata
Keyna tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia pikir sebelumnya dia menemukan sebuah jasad, tetapi sesuatu yang dia kira jasad itu menggerakkan tangan dan berbicara. Apakah dia hantu? Atau dia seorang penjahat yang akan menjebaknya? Keyna menyisir pandang ke sekeliling. Takut-takut komplotan lelaki itu mengintainya. Namun, Keyna tidak menemukan siapa pun. Di pantai itu hanya ada dia dan orang asing yang terdampar tersebut. Haruskah dia menghampirinya? Keyna ragu. “T-tolong ….” lirih, lelaki itu kembali berucap. Suaranya yang pelan nyaris tidak terdengar karena teredam suara ombak. Di tengah kekalutannya, lelaki asing itu terbatuk beberapa kali. Terdengar menyakitkan. Merasa iba, Keyna berusaha mengenyahkan ketakutannya dan turun menghampiri pria tersebut. “Kau baik-baik saja?” dia menanyakan pertanyaan yang terdengar konyol. Sudah jelas lelaki itu tidak baik-baik saja. “Tunggu sebentar. Aku akan memanggil ambulans.” Keyna bersiap mengeluarkan ponsel dari dalam tas kecil miliknya. Namun lelaki itu segera menghentikan. “Bawa saja aku pergi dari sini. Jangan panggil ambulans.” Mendengar permintaan pria yang memiliki bola mata berwarna biru safir itu, Keyna mengerutkan alis. Ditatapnya lekat-lekat pria tersebut. Memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah. “Kau … bukan buronan, kan?” tanyanya setelah beberapa saat kemudian. Lelaki yang tampaknya merasa kesakitan itu seketika membulatkan mata kesal mendengar pertanyaan Keyna. “Apakah aku terlihat seperti penjahat?” Keyna mengatupkan bibir. Ya, memang tidak. Lelaki itu terlalu tampan untuk menjadi buronan. Setelan mahal miliknya juga seolah memvalidasi pernyataan tersebut. Meski sebenarnya bisa saja seorang penjahat memakai pakaian mahal. Tapi entahlah, tatapan pria tersebut membuat Keyna merasa bahwa dia bisa mempercayainya. Menghela napas berat, Keyna berusaha membantu pria itu bangun. Tapi sial, badan pria itu saja dua kali lipat lebih besar dari badannya sendiri! “Aihs! Di antara teman-temanku, aku adalah gadis paling kecil. Lalu sekarang aku harus membawa pergi kau dari tempat ini? Seorang diri?” gerutu Keyna kesal. Dia memukul air saat usahanya untuk menggendong lelaki itu gagal untuk kedua kalinya. “Aku akan memanggil ambulans. Aku tidak bisa melakukan ini sendirian!” pekik Keyna keras, sebab ombak semakin tinggi dan deburannya semakin kencang. Bukannya tidak ingin menuruti permintaan lelaki itu, tetapi Keyna tidak bisa memaksakan diri di saat dia tahu batas dirinya sendiri. Memaksa membawa pria itu sendirian bukannya menyelesaikan masalah, yang ada malah membuat masalah baru. Tubuh mungilnya bisa saja berakhir cedera dan itu tidak baik, bukan? “Tolong, jangan rumah sakit. Aku—” Belum sempat lelaki itu menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja tubuhnya terkulai lemas. Keyna tentu saja terkejut bukan main. Bagaimana jika pria itu mati? Dia akan menjadi saksi karena hanya dia satu-satunya orang yang ada di sini sekarang. Tidak! Bukannya menjadi saksi, bisa saja pada akhirnya dia jadi tersangka, bukan? Lalu Joyce dan Florencia akan menggunakan hal itu untuk menguasai Vallencia. Sementara dia akan sibuk memenuhi panggilan polisi tanpa memiliki waktu melawan ibu tirinya. Itu tidak boleh terjadi! Pikiran liarnya mulai tidak terkontrol. “Sial! Kau sangat menyusahkan!” Keyna menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Berusaha bersikap tenang walau seluruh tubuhnya bergetar cemas. Pelan-pelan dia mendekatkan jarinya di depan hidung tinggi pria asing itu. Masih terdapat napas. Dia menunduk, meletakkan kepala di d**a kiri lelaki itu, mengecek detak jantungnya. Saat masih terdengar degupan di dalamnya, meski lemah, Keyna akhirnya bisa bernapas lega. “Ah! Seharusnya aku tidak datang kemari tadi. Kau membuat kepalaku yang sudah penuh dengan banyak masalah rasanya hampir meledak!” Keyna lagi-lagi menggerutu, meski pria itu bahkan tidak bisa lagi mendengarnya. Keyna berusaha membawa lelaki itu lagi. Dan tentu saja, seperti sebelumnya, dia tidak bisa! Lelaki itu terlalu besar untuk bisa dia bawa. Namun saat ponsel di dalam tasnya berdering dan Keyna melihat kontak yang tertera di layar, gadis itu melebarkan pupil matanya. “Astaga, aku bodoh sekali! Kenapa aku tidak ingat bahwa ada banyak manusia yang bisa kuhubungi?” ia menghardik dirinya sendiri. Menggeser tombol hijau di layar, Keyna lekas memanggil dengan nyaring seseorang di seberang telepon. “Diane! Oh, astaga, malaikat penolongku! Bisakah kau datang kemari sekarang juga?” “Hei, kau di mana? Di sana bising sekali.” Diane, teman kecil sekaligus sepupunya itu menjawab. “Tapi tunggu! Bukankah itu seperti suara ombak? Kau … sedang di pantai?” “Ya. Aku di pantai dan sekarang terjebak dengan seorang pria yang sedang tidak sadarkan diri. Aku harus membawanya segera sebelum dia mati.” “Apa laki-laki itu masih muda dan tampan?” “Sial! Apakah ini saatnya menanyakan hal itu?” Keyna tak habis pikir dengan reaksi yang diberikan oleh Diane di saat dia mengatakan dengan jelas urgensinya saat ini. “Cepat datang kemari! Bawa Nic atau siapa pun. Tubuhnya terlalu besar untuk kuatasi sendiri.” Setelah Diane mengatakan bahwa dia akan datang secepat mungkin, Keyna memutus sambungan telepon dan kembali berkutat dengan pria asing di sisinya. Dia sudah berhasil membawa sebagian tubuh lelaki itu naik ke atas batu, tetapi kakinya masih menjuntai ke bawah air dan Keyna mati-matian membawa seluruh tubuh pria itu. Jika tidak, mungkin dia akan mati karena hipotermia. “Hei, Bung! Sadarlah!” Keyna menepuk-nepuk pipinya. Namun dia masih tidak sadarkan diri. Sekali lagi, Keyna memeriksa napas pria itu. Kali ini, Keyna tidak merasakan embusan napasnya. Dia lekas memeriksa denyut jantung pria itu dan juga tidak bisa merasakannya. Tentu saja, wanita itu panik seketika. Sambil berharap bahwa semuanya belum terlambat, Keyna segera membuka baju pria itu, naik ke atasnya, dan menekan dadanya berkali-kali. Memberikan pertolongan pertama berupa tindakan CPR yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan karena situasi tempat yang tidak memungkinkan. Dia memeriksa kembali denyut jantung pria itu. Lagi-lagi masih nihil. Pria itu belum memberikan reaksi apa pun. Peluh mulai bercucuran di kening Keyna. Napasnya memburu, panik. Tapi sebisa mungkin dia tetap fokus dan kembali melakukan tindakan CPR. Bahkan memberikan napas buatan sebab pria itu sama sekali tidak merespons. Keyna mengumpat pelan. Dia belum pernah mencium bibir pria dan ciuman pertamanya justru harus terenggut karena kondisi darurat ini. Namun dia tidak memiliki pilihan lain. Ini bukan saatnya dia memikirkan ciuman pertamanya. Ini soal nyawa seseorang. Memejamkan mata, Keyna mendekatkan wajahnya ke wajah pria di depannya. Dengan teknik yang pernah dia pelajari, ia mulai memberikan napas buatan. Sekali, dua kali, tidak ada respons. Sampai akhirnya pemberian napas yang ketiga, pria itu tersadar! Uhuk! Air menyembur keluar dari mulut lelaki itu. Dia terbatuk beberapa lama. "Astaga!" Keyna terduduk lemas di sisi pria itu. Antara lelah dan juga lega karena lelaki asing itu kembali bernapas. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN