Gaun maroon tampak amat kontras dengan kulit Keyna yang putih. Warna menyala yang membuat sang empunya terlihat mewah, elegan, dan menakjubkan. Padahal, potongan gaun tersebut cukup sederhana. Berbentuk press body sampai ke pinggul, kemudian sedikit mengembang di bagian bawah. Gaun tersebut tidak memiliki lengan, sehingga mengekspos bahu cantik Keyna. Namun, potongan atasnya lurus sehingga menutupi dengan rapi dua aset wanita tersebut. Namun tetap saja, Calvert yang melihatnya menjadi gusar sendiri.
"Kau sudah siap?" Dengan santai, Keyna berjalan ke hadapan Calvert. Tidak menyadari ketegangan yang terjadi pada lelaki itu.
"Haruskah kita pergi?" Calvert bertanya skeptis. Pria itu menggigit bibir bawahnya tak berapa lama kemudian.
"Bukankah waktu itu kau yang meyakinkan aku untuk pergi? Ada apa ini?" Keyna tak mengerti.
Dengan gerakan yang tak sempat Keyna baca, Calvert tiba-tiba berjalan dan menghapus jarak di antara mereka berdua. Bibirnya seketika menyapu bibir Keyna yang sudah dihias oleh lipstik merah. Melumatnya dengan amat berhasrat. Rasa panas yang membara di dalam dirinya mengalahkan angin dingin musim gugur.
Sementara, Keyna yang mendapat serangan tiba-tiba dari Calvert amat terkejut. Wanita itu tidak mengira Calvert akan menghancurkan riasannya hanya dalam kurun waktu beberapa detik.
"Cal," gumam Keyna di sela-sela ciuman Cal yang menggoda untuk tidak dia sambut.
"Salahmu karena terlihat sangat cantik dan menggoda," pungkas Calvert. Menjeda lumatannya sesaat, sekadar untuk mengatakan kalimat tersebut.
Tangan pria itu mulai bergerilya. Menyentuh sesuatu yang ingin dia sentuh. Lantas memberikan sebuah tanda di leher wanitanya. Membuat Keyna merasa bergetar karena sengatan listrik ringan yang disebabkan Calvert. Namun dia tidak bisa terbuai begitu saja. Tidak, karena waktu mereka nyaris habis.
"Cal!" Keyna mendorong tubuh Calvert agak kuat, sehingga Calvert terdorong mundur.
Keyna menarik napas panjang. Mengusap bibirnya yang basah karena saliva mereka berdua.
"Kau merusak riasanku, astaga!" decak perempuan tersebut sebal. "Kau tidak lihat? Kita akan terlambat."
Calvert menggaruk keningnya yang tak gatal. "Maaf. Aku tidak bisa menahan diri," ujarnya, mengulum senyum. "Haruskah kita tinggal saja di rumah dan menghabiskan malam yang panas alih-alih datang ke pesta pernikahan temanmu?" ia mengerling nakal.
"Cal!" Keyna menatap kesal.
Calvert terkekeh kecil. "Baiklah. Jangan terlalu marah. Kau terlihat menakutkan," candanya.
Keyna hanya bisa mengembuskan napas dalam seraya menggeleng karena tingkah lelaki itu. Dia lantas mengeluarkan kaca untuk memperbaiki penampilannya.
"Pakailah mantel ini. Di luar akan sangat dingin."
Calvert tiba-tiba menyampirkan sebuah mantel hitam di pundak Keyna. Lantas tersenyum penuh arti. Sedangkan itu, Keyna tidak ingin ambil pusing dengan Calvert dan melanjutkan kegiatan untuk memperbaiki riasan. Tidak sampai lima menit, Keyna sudah selesai dengan penampilannya dan mengajak Calvert untuk lekas pergi atau mereka akan tiba sangat lambat.
***
Meski tidak kenal begitu dekat, tetapi sejak dulu Keyna tahu bahwasanya Agatha merupakan seorang anak dari keluarga yang kaya raya. Maka tidak mengherankan jika pesta pernikahan wanita itu digelar di sebuah gedung besar dengan dekorasi yang cukup mewah. Bukan hanya itu, karpet merah juga disediakan di depan pintu masuk gedung, seolah-olah semua tamu undangan yang datang adalah selebritas.
Keyna dan Calvert tiba di tempat acara lima belas menit lebih lambat dari jam yang tertera di undangan. Keduanya masih duduk di dalam mobil selama beberapa saat.
“Apakah temanmu seseorang yang terkenal? Mengapa ada banyak wartawan di luar, seolah-olah mereka adalah orang yang berpengaruh?” Calvert menyuarakan pertanyaan di dalam benaknya.
“Orang tua Agatha merupakan pengusaha terhormat dan cukup berpengaruh. Beberapa media mungkin memiliki minat pada mereka. Atau bisa saja mereka sendiri yang mengundang para wartawan tersebut untuk menaikkan citra keluarga dan perusahaan? Biasanya, para pengusaha melakukan hal itu,” Keyna memberikan penjelasan yang lugas pada Calvert.
Calvert hanya ber-oh-ria dan lekas turun dari mobil. Kemudian membukakan pintu untuk Keyna dan mengulurkan tangan padanya.
Sejenak Keyna terpaku melihat betapa manis Calvert memperlakukannya. Menekan rasa tersipunya kuat-kuat, Keyna menerima uluran tangan lelaki itu dan keluar dari mobil dengan hati-hati. Kemudian menggandeng tangan Calvert mesra.
Silau cahaya lampu dari kamera yang terarah kepada mereka membuat Keyna agak kikuk. Dia sudah biasa mendapatkan perhatian dari wartawan saat peluncuran produk Vallencia atau saat memperkenalkan diri sebagai anak ayahnya. Dulu, ayahnya seringkali mengundang wartawan untuk menulis berita yang baik tentangnya maupun perusahaan. Mengikuti jejak beliau, Keyna juga melakukan hal demikian. Bedanya, dia tidak terlalu suka untuk mengekspos kehidupan pribadinya. Namun kini, dia berdiri di depan para karyawan sebuah acara yang bukan miliknya, bersama seorang pria yang dia sendiri tidak tahu pasti sampai kapan akan bertahan berada di sisinya.
Membayangkan suatu saat akan melihat potret dirinya dengan Calvert di tengah situasi mereka yang telah berpisah, pasti akan terasa tidak nyaman. Calvert juga akan merasa demikian, mungkin. Keyna menoleh pada Calvert dan menyadari bahwa pria itu hanya berjalan dengan wajah kaku dan pucat. Kemudian tak berapa lama, dia menghentikan langkahnya tiba-tiba. Tepat di tengah-tengah anak tangga yang tengah mereka naikki untuk tiba di pintu masuk Gedung.
“Cal, kau baik-baik saja?” Keyna bertanya cemas. Menyentuh bahu lelaki tersebut.
Calvert menggeleng. “Aku baik-baik saja. Barusan hanya merasa pusing karena kilatan cahaya kamera,” jawabnya. Keningnya yang sesekali mengkerut memvalidasi jawabannya barusan.
“Sungguh? Apa kau ingin pulang saja?”
“Tidak. Aku baik-baik saja, Keyna.” Calvert meyakinkan. Dia tersenyum kecil pada Keyna. Lantas melanjutkan kembali langkah, sehingga mau tak mau, Keyna juga kembali berjalan.
Memasuki aula tempat acara berlangsung, Keyna membuka mantelnya dan menitipkan benda tersebut pada petugas di tempat penitipan barang.
“Kau tidak akan kedinginan?” Calvert bertanya. Agak keberatan Keyna membuka pelapis pakaiannya. Bukannya apa, tetapi Keyna terlihat terlalu menggoda dengan gaun tersebut. Dia merasa tidak rela sesuatu yang hanya menjadi miliknya dilihat oleh orang lain.
“Tidak. Lagipula, tempat sebagus ini tidak mungkin tidak memiliki penghangat ruangan.”
Calvert mengangguk. Namun diam-diam, tatapan lelaki itu tertuju pada sesuatu yang ada pada diri Keyna. Lelaki itu lagi-lagi mengulum senyum setiap kali melihatnya. Setidaknya, para pria tidak akan berani mendekati Keyna selagi dia berada di sisinya.
“Ada apa?” Keyna melihat Calvert dengan tatapan bingung, sebab ekspresi lelaki itu seperti ingin menertawakan sesuatu yang lucu.
Calvert menggeleng pelan. “Tidak ada,” pungkasnya.
Kemudian berjalan seraya memeluk pinggang ramping Keyna dengan intim dan mesra. Membuat degup jantung Keyna kacau balau dibuatnya. Calvert sedikit terlalu dekat dan Keyna merasa dadanya sesak.
[]