"Siapa?"
Keyna baru saja mandi pagi ini, dan suara bel yang berbunyi nyaring beberapa kali amat mengganggu. Siapa gerangan yang bertamu di pagi-pagi seperti ini? Mengganggu saja!
Calvert yang kebetulan membukakan pintu menghampiri Keyna dengan sesuatu di tangannya. Pria itu mengedikkan bahu sambil menipiskan bibir. "Sepertinya sebuah undangan pernikahan," jawabnya. Menyodorkan kertas dengan perpaduan warna hitam dan emas yang tampak mewah. Di depannya tertulis bahwa surat undangan tersebut ditujukan untuk Keyna Fillmore dari Agatha Collins dan Edward Smith.
Membaca nama yang cukup dia kenal, Keyna tampaknya tidak penasaran lagi dan lebih seperti ... ya sudah, bukan sesuatu yang sangat penting.
"Oh, Agatha temanku sewaktu kuliah," dia berujar ringan. "Sepertinya dia berhasil menikahi kekasihnya. Mereka sudah berkencan dari zaman sekolah menengah, kurasa."
Calvert sedikit membuka mulut membentuk huruf o, takjub dengan hubungan yang bisa berjalan selama itu. "Kau akan datang?" Lelaki itu bertanya.
Keyna menuangkan teh hangat dari teko kaca ke dalam dua mug keramik. Meletakkan keduanya di meja dan duduk di sofa yang berhadapan dengan Calvert.
"Entahlah. Jika tidak ada urusan, mungkin aku akan datang."
"Acaranya akhir pekan. Kau tidak mungkin bekerja di akhir pekan apalagi malam hari, bukan?"
Keyna tidak menjawab. Sebetulnya, dia hanya merasa ragu untuk datang. Selama ini, Keyna jarang menghadiri undangan yang teman-teman lamanya berikan. Keyna bukan tipe orang yang bisa berbaur begitu saja dengan semua orang. Terlebih, teman kuliah atau teman sekolah yang pastinya sudah lama tidak jumpa. Dia akan merasa canggung kembali saat bertemu. Selain itu, sejak dulu pun dia tidak pernah dekat dengan siapa pun. Keyna cenderung senang sendirian. Makan sendiri, belajar sendiri, bermain sendiri. Tidak ada orang yang bisa dia ajak bicara secara pribadi. Hanya dekat sekadarnya.
"Ada suatu hal yang membuatmu tidak ingin menghadiri pesta tersebut?" Calvert melayangkan tanya yang membuat Keyna menarik dirinya dari lamunan panjang perihal masa mudanya. "Apa mungkin, mempelai pria adalah mantan pacarmu?"
Keyna menatap tajam pria itu. "Astaga, tidak! Jangan asal menebak sesuatu, Cal!" decaknya sebal.
Wanita itu merotasikan bola mata. Kemudian meneguk teh hangat di gelasnya untuk menghangatkan badan.
Calvert terkekeh. "Lantas?"
Sejenak, Keyna merenung. Masih memegang gelasnya dengan kedua tangan. Membiarkan panas teh di mug menjalar untuk menghangatkan tangannya. "Aku hanya merasa agak sulit berbaur. Aku malas bertemu dengan teman-teman lamaku dan tidak bisa ikut menimpali saat mereka semua bernostalgia zaman dulu kala."
Calvert menaikkan sebelah alis. "Kenapa?"
Keyna tersenyum kecil. "Aku tidak pernah dekat dengan siapa pun. Jadi, tidak ada kenangan yang bisa aku ceritakan dengan mereka. Tidak ada pula hal yang bisa aku bahas."
"Tidak semua tamu undangan yang datang adalah teman sekolahmu, kan?" jawab Calvert. "Selain itu, kau bebas memilih untuk datang tetapi tidak berbaur dengan siapa pun. Kau cukup berbaur denganku saja."
Keyna melebarkan pupil mata. "Kau akan ikut?"
"Menurutmu?" Calvert mensedekapkan tangan di depan torsonya. Tatapannya memicing. "Apakah terlihat pantas seorang wanita yang sudah menikah pergi ke acara pesta sendirian?"
"Apakah tidak apa-apa?"
"Tentu tidak, Key. Kau tidak perlu merasa cemas," Calvert meyakinkan istrinya. "Jika kau kebingungan harus berbicara dengan siapa, di sana ada aku."
Keyna tersenyum tipis. "Terima kasih, Cal."
Calvert mengangguk kecil menanggapi Keyna. Terjadi keheningan selama beberapa waktu. Keyna yang diam dengan pikiran entah ke mana. Dan Calvert yang diam memperhatikan Keyna. Tatapan matanya benar-benar tidak bisa lepas dari sosok cantik di depan. Mengagumi Mahakarya Tuhan yang sempurna.
"Apakah kita harus membuat resepsi pernikahan juga?" Lelaki itu mengajukan satu pertanyaan yang entah bagaimana tiba-tiba melintas di benak.
"Untuk apa?" Keyna menatap Calvert waspada. "Kau dalam kondisi yang tidak memungkinkan, Cal."
"Hei, aku baik-baik saja. Jauh di atas kata baik-baik saja malah. Apa yang salah denganku?" Lelaki itu tersenyum singkat. "Setidaknya, kita harus mengumumkan pada orang-orang bahwa kita sudah menikah, bukan?"
"Kita bisa mengumumkannya tanpa harus membuat acara resepsi."
Calvert memicingkan mata. "Dengan cara? Kau akan berkeliling dan mengatakan kepada semua orang bahwa kita adalah suami istri?" tanyanya skeptis.
"Tidak." Keyna terdiam gamang. Bingung harus memberikan jawab seperti apa. "Baiklah, di pesta nanti, aku akan mengenalkanmu pada orang-orang yang aku kenal di sana."
"Benarkah? Tapi kenapa kau bersikukuh tidak ingin membuat resepsi?" desak Calvert kembali.
Keyna menghela napas berat. "Membuat acara itu cukup rumit dan melelahkan. Ada banyak waktu, tenaga, dan materi yang harus kita buang."
"Tapi momennya hanya satu kali, Key." Calvert tetap tidak mengerti dengan jalan pikiran Keyna. "Apakah mungkin aku tidak memiliki tabungan yang cukup untuk membuat resepsi pernikahan kita?"
"Tidak." Keyna menyanggah. Dia menyadari bahwa dirinya mungkin menyinggung Calvert. Dia lupa bahwa dia menjadikan pria tersebut sebagai pria sebatang kara dengan ekonomi menengah ke bawah.
"Lalu?" Calvert menenggak teh di gelasnya dengan cepat. "Orang-orang juga sama lelahnya saat membuat acara pernikahan mereka. Tidak mungkin tidak, kan? Tapi mereka tetap melakukannya, karena itu adalah momen sakral yang hanya dilakukan satu kali seumur hidup. Lalu kenapa kau tidak ingin? Pasti ada alasan khusus di baliknya."
Skakmat.
Mengapa pikiran Calvert sangat kritis? Apakah di kehidupan nyatanya lelaki itu adalah seorang politisi? Keyna membatin.
"Ya. Aku punya alasan sendiri, Cal. Untuk sekarang, aku tidak bisa memberitahumu," gumam Keyna akhirnya.
Dia tidak mau Calvert terus-menerus mendesaknya untuk melangsungkan resepsi. Semakin banyak orang yang tahu pernikahannya dengan Calvert, semakin sulit bagi Keyna untuk terbebas dari lelaki itu nantinya.
Sesaat, Calvert tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Pria itu hanya menatap Keyna lurus. Sampai Keyna merasa terintimidasi oleh tatapan pria itu. Dia kelu. Jika dipikir, Calvert memang memiliki kepribadian yang unik. Suatu waktu, pria itu terkadang tampak menakutkan. Bentuk wajahnya yang tegas membuat pria tersebut tampak begitu keras. Dia seperti seorang atasan dingin yang tak segan mengkritik bawahannya dengan kata-kata pedas dan tatapan yang mematikan. Tapi di satu waktu lainnya, wajah tegas tersebut bisa menunjukkan raut hangat. Sorot matanya tampak hidup dan penuh kasih sayang. Lelaki itu, seperti memiliki dua kepribadian yang bertolak belakang.
"Baiklah." Calvert mendesah pasrah. "Maaf, aku terlalu memaksamu. Aku rasa, aku terlalu berlebihan barusan."
Keyna terkesiap. Tidak mengira Calvert akan meminta maaf untuk hal sesepele itu.
"Tidak apa. Aku paham dengan apa yang kau katakan." Keyna mengangguk pelan. Membentuk bibirnya menjadi satu garis tipis. "Suatu saat, kau akan mengetahui alasanku, Cal."
Ketika kita akhirnya tidak lagi bersama, kau akan menyadari alasan demi alasan di balik semua keputusan yang aku buat. Semoga, kau tidak terlalu membenciku. Keyna menatap pria yang saat ini menyandang gelar sebagai suaminya dengan sungguh-sungguh.
[]