Kenangan yang Tidak Pernah Terjadi

1096 Kata
Meski bukan akhir pekan, tetapi Central Park penuh seperti biasanya. Orang-orang berlalu lalang. Entah sendiri, bersama kawan, bersama pasangan, ada juga yang datang bersama keluarga. Apalagi, pemandangan tampak lebih menakjubkan di puncak musim gugur. Dedaunan berubah menjadi warna merah, jingga, dan kuning, sebagai sinyal bahwa mereka sudah bersiap menghadapi musim dingin dan menghentikan memproduksi klorofil. Warna cantik tersebut amat kontras dengan langit biru dan juga bangunan raksasa yang mengelilingi taman besar tersebut. Tentunya, orang-orang tidak ingin melewatkan momen indah itu. Sama seperti yang Keyna dan Calvert lakukan. Berjalan beriringan dengan syahdu. Menikmati setiap udara yang mereka hidu, setiap pemandangan yang sayang untuk terlewat, juga setiap detik yang berlalu. "Kau tidak merasa kedinginan tanpa syal?" Calvert menoleh pada Keyna. Menyaksikan anak-anak rambut wanita tersebut berkibar tertiup angin musim gugur yang dingin. Keyna tersenyum kecil. Meski tidak bisa dia tampik, dia memang kedinginan. Terlihat jelas dari hidungnya yang mulai memerah. Wanita itu mengira udara hari ini tidak akan sedingin ini. Toh, kemarin cuacanya cukup hangat. Dia benar-benar sembrono karena tidak melihat prakiraan cuaca hari ini. Namun apa boleh buat? Mereka sudah terlanjur pergi dan merepotkan jika harus kembali ke apartemen hanya untuk membawa syal. "Aku cukup kebal dengan udara dingin," balas Keyna berbohong. Calvert memicing, lantas menghentikan langkah. Membuat Keyna yang menyadari hal itu juga akhirnya menghentikan langkah dan menoleh ke sisi kanannya. "Ada apa?" dia tanya dengan bingung. Menghela napas, Calvert mengambil satu langkah maju ke hadapan Keyna, sehingga jarak di antara mereka sebatas dua sepatu mereka yang bertemu. Dia lantas menangkup wajah kecil wanita tersebut. "Wajahmu sedingin ini dan kau bilang kau kebal udara dingin?" Calvert menatap serius Keyna. "Kau harus berkaca dan melihat betapa merah hidungmu, Keyna." Keyna menahan napas tatkala embusan napas pria itu terasa menyapu di kulit wajah. Sedikit menggelitik dan terasa hangat. Calvert tiba-tiba melepaskan syal miliknya dan melingkarkan kain tersebut di leher Keyna. Keyna tidak sempat menolak sebab pergerakan Calvert lebih cepat dari laju otaknya yang mendadak stak saat itu. "Pakailah," ucap Calvert, menyela Keyna yang baru saja hendak bicara. Lelaki itu tampaknya tahu bahwa Keyna akan menolak dan merasa keberatan menerima syalnya. "Kita akan mencari toko dan membeli syal baru nanti. Selagi di sini, pakai saja punyaku. Jangan sampai sakit." Jangan sampai sakit. Satu kalimat sederhana yang baru kali ini Keyna dengar lagi dari seseorang, setelah mendiang ibunya yang harus pergi saat dia baru beranjak remaja. Kepala Keyna mendadak kosong. Hanya detak jantungnya yang berdebar cukup keras. Tolong, jangan terlalu baik, Cal. Kau tidak tahu apa yang aku perbuat padamu. Jangan membuatku merasa semakin bersalah. Wanita itu membatin sedih. Bagaimana jika akhirnya dia benar-benar jatuh hati pada Calvert dan tidak bisa lepas darinya? Bagaimana jika akhirnya dia ingin terus bergantung padanya, sementara Calvert tidak bisa tinggal selamanya? Bagaimana jika ... suatu saat Calvert membenci dirinya dan dia kadung menaruh hati pada lelaki itu? Apa yang harus dia lakukan? Keduanya memutuskan duduk di sebuah area dengan rerumputan yang dipangkas rapi. Melihat berbagai kegiatan para pengunjung taman yang beraneka ragam. "Mereka bahagia sekali," komentar Calvert seraya melihat seorang ibu dengan dua putranya bersepeda bersama. Sesekali mereka tertawa di sela kegiatannya. Sesekali pula bersenandung saling bersahut-sahutan. "Kita harus kembali ke sini setelah anak kita tumbuh setinggi anak itu!" lanjut Calvert, menunjuk pada bocah paling kecil yang berusia sekitar lima atau enam tahun. Keyna tersedak salivanya sendiri. Tiba-tiba saja terpikirkan olehnya satu hal, bahwa dia terlanjur 'melakukannya' dengan Calvert, sementara dia belum menerapkan kontrasepsi apa pun. Bagaimana jika pada akhirnya dia benar-benar hamil? Keyna seketika merasa cemas. Namun begitu menoleh dan mendapati seraut wajah bahagia nan penuh harap Calvert saat melihat keluarga kecil tersebut, batinnya merasa tercubit. Keyna mengikuti arah pandang lelaki itu. Setelah beberapa saat, rasa hangat menjalar di hati. Cukup lama, Keyna memandangi mereka sampai mereka tidak bisa lagi dia lihat sebab sudah berbelok dan melaju sangat jauh. "Aku yakin kau akan menjadi ibu yang baik." Ucapan Calvert berhasil memalingkan perhatian Keyna dari arah kepergian keluarga kecil tadi. "Caramu melihat keluarga tersebut dan anak-anaknya ... aku tahu kau akan menjadi ibu yang luar biasa." Lelaki itu tersenyum dengan matanya. Terlihat amat lembut dan hangat. "Apa yang kau katakan?" Keyna tersenyum canggung. Menghela napas panjang. Tertekan dengan pujian tersebut. Bagaimana bisa dia menjadi ibu sementara dirinya saja tidak berniat untuk memiliki anak dengan Calvert? "Matamu mengatakan semuanya, Key. Kau menginginkan hal itu dan akan melakukan yang terbaik. Binar di matamu tidak bisa berbohong." Keyna terdiam. Tidak. Dia tidak mungkin menjadi seorang ibu. Tidak dalam keadaan ini. Calvert hanyalah suami sementaranya. Ketika semua tujuannya terwujud, atau ketika ingatan Calvert kembali, kehidupan pernikahan mereka saat ini tidak akan ada apa-apanya. Keyna tersenyum kecut. "Jangan sok pintar membaca mata seseorang!" cibir Keyna. Calvert tertawa pelan. "Aku bersungguh-sungguh. Aku memang bisa membaca pikiran." "Hentikan itu. Kau membuatku geli!" Keyna menggelengkan kepala sambil tersenyum. Suasana kembali tenang. Baik Calvert mau pun Keyna sama-sama terdiam. Menikmati angin yang berembus beserta riuh suara orang-orang dengan berbagai kegiatan dan percakapan masing-masing. "Cal." Keyna memecah keheningan. "Kau tahu kenapa aku membawamu kemari?" Keduanya saling menoleh dan berpandangan. Keyna lantas tersenyum. Sedikit. "Ada sebuah cerita yang ingin aku sampaikan," dia menjawab langsung pertanyaannya sendiri. Terjadi jeda selama beberapa sekon sebelum Keyna melanjutkan. Calvert sendiri dengan sabar menunggu cerita yang ingin Keyna sampaikan. Tanpa tahu bahwa cerita itu hanya karangan yang wanita tersebut buat. “Waktu itu, hariku sangat buruk.” Keyna memulai cerita. Lebih tepatnya, kebohongan mengenai pertemuan mereka. “Aku pergi ke sini untuk menenangkan diri. Hanya berjalan-jalan dengan sepeda. Melihat-lihat pemandangan seraya mengamati orang-orang yang datang dari berbagai latar belakang berbeda.” Wanita itu menoleh sesaat. Memastikan Calvert mendengarkan ceritanya dengan saksama. Dan lelaki itu memang benar melakukannya. Jika boleh jujur, sejauh ini, Calvert memang pendengar yang baik. Setiap berbicara dengannya, Keyna merasa amat didengarkan, amat dianggap, dan amat dihargai. Maka jangan salahkan dirinya yang lambat laun mulai goyah. Sebagai seseorang yang selalu merasa terabai, jelas kehadiran pria tersebut memberikan kesan yang cukup berarti. Keyna tidak bisa menampik hal itu. "Sayangnya, karena kecerobohanku, sepedaku oleng dan hampir terjatuh." Keyna terkekeh kecil seolah-olah membayangkan kejadian tersebut terjadi. "Hendak menyelamatkan diri, tapi aku malah mencelakai orang lain." "Biar aku tebak!" Calvert menanggapi dengan antusias. "Kau malah menabrakku? Seperti di adegan serial drama?" Keyna menggeleng cepat. "Tidak. Aku menabrak seorang nenek sampai dia terjungkal." Calvert mengerutkan kening. "Lalu? Aku hadir di bagian mana?" "Kau tiba-tiba datang dan memarahiku karena menyebabkan kecelakaan kecil itu. Kau mengancam agar aku membawa nenek itu ke klinik terdekat. Padahal, nenek itu hanya mengalami lecet ringan." Keyna terkekeh kecil. Calvert juga. Kenangan yang tidak pernah terjadi itu entah bagaimana menjadi agak menghibur. Bahkan bisa mencairkan suasana di antara keduanya. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN