Han menumpuk buku-buku tebal dari rak buku di kamar Samantha. Sesekali dia menoleh pada sahabatnya itu yang sedang menurunkan piagam dan juga medali prestasi yang selama ini tergantung di dinding. Dirinya seakan menutup jalan karir gemilangnya di dunia basket dan mulai fokus pada dunia bisnis.
“Tiket pesawatnya udah dipesan, Han?” tanya Samantha tanpa menoleh pada Han.
“Udah. Sekitar tiga jam lagi.”
Tak ada kata lagi yang terurai. Semua barang-barang lama yang menyiratkan jati diri Samantha akan diasingkan dan dibuang untuk renovasi kamar yang baru. Dia akan tinggal di Inggris dan menjadi Samantha seperti yang diinginkan sang ayah.
“Lo beneran mau biarin Rose salah paham terus sama lo?”
Samantha terdiam. Duduk sebentar di tepi kasur, Samantha menunduk sambil memegang agenda cokelat miliknya itu.
“Ya. Biarkan semuanya berjalan sesuai takdir. Kalau suatu saat gue punya sambungan takdir sama dia, berarti jodoh gue dan Rose belum selesai,” lirihnya.
“Alexander itu cowok yang baik, Sam. Gue yakin Rose suatu saat akan jatuh cinta sama suaminya itu. Dan lo, untuk apa semua pengorbanan ini, hah? Lo nggak mau berjuang sekali lagi?”
Han mendekati kasur, duduk di samping Samantha dan menatap serius sahabatnya itu. “Pergilah ke Inggris! Lalu kembali ke sini dan jadi Samantha yang nggak akan direndahkan siapa pun lagi. Selama itu, biarkan Rose tau lo berjuang sejauh ini buat dia. Dia pasti akan nunggu lo.”
Samantha hanya mengurai senyum tipis, berbalik sebentar dan memasukkan buku agenda itu ke dalam ranselnya. “Seperti yang lo bilang, Alex itu cowok baik dan mungkin Rose akan jatuh cinta sama dia. Kalau seandainya gue minta Rose nunggu gue dan sepanjang itu dia nanti jatuh cinta sama Alex, dia akan berpikir udah khianati gue, Han. Dia pasti sedih. Biarkan semuanya mengalir. Suatu saat isi hati gue akan diketahui Rose dan Alex. Sekarang gue berjuang buat diri gue dan mama gue. Bukan buat siapa pun.”
Han segera bangkit ketika Rose muncul dengan mata marah. Dia ingin meminta penjelasan dari Samantha. Han pun pergi untuk membiarkan keduanya bicara serius. Samantha beranjak, menanti kemarahan Rose yang siap dia terima.
Samantha menunduk saat Rose menamparnya keras. Wanita itu menangis lirih.
“Kenapa kamu ngelakuin ini, Sam? Kenapa? Apa Alex lebih penting daripada aku? Kenapa kamu berbohong dan ngorbanin cinta kita?”
Samantha bungkam. Dia membuka laci meja di sudut, lalu melemparkan tumpukan foto kenangan bersama Rose. Wanita itu tertegun, menatap kemarahan di binar mata Samantha.
“Cukup! Gue juga udah nggak mau main-main lagi. Udah cukup, ya, hubungan kita. Nggak ada yang mesti dibahas lagi. Toh lo juga udah nikah sama dia. Memangnya apa lagi yang lo harapkan dari gue?”
Rose memperpendek jaraknya dengan Samantha, ingin menyelidiki lebih jelas isi hati pria itu lewat tatapan matanya.
“Ya, gue sayang sama lo, Rose. Tapi perasaan gue nggak sedalam yang lo kira. Paling juga ntar gue kuliah di Inggris, gue bakal nemu cewek lagi. Take it easy! Lo juga udah bekasnya Alex, kan?”
Sekali lagi tamparan keras mendarat di pipi Samantha yang memerah. Hancur. Rose kecewa karena Samantha tak bisa lagi dia harapkan. Dikurangi jaraknya dengan pria itu, menggantungkan lengan di bahunya hanya untuk mencuri ciuman mesra. Detik berlalu, Rose menangis di sela kecupannya. Sambutan Samantha sangat dingin, tak ada balasan atau rengkuh erat yang menariknya. Pria itu enggan peduli.
‘Sam.’
Samantha mendorong Rose agar wanita itu menjauh. Diusapnya bibirnya yang basah, lalu mengurai tawa sinis.
“Itu ciuman terakhir kita. Setelah ini, tolong tetap pada batasan lo, Kakak Ipar!”
Samantha berbalik memunggungi Rose, menahan rasa sakit akan semua penghinaan dan kata-k********r yang dia ucapkan pada Rose. Wanita itu lelah, menyerah. Sebelum beranjak, dia teringat satu hal penting miliknya. Isi hati Samantha yang tertuang pada agenda cokelat.
“Kembalikan agenda itu ke gue!” sinis Rose.
Samantha tertegun. Dia tak bisa memberikan buku itu pada Rose. Di sana tertuang semua perasaannya dan juga kesungguhan cinta yang berasal dari hatinya. Jika Rose membacanya, maka wanita itu akan mengetahui bahwa yang dikatakan Samantha kemarin di ruang rawat Alexander adalah bohong. Perasaannya nyata dan bukan sebagai persinggahan sisi playboy-nya.
“Agenda? Buku itu?” tanya Samantha, berbalik dan menatap Rose. “Sorry. Kelupaan di Inggris, deh, kayaknya pas gue buru-buru balik ke sini. Lagian nggak pernah gue tulis juga. Gue sibuk main di sana.”
Rose tak berkata lagi, lalu pergi dan membanting kasar pintu kamar. Dia menyerah akan hati dan hubungan rumitnya bersama Samantha.
Sementara itu, Han berdiri tepat di depan Narendra Atmadja saat mendatangi pria itu di ruang kerjanya. Tatapan serius keduanya tertaut.
“Kamu mau ke Inggris juga?” geram Narendra.
“Ya, aku harus kuliah di sana juga untuk menemani Sam. Siapkan semua kebutuhan kami di sana, dan jangan sampai kekurangan apa pun,” kata Han, dingin.
“Apa maksudmu? Kamu baru dua bulan ini menjabat jadi sekretarisnya Alex. Untuk apa jauh-jauh kuliah lagi? Kamu sudah kompeten di bidang itu.”
“Anda mengusir Sam pergi. Dia nggak punya siapa pun di sana. Apa aku nggak bisa jaga dia sebagai kakak untuk menggantikan Alexander?”
Narendra terdiam. Dia belum bisa mengambil keputusan karena merasa berat melepas Han pergi. Anak dari pelayannya itu cukup cerdas untuk disandingkan dengan Alexander di perusahaan.
“Kalau kamu khawatir tentang dia di Inggris, saya akan minta Rizky untuk menjaga dan memantau Sam di sana,” ungkap Narendra, lagi.
Han tersenyum sinis. Dia duduk di sofa, menyandarkan punggungnya sebab lelah. “Anda salah paham, Pak. Soal aku yang ingin kuliah juga di Inggris itu bukanlah permintaan, tapi perintah. Perintah yang harus Bapak turuti.”
Narendra marah karena keangkuhan Han. Dia beranjak untuk mendekati pria itu.
“Sialan, kamu! Cuma anak pembantu saja, kamu berani memerintahku?!”
“Jangan lupa, Pak! Alexander lebih mempercayai Sam daripada Bapak. Kalau seandainya saya buka mulut tentang pengkhianatan Bapak pada Sam, dia nggak akan berpikir dua kali untuk menghancurkan rumah tangganya sendiri. Sejak kematian Bu Sarmila, Alex menganggap Samantha lebih berarti dari siapa pun.”
Narendra tak bisa membantah. Dia pun mengizinkan Han untuk menemani Samantha yang akan menempuh kuliah master di sana. Hari itu, Samantha menemui Alexander dan meminta izin pada sang kakak. Raut Alexander terlihat dingin, enggan menyambut senyum Samantha.
“Mungkin lo marah karena gue udah nyakitin Rose. Tapi, inilah takdirnya. Lo ditakdirkan untuk gantiin gue bikin dia bahagia. Lo menebus kesalahan gue dengan mencintai dia. Ya, Rose sekarang masih mencintai gue, tapi nggak ada yang tau masa depan, kan? Lo pasti bisa bahagiain dia.”
Alexander bungkam. Hari ini dia sudah diperbolehkan pulang untuk istirahat lanjutan di rumah. Pelukan hangat diberikan Samantha pada Alexander. Bersandar sebentar di bahu kokoh Alexander, menyembunyikan pedihnya.
“Kalau bukan gue, seenggaknya lo yang akan gantiin gue untuk bahagiain mama, Lex. Please, ya! Lo harus bahagia sama Rose. Dengan gitu, rasa bersalah gue ke Rose akan sedikit hilang,” bisik Samantha.
Adiknya itu melepaskan pelukan, lalu terburu pergi karena tak ingin Alexander melihat air matanya. Alexander menatap Han yang masih berada di sana, meminta Han untuk lebih mendekat.
“Tolong jaga Sam, ya! Gue khawatir dia nggak bisa lama-lama di Inggris. Nanti gue telepon dokter di Inggris supaya bisa kendalikan kondisi kesehatan dia selama di sana. Gue takut dia hipotermia dan sakit,” kata Alexander, lirih.
Han terkejut. Tak menyangka bahwa selain dia, ternyata Alexander juga mengetahui bahwa Samantha sangat sulit beradaptasi dengan suhu dingin yang akan membuatnya drop.
“Lo tau?” tanya Han, tak percaya.
“Ya. Gue kakaknya. Mana mungkin gue nggak tau hal itu,” jawab Alexander.
Han tersenyum sinis, lalu berkata, “Tapi kenapa lo nggak bisa ngeliat matanya saat dia berbohong? Kenapa lo nggak bisa ngeliat kesedihan itu, Lex?”
Alexander bungkam, membiarkan Han pergi dengan pertanyaan yang takkan pernah bisa dijawab karena pria itu memilih bungkam. Samantha pergi meninggalkan cinta demi persaudaraan dan juga untuk membuktikan pada sang ayah bahwa dia tak serendah yang beliau pikirkan. Dia bukanlah sampah yang tak berarti sama sekali. Samantha ingin hidup sekali lagi, untuk dirinya.
*
Seminggu berlalu sejak hari itu, Alexander sudah mulai stabil dan istirahat banyak di rumah. Akan tetapi, hari-harinya dilalui dengan mendengar isak tangis Rose di dalam kamar. Wanita itu memang melayani dan mengabdikan diri pada sang suami. Namun, saat dia menyendiri, Alex akan melihat dia menangis dan matanya mulai sembab.
“Mas mau makan apa untuk malam ini?” tanya Rose sambil mengutip pakaian kotor di dekat lemari. “Si bibi masakin sup. Mau makan di bawah atau aku ambil ke sini, Mas?”
Tak pernah sekali pun Rose bicara sambil menatap matanya. Alexander menyadari wanita itu belum sepenuhnya melupakan cintanya pada Samantha.
“Weekend ini kamu senggang?” tanya Alexander.
Rose meletakkan tumpukan kain itu ke keranjang, lalu mendekati kasur Alexander. “Kenapa, Mas?”
“Aku mau ngajak kamu main di Puncak. Kamu-”
“Boleh. Aku ambil makan malam Mas dulu, ya!”
“Ya!”
Rose pergi meninggalkan kamar Alexander. Pria itu tersenyum, menatap cincin di jari manisnya dan membayangkan hari-hari bahagianya nanti saat Rose telah menerima hatinya sepenuhnya.
‘Aku akan bahagiakan kamu, Rose. Maaf untuk kesalahan Sam. Aku yang akan gantiin dia untuk jaga kamu.’
Rose yang terpuruk setelah pengkhianatan Samantha, akhirnya mulai membuka jalan bagi cinta tulus Alexander dan menerima masuk. Pria sebaik Alexander mungkin akan dengan mudah menyembuhkan luka di hati wanita itu. Luka yang tercipta sebab Samantha tak berdaya ketika dihadapkan pada pilihan sulit. Jika nanti dia kembali dan menemukan Rose bukan miliknya lagi, maka dia hanya akan hidup untuk kenangan lalu yang tersisa.
*
Rose mulai mengembangkan senyum tipis. Satu jam lalu, mereka tiba di Puncak dan Alexander membawa Rose untuk pergi ke kawah putih. Begitu cantik dan hangat. Rose tersenyum karena kehangatan itu memeluknya dari hawa dingin.
“Padahal aku tinggal di Bandung, tapi selalu nggak sempat main di sini, Mas,” kata Rose.
Alexander tersenyum, lantas melepaskan syal dari lehernya untuk dia berikan pada sang istri. “Pakai ini. Dingin banget, kan?”
Rose tertawa kecil. Dia menolak menerima syal itu, lalu melilitkan syal merah itu kembali ke leher sang suami. “Aku udah biasa, Mas. Mas Alex yang pasti kedinginan gitu. Oh iya, aku mau lebih dekat lagi, ya!”
“Jangan jauh-jauh, Rose! Nggak bagus juga dihirup bau belerangnya kalau terlalu dekat gitu.”
“Sebentar aja.”
“Tapi-”
Suara dering ponsel terdengar. Alexander sedikit menjauh dan keluar dari kawasan kawah putih agar bisa mengangkat panggilan dengan sinyal lebih baik lagi. Sementara itu, Rose lebih mendekat pada kawah putih. Seminggu ini dia berusaha tersenyum di depan Alexander, menahan rasa sakit karena Samantha yang meninggalkannya. Dia harus terjebak dalam pernikahan paksa di mana dia tak pernah mencintai Alexander.
‘Kapan kamu kembali, Sam? Apa yang kamu inginkan sebenarnya? Apa kamu akan ngelupain aku dan di sini ... aku cuma akan sakit seorang diri?’
Rose menekuk lututnya, bersandar pada sisi kayu untuk bisa menikmati kawah yang mengeluarkan asap hangat untuk melingkupi dirinya. Pelan-pelan air matanya bergulir, lalu mengusap segera untuk menghalau tangisnya.
‘Seandainya kita nggak pernah ditakdirkan bertemu, Sam, aku pasti nggak akan sakit seperti sekarang ini. Harusnya aku nggak terlalu percaya diri. Benar, aku cuma salah satu selingan kamu. Kenapa aku tertipu?’
Jauh di sana, Alexander sedang berbicara dengan Han. Panggilan dari luar negeri. Han selalu memberi kabar terkait kesehatan Samantha yang terus dipantau Han atas perintah Alexander.
“Jangan turuti dia, Han! Aku yang lebih keras kepala di sini. Kalau sampai dia nggak bisa menanggung itu lagi, seret dia pulang!” perintah Alexander.
Klek! Alexander marah setelah bicara dengan Han terkait sifat keras kepala Samantha yang enggan kembali meski Alexander mendengar adiknya itu seminggu ini mulai sakit karena upaya adaptasi terhadap suhu tubuh dan lingkungannya.
Lima belas menit dia bicara, akhirnya menyadari bahwa sang istri masuk ke dalam kawasan kawah putih. Alexander berlari, lalu mendapati istrinya itu bersandar dengan mata terpejam.
“Rose!”
Samar-samar Rose membuka mata, napasnya terasa berat karena terlalu lama berada di sana. “Aku udah bilang tadi jangan terlalu dekat! Bandel banget, sih!”
“Mas Alex?”
Alexander tertegun saat Rose memeluk bahunya erat, menangis sesenggukan. Mungkin sejak tadi dia merenung dan tenggelam kembali pada kesedihan yang ditinggalkan Samantha. Rose menjerit keras, meluapkan emosi dan sakit hatinya.
“Rose.”
“Maaf, Mas. Maaf.”
Entah apa maksud untaian kata maafnya, Alexander ikut meneteskan air mata untuk kesedihan Rose. Dia menggendong wanita itu, langkahnya sigap seiring rintik yang terus turun mengguyur suasana puncak yang dingin. Rose yang sangat rapuh, ingin direngkuhnya erat. Tak lama, mereka tiba di penginapan terdekat. Mereka sudah basah kuyup. Rose berbaring di kasur karena lemas setelah menghirup asap belerang.
“Di sini sebentar, mas ambilkan teh dulu.”
Alexander pergi untuk mengambil teh demi menghangatkan tubuh sang istri. Rose menatap kaca jendela yang berembun, menikmati detik-detik dia berusaha melepaskan Samantha dari pikirannya.
‘Ini mau kamu, kan, Sam?’
Tak lama, Alexander kembali dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat. Baru saja masuk, Alexander terkejut menatap Rose yang setengah telanjang di atas kasur. Dia membuka dress basahnya tadi, hanya tertinggal celana pendek dan bra-nya saja.
“Maaf.”
Rose menatapnya intens. Alexander menghindari kontak mata dengannya, lalu meletakkan pelan-pelan nampan berisi cangkir teh itu ke atas meja.
“Aku cari makan dulu, ya. Nanti kalau−“
Tak ingin teh itu, ciuman Alexander sudah cukup untuk menghangatkannya. Dia menarik suaminya itu untuk jatuh ke kasur, lalu pelan-pelan mencium Alexander dengan tangan yang mulai masuk di balik kemeja sang suami.
Alexander gugup, jantungnya berdegup cepat. Apakah ini saatnya mereka bersentuhan? Kecupan berhasrat Rose yang tak bisa dibendungnya, akhirnya meluluhkan Alexander untuk ikut tenggelam dalam sensasi cinta. Rose melepas kemeja suaminya itu, melemparnya ke lantai hanya untuk melanjutkan fantasi kecupan hangat yang bergelora. Mungkin karena mereka berdarah yang sama, Rose merasa seperti mencium Samantha saat ini. Hanya saja, kecupan Alexander jauh lebih lembut dibanding Samantha. Ini hal pertama bagi pria itu, gerakannya begitu lambat dan tak tergesa-gesa. Bahkan dia takut setiap kali beranjak turun untuk menyentuh istrinya itu. Begitu candu saat menciuminya.
Rose hanya memejamkan mata. Sesekali hela napas dan cengkraman erat wanita itu di punggung Alexander mengisi suasana beriring hujan saat ini.
“Mas Alex.”
Alexander memberikan benih cintanya pada Rose melalui senggama mereka. Hela napas berat menjadi irama tersendiri menemani dinginnya sore itu.
Detak jantung yang memburu itu sangat berbeda dengan keadaan Samantha yang berada di Inggris sana.
Samantha menunduk, berhenti menulis agenda saat tangannya tak sanggup memegang pena. Seharian ini Han membujuknya untuk ke rumah sakit agar ditangani. Samantha bersikeras, meyakinkan diri bahwa dia bisa melalui ini semua. Sempat ada bait kalimat yang tersemat di lembaran agenda.
[Dear, Rose. Kamu sehat, kan? Jangan lupa bahagia, ya! Mungkin setelah ini, aku akan sering nulis agenda ini. Karena cuma dengan cara ini aku bisa tetap jadi Samantha-mu. Sayang, aku bisa bertahan, kok. Saat aku kembali nanti, aku ingin melihat Rose yang selalu tersenyum dan bahagia. Janji?]
Samantha menunduk, menyumbat kembali hidungnya saat cairan merah itu kembali menetes pada agenda. Tiap lembarnya selalu dinodai bercak merah itu. Di depan pintu, Han menangis lirih. Dia yang tak bisa berbuat apa-apa karena sahabatnya terlalu keras kepala.
‘Tolong berhenti, Sam.’