Bab 11. Belajar Mencintai

1631 Kata
Han berjalan mendekati Samantha, lalu menarik tangan sahabatnya itu untuk segera menjauh dari meja belajar. "Han?" "Lo ini ngapain, sih, sebenarnya? Udah nggak ada lagi yang Lo perjuangkan! Jadi Lo nggak perlu mello terus-terusan gini! Lo bilang mau banggain mama Lo, kan?" Samantha menatap sinar beku di mata Han. Temannya itu menumpuk buku-bukunya, lalu menjauhkan sebentar dari atas meja. Dia susun lagi ke rak, menyiratkan tatapan heran di mata Samantha. "Hal pertama yang harus lo perbaiki itu mental dan kesehatan lo! Lo pikir bisa, bertahan dua tahun di sini dengan kondisi lo itu? Nggak! Kita harus ke dokter untuk sembuhkan lo, supaya lo bisa beradaptasi di sini. Ngerti?!" Samantha mengangguk. Dia menuruti Han agar bisa bertahan jauh lebih lama dari Rose. Dia hanya ingin menjadi Samantha yang baru yang jika dia kembali nanti, dia bisa mengangkat kepalanya dan tak direndahkan lagi. * Suara merdu kukuk ayam jantan terdengar setelah fajar menyingsing. Semalaman begitu dingin, membalut tubuh hingga lebih memilih tenggelam dalam kehangatan. Bermesraan semalam, Alexander terbangun dan mendapati istrinya itu berada dalam pelukannya. Diingatnya lagi kejadian semalam, pelan-pelan menerbitkan senyum tipis dan semburat merah di wajahnya. Tak hanya di atas kertas, kini mereka telah menyatu dan sudah menjadi suami istri yang sebenarnya. 'Makasih, Rose,' batin Alexander. Pria itu bermain sebentar di helai rambut kecokelatan wanita itu. Begitu kasmaran. Sesekali dia mendekat untuk mencium puncak kepala sang istri. 'Aku tau kamu memaksakan diri. But, it's oke. Kalau nggak dimulai, kita nggak akan tau gimana takdir kita. Pelan-pelan tinggalkan Samantha dan mulai cintai aku, Rose.' Alexander menyerahkan cinta pertamanya pada wanita ini. Sesaat, ketika Rose bergerak, dia berpura-pura tidur karena pasti merasa canggung jika bicara setelah apa yang mereka lakukan kemarin. Rose membuka mata, lalu mendongak dan menatap wajah tampan suaminya itu. 'Mulai hari ini dan seterusnya, aku akan jadi Rose-nya kamu, Mas.' Rose mulai menguntai senyum. Masih ingat dengan sentuhan tadi malam. Masih ada debaran yang tersisa mengingat perlakuan manis sang suami. Dia percaya Alexander akan dengan mudah membuatnya lupa akan rasa sakit ditinggal Samantha. "Mau sampai kapan Mas pura-pura tidur?" Ditegur semanja itu, Alexander mengintip dengan satu kelopak mata yang terbuka. Wanita itu cemberut, lalu mencubit d**a bidang Alexander hingga pria itu menggeliat dan sedikit malu. "Rose!" ujarnya, setelah membuka mata. Rose lebih mendekat, menjejakkan ciuman manis di bibir Alexander sambil mengusap pipinya. Pria itu masih bungkam, tak percaya. "Kenapa? Nggak suka aku cium? Yang kemarin itu aku nggak khilaf, kok. Aku beneran udah siap tidur sama Mas," oceh Rose. Wanita itu beranjak duduk bersandar di sandaran kasur. Alexander pun menuruti, masih memperhatikan Rose menarik selimut tebal itu untuk menutupi sampai ke lehernya. "Liat apa?" tegur Rose. "Ah?" Alexander tersadar, lalu menunduk sambil menutup sebelah wajahnya. Wanita itu pun tersenyum, berniat menggoda nakal Alexander lagi. "Nggak perlu ditutupin juga, sih, udah keliatan juga semalam." Alexander panik, segera menarik dan membungkus badan mungil Rose saat wanita tadi iseng sekali menurunkan selimut hingga membuat mata Alexander sempat jelalatan dengan jantung berdegup kencang untuk menikmati d**a sang istri. "Ditutup aja. Takutnya-" "Takutnya Mas minta nambah?" kekeh Rose. Tawa wanita ini sangat disukai Alexander. Akan tetapi, dia menyadari Rose menyimpan kepedihan dan berusaha menutupi rasa malu dan amarah. Alexander segera menarik badan Rose untuk bersandar di pelukannya. "Jangan maksain diri, Sayang! Nggak apa-apa kalau kamu masih cinta sama Sam, aku tunggu kamu, kok. Jangan dipaksain, nanti hati kamu sakit!" bisik Alexander, lembut. Rose terhenyuh, seolah memiliki tempat perlindungan. Pagi hari diisi dengan Isak tangis kecil Rose yang menyembunyikan kesedihan di pelukan Alexander. "Maafin aku, Mas. Pelan-pelan aku akan belajar cinta sama Mas. Sepanjang itu, tolong jangan tinggalin aku. Tolong lebih bersabar lagi," lirih Rose. "Iya, Sayang. Mas tunggu, kok." Rose mengangkat kepalanya, menyentuhnya sisi rahang Alexander untuk bisa menjangkau kecupan lagi di bibir sang suami. Menikmati pagi dengan sambutan cinta. * "Ada liat Sam, nggak?" Han kebingungan mencari Samantha yang tak dia temukan di setiap sudut rumah Rizky. Pria bernama Rizky itu hanya menggeleng, lalu ikut mencari keberadaan Samantha. Bangun tidur tadi, Han tak mendapati Samantha di kamarnya. Tak ada sepucuk surat yang ditinggalkan. Terakhir kali tadi malam mereka bicara bahwa Han sudah membuat janji temu dengan dokter yang diperintahkan Alexander untuk menjaga Samantha. "Apa dia ke rumah sakit duluan, ya?" tanya Han pada Rizky. "Coba telepon aja dulu rumah sakitnya. Kali aja dia emang duluan ada di sana." "Gila ini, sih! Gue pake acara ketiduran segala. Dia jadi pergi duluan." Han mendekati dinding dan mengangkat gagang telepon. Ditekannya tombol nomor rumah sakit yang tertera pada kertas di sisi telepon. Seorang perawat menyambut panggilannya, lalu Han bertanya keberadaan dr. Richard yang ditugaskan untuk memantau Samantha selama di Inggris. "Oh, oke. Thank you. I'll be there soon." Setelah menutup telepon, Han pergi tergesa-gesa dengan menarik jaket tebal dan syal merah. Di luar sangat dingin, menusuk tulang. Han bergegas lari dan mencari taksi untuk menuju ke Mariana Hospital. Sudah tiga jam berlalu sejak jadwal yang dijanjikan. Berulang kali Han menepuk dahinya, melirik jam tangan karena pastinya, dokter itu akan kecewa karena Han tak melakukan tugasnya sesuai perintah Alexander. "Telat tiga jam, nih. Apa dia masih check up, ya?" Setelah berlari tergesa-gesa, akhirnya Han tiba di tikungan lorong lantai tiga. Dari ruangan sudut, Samantha keluar dengan wajah tertunduk lesu. Mungkin dia telah melakukan pemeriksaan. Khawatir, Han segera berlari ke arahnya. Menyadari kedatangan Han, Samantha mulai mengurai senyum tipis. Keduanya berhadapan dan Han siap menanyakan alasan Samantha pergi tanpa izin darinya. "Harusnya lo bangunin gue, kan? Lo jadi periksa sendiri. Ayo gue temenin masuk!" Samantha menahan lengan Han, kembali tersenyum dan duduk di kursi panjang itu. "Mau diperiksa apa lagi? Kan, tadi gue udah check up. Gue udah dikasih obat buat jaga-jaga," kata Samantha. "Ada yang serius?" tanya Han. Samantha menggeleng santai. "Nggak ada. Katanya yang kayak gitu emang biasa. Cuma beberapa pembuluh darah hidung yang pecah dan nggak bisa tahan di kelembaban tinggi begini. Juga ada sedikit radang di sinus. Beberapa kali pengobatan juga beres, kok." Senyum Samantha memudarkan kecemasan Han. Mereka berjalan santai di lorong sambil bercengkrama tipis. Senyum Samantha itu, apakah nyata? Sejak tadi Han hanya memperhatikan Samantha yang terus menutupi bias sedihnya. "Semua keperluan kuliah gue di sini, udah kelar, kan? Masih ada waktu nyantai berapa hari?" tanya Samantha. "Perkuliahan dimulai bulan depan. Masih ada dua mingguan lah, bua lo terbiasa dulu sama iklim di sini." "Ya, Lo benar, Han. Gue harus mulai menata hati. Kalau Rose memang jodoh gue, dia pasti bakal balik sama gue. Kalau nggak, ya gue harus tetap hidup, kan?" Han tersenyum menatap binar optimis sahabatnya itu. Seolah Samantha kembali, mereka menikmati suasana kota London dengan berkeliling. Sesekali Han memperhatikan Samantha, lalu merapatkan jaket sahabatnya itu agar terhindar dari rasa dingin. "Jangan care banget gitu, Han! Takutnya karena patah hati, gue jadi belok ke elo," canda Samantha. "Dih. Jijik." Gelak tawa dan keceriaan Han mengisi tiap detik waktu bagi Samantha. Hanya menatap sahabatnya itu sambil mengurai senyum tipis, Samantha berjalan di sampingnya dengan senyum tegar. "Makasih, Han." Han terdiam, lantas terkejut saat Samantha terhenti untuk memberi pelukan erat. Kenapa hatinya sesedih ini? Samantha semakin mengeratkan pelukannya, seakan ingin menciptakan waktu lebih lama untuk berpisah. * Puncak menjadi kenangan terindah bagi Alexander karena telah mendapatkan izin menyentuh Rose. Kini mereka sepakat untuk memulai hari. Seminggu dihabiskan berlibur di sana, Alexander mengajak Rose kembali ke rumah. Narendra sangat bahagia melihat Rose dan Alexander mulai akrab dan mesra. "Besok mau masuk kantor, Lex? Panjangin aja lagi bulan madunya," goda pria tua bernama Narendra itu. "Kasih papa cucu yang ganteng." Alexander mengalihkan wajahnya malu, lalu mendekati sang papa yang sibuk di ruang tengah sambil menghadapi beberapa tumpukan berkas. "Nyuruh aku bulan madu, ini aja Papa ngerjain urusan kantor sendirian doang. Mana Han juga nggak ada. Mana tega aku, Pa." Keduanya masih bicara santai, sesekali diselingi agenda pekerjaan. Sementara itu, Rose terhenti sebentar di depan kamar Samantha. Menatap lirih pintu tertutup itu, sang kekasih telah pergi jauh meninggalkannya. Tak membiarkan menunggu, justru menimbulkan luka teramat sangat. 'Saat kamu kembali nanti, kupastikan aku udah jadi milik Alex, Sam. Jangan pernah menyesali semua itu!' batinnya. Setelah itu, Rose menaiki tangga dan masuk ke kamarnya. Di ruang tengah, raut Alexander berubah serius. Ditahannya berkas yang hendak dibuka lembarannya oleh sang papa. "Sampai kapan Sam di sana, Pa? Apa dia nggak bisa kuliah di sini aja? Aku khawatir sama dia," bujuk Alex. "Lex. Kamu ini terlalu manjain dia. Biar aja dia jauh di sana, belajar. Nanti dia balik, seenggaknya papa bisa bangga ngenalin dia ke rekan kerja papa. Dia juga bisa bantu kamu di perusahaan nantinya." "Tapi-" "Atau kamu mau, Rose direbut sama Sam?" Pertanyaan serius sang ayah hanya ditanggapi hening oleh Alexander. Dia mulai menikmati cinta yang diberikan Rose. Jika Samantha kembali, maka kemungkinan Rose akan jatuh cinta dan akan terbuka jalan bagi mereka untuk bersama. "Tapi kasian Sam di sana, Pa. Nanti makannya, kesehatannya, siapa yang merhatiin? Tau, kan, anak itu dari kecil selalu sembarangan aja kalau makan. Banyak jajannya," omel Alex. Narendra terkekeh kecil, kembali menyandarkan punggungnya untuk membaca laporan yang sempat terhenti. "Ya tau, makanya itu, biarkan dia jauh di sana. Supaya tau apa artinya perjuangan." Alexander khawatir tentang keadaan Samantha, atau dia harus waspada dengan kesempatan Samantha untuk kembali pada Rose. Dilemma. * Hari berlalu sangat cepat. Sama seperti sebelumnya, Han tak melihat Samantha bangun di sampingnya. Han takut Samantha pergi lagi. Kali ini dugaannya memang benar. Mata Han mengedar di setiap sendi rumah. Bibirnya merapal berulang kali bahwa kekhawatiran itu tak benar. "Nggak, nggak mungkin." Han mendekati lemari dan membukanya. Kosong. Tak ada pakaian Samantha di sana. Beberapa buku juga tak tertata rapi pada rak. Samantha menghilang. "Rizky!" Han sangat cemas, berteriak memanggil Rizky untuk mengabarkan hilangnya Samantha. "Tapi gue nggak liat dia keluar rumah pagi ini, Han." "Ya jadi ke mana? Itu kalau Alex tau-" Han terhenti saat melihat selembar kertas di atas meja. Surat tangan peninggalan Samantha. Ke mana perginya sahabatnya itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN