Bab 9. Pengorbanan Samantha

2138 Kata
Setelah Rose pergi, akhirnya Samantha memberanikan diri untuk menjenguk Alexander demi mengatakan hal serius terkait hubungannya. Dia ingin sang kakak mengerti dan membantunya memutus pernikahan. "Sam?!" Betapa bahagia dan antusiasnya Alexander saat Samantha datang menemuinya. Sebab karakter dan pekerjaan, Alexander tak memiliki banyak teman untuk bicara. Samantha menjadi satu-satunya sahabat yang dia punya. "Lama banget, sih, Lo jenguk gue? Tega!" gerutu Alexander. Samantha tersenyum tipis dan duduk di dekat kasur. Bias tersenyum Alexander memudar seiring melihat pantulan wajah sang adik. "Lo sakit? Wajah Lo pucet banget, kayak Lo aja pasiennya," kata Alexander, khawatir. Samantha menggeleng. Tidak sakit, tubuhnya hanya melakukan penyesuaian lagi dengan suhu tubuh Jakarta. Sempat kemarin drop di Inggris, kini bisa perlahan stabil meski dia pun tak sempat memeriksakan kondisi kesehatannya. "Gue kecapean aja. It's oke." Samantha terkejut saat Alexander berusaha duduk dengan paksa. "Apaan, sih?" "Bantu gue duduk, Sam!" Tak ada pilihan, Samantha pun membantu sang kakak untuk duduk. Rautnya sangat bahagia, lantas memeluk punggung kokoh Samantha hanya untuk mengurai kebahagiaannya. "Gue seneng Lo ada di sini, Sam. Maaf karena akad gue buru-buru gini, gue bahagia, Sam. Gue berharap Lo juga sama bahagianya kayak gue," sahut Alexander, berbisik lirih di dekat telinganya. Samantha hanya bungkam, tangannya gemetar dan tak bisa menyambut pelukan Alexander di punggungnya. Samantha terkejut saat mendengar ringis kesakitan Alexander. Dia pun melepaskan pelukan itu, menatap sang kakak yang kesakitan sambil memegang kepalanya. Masih ada nyeri pasca operasinya kemarin. "Lo kenapa, Lex?" Tak ada kata yang terucap dari bibir Alexander sebab bibirnya terkunci rapat ketika dia menggigit lower lip-nya untuk menahan sakit. Samantha menjauhi kasur, menatap sang kakak yang menderita karena kecelakaan itu. "Gue panggil dokter, Lex!" Samantha keluar kamar dan mendapati Han baru saja tiba sambil menjinjing tas plastik untuk makan siang Samantha. "Sam!" Samantha berlari untuk memanggil dokter di sudut, lalu para petugas medis itu berlari untuk memeriksa kondisi pasien VIP mereka ini. Samantha hanya menunggui di luar, duduk dengan perasaan cemas dan genggaman erat di atas lututnya. "Alex bakal baik-baik aja, kan? Ya, kan, Han?" Samantha sangat khawatir dengan keadaan Alexander. Terkadang dia menghapus air matanya, lalu berjalan ke dekat pintu untuk menatap para dokter untuk menyelamatkan sang kakak. Han membisu. Dia pernah melihat Samantha berada di posisi yang sama. Saat itu, dia sangat takut menunggui sang ibu yang kritis dan akhirnya meninggal di hari itu juga. Tanpa ayah dan Alexander yang sibuk seharian di kantor. "Nggak apa-apa. Alex akan baik-baik aja, Sam," jawab Han untuk menenangkan Samantha. Cidera otak yang dialami Alexander ternyata cukup parah. Walau sadar sebentar, terjadi penggumpalan darah pada otak hingga menuntut pihak rumah sakit melakukan operasi lanjutan untuk menyelamatkan Alexander. Hari berlalu, menyita pikiran Samantha untuk rasa takut akan kehilangan Alexander. Sang kakaklah yang selalu melindungi dan memberi tempat yang sama di rumah itu karena ketidakadilan Narendra. Samantha mulai dilemma. Sudah tiga hari berlalu sejak tuntutan yang diajukan papanya Rose agar Samantha bisa menunjukkan bahwa dialah yang lebih pantas mendampingi Rose. Hari itu, Rose mendatanginya lagi, memaksa untuk Samantha memikirkan beberapa hari waktu yang tersisa dari waktu yang dijanjikan sang ayah. "Please, Sam. Kamu harus yakinkan papaku kalau kamu bisa lebih baik dari Alex. Kamu bisa bantu perusahaan papaku untuk nggak mengalami kebangkrutan, kan?" tanya Rose, berharap penuh. Bagaimana cara menunjukkan kualitas dirinya di depan sang calon mertua sementara memang, dirinya tak sebanding dengan Alexander. "Mungkin kamu punya warisan atau tanah yang lain yang bisa kamu tunjukkan untuk meyakini papaku, Sam?" Samantha tersenyum lirih, lebih mendekat untuk memberi ciuman manis sesaat pada Rose. Wanita ini semakin takut jika takdir tak memberi sedikit pun celah untuk kebahagiaan mereka. "Kamu bicara apa, Sayang? Dari awal, sebelum kamu tau aku ini anaknya Narendra Atmadja, kamu juga taunya aku ini cuma cowok miskin, kan? Aku nggak punya apa-apa yang sebanding dengan Alex." Rose terkejut, lalu menjauhkan diri dari pelukan Samantha. "Jadi selanjutnya apa? Kamu akan biarin aku terus jadi istri Alex? Kalau gitu, biar aku sendiri yang bicara pada Alex tentang hubungan kita!" Kemarahan Rose tak bisa ditentang oleh Samantha. Wanita itu berlari untuk mencari kebahagiaannya sendiri. Samantha hanya tak ingin masalah yang timbul bisa menekan tingkat stres Alexander. Itu hanya akan membahayakan sang kakak. Setibanya mereka di depan ruang ICU, Samantha menahan tangan Rose karena di depan sana, Narendra menatap tak suka pada menantu dan putra bungsunya ini masih saling bertemu. Han juga berada di sana untuk menunggu kabar terbaru dari dokter. "Rose! Apa kamu nggak mengerti apa yang saya bilang! Kamu itu istri Alex! Jaga harga dirimu! Atau kamu mau, saya hancurkan perusahaan papa kamu detik ini juga supaya dia bisa jadi gembel di luar sana!" Mereka terkejut dengan kecam pria itu. Rose tak berdaya, menangis lirih dan duduk di kursi tunggu. Tersisa Samantha yang akhirnya memutuskan sesuatu untuk menyelamatkan Rose, sang kekasih dan juga Alexander, sang kakak yang dia cintai. Samantha mendekati Narendra, lalu memegang tangannya. "Aku akan turuti Papa, bisa kita bicara sebentar?" Han mengekor saat Narendra membawa Samantha untuk bicara serius terkait keputusan cinta segitiga itu. Di kantin, mereka bicara serius. Narendra menatap wajah tak berdaya putranya, lalu mulai berkata dengan ekspresi teduh. "Kenapa kamu nggak mengerti, Sam? Papa berbuat begini untuk masa depan kamu! Papa cuma mau kamu bisa sukses dan bersama Alexander memimpin Atmadja Corp ke depan nantinya," seru Narendra. Samantha diam sesaat. Sejak tadi Han ingin bicara, tapi selalu dihalangi oleh binar teduh Samantha. Pria itu memutuskan sesuatu untuk masa depan yang dia sendiri pun tak menginginkannya. "Jadi sekarang aku harus apa, Pa?" tanya Samantha. "Kamu kembali ke Inggris dan selesaikan kuliah mastermu di sana. Setelah itu, kamu bisa kembali dan mengurusi perusahaan. Seenggaknya kamu harus bisa setara Alexander supaya aku nggak membeda-bedakan kalian lagi!" Inggris. Han menyadari seminggu ini Samantha sangat susah berdaptasi dengan iklim di negara Eropa itu. Mengirimnya ke Inggris untuk kuliah master yang mungkin bisa dua tahunan, itu sama saja mencelakakan sang putra. "Tapi, Pak, Sam-" Han berhenti menyahut saat Samantha memegang tangannya, menggeleng singkat agar dia saja yang bicara pada ayahnya. "Aku selesaikan kuliah masterku, tapi, apa nggak bisa di sini aja? Kuliah di Indonesia juga bagus, kan? Aku juga bisa bantu-bantu di perusahaan dan belajar banyak dari Alex," terang Samantha. "Kamu pikir papa nggak tau akal bulus kamu?! Di sini hanya akan memberimu waktu untuk mengacaukan rumah tangga kakakmu! Pergi, sana! Jangan kembali sebelum kamu sukses dan bisa kuandalkan juga!" Narendra pergi tanpa ingin mendengarkan penjelasan apa pun lagi dari Samantha. Putranya itu hanya duduk termenung, memegang erat ujung meja hanya agar dia bisa menahan dan menguatkan diri. "Gue bujuk Om Narendra, ya! Lo nggak akan bisa lama-lama di Inggris sana," kata Han, khawatir. "Nggak, Han. It's oke. Gue baik-baik aja. Nanti lama-lama juga gue terbiasa, kan?" Samantha beranjak dari duduknya. Han semakin khawatir, akankah sahabatnya ini sudah menyerah tentang cinta dan keegoisan yang ditawarkan sang ayah? "Jadi ini maksudnya apa, hah?!" geram Han, menahan langkah Samantha untuk berhenti tepat di tikungan. "Lo tetap balik ke Inggris?!" "Ya." "Dua tahun, Sam. Lo pikir, hati Rose bisa tetap sama selama dua tahun ini?! Gimana kalau dia jatuh cinta sama Alex? Perjuangan Lo bakal sia-sia," tukas Han. Samantha tertegun, lalu duduk sebentar di kursi dekat tangga. Han miris melihat perubahan sahabatnya yang dulu selalu ceria ini, kini seperti tak punya semangat hidup lagi. "Bukan buat Alex atau Rose, sekarang gue harus berjuang untuk nyokap gue, Han. Gue nggak masalah kalau bokap atau yang lain merendahkan gue. Tapi pasti di atas sana, nyokap gue sedih ngeliat semua penghinaan tentang gue, kan?" Han membisu. Samantha menarik garis senyumnya lagi, lalu mengurai kesedihan yang mendalam dari sinar matanya. "Mama gue bilang, gue pasti bisa sukses walau gue beda dari Alex. Dia salah. Gue nggak bisa sukses kalau gue beda dari kakak gue. Dia ngomong gitu karena gue ini anaknya. Gue nggak mau ada yang rendahin gue setelah ini, Han. Gue mau dia bangga sama gue." "Tapi gimana dengan Rose, Sam? Apa dia mau nunggu selama itu? Sam, nggak ada yang tau hati manusia. Tapi kalaupun Lo paksa dia nunggu, itu terlalu kejam, Sam. Dia akan makin menderita." Samantha hening sesaat. Yang dikatakan Han memang benar adanya. Dia tak berhak menahan Rose untuk menunggu hanya bermodalkan janji dan cinta. Samantha ingin menjelaskan posisi untuk garis takdir mereka bertiga. * Keesokan harinya, dokter memberi kabar bahwa kondisi Alexander sudah membaik. Dia berangsur pulih sementara Rose semakin kacau karena ini adalah hari terakhir batas waktu yang diberikan sang ayah untuk menetapkan jodoh sang putri. Rose mendekati Samantha yang berjalan lambat di sisi lorong untuk menemui Alexander. "Sam, kondisi Alex udah lebih baik. Ayo kita bilang sama Alex tentang hubungan kita. Dia pasti ngerti, kan?" pinta Rose. Samantha belum menjawab. Wajah gugup Rose itu membuat Samantha sangat kasihan. Tak sepantasnya gadis itu menderita di saat dulunya, Samantha telah memberikan janji untuk membahagiakannya. "Kamu nggak punya apa-apa, kan, untuk meyakinkan papaku? Ya udah, memang kenyataannya Alex lebih baik segalanya dibanding kamu. Karena itu, kita manfaatin perasaan Alex ke kamu untuk misahin aku dari dia," urai Rose. Samantha tak menjawab. Mereka pun masuk ke dalam ruang rawat Alexander. Saat pria itu menyambut dengan tatapan bahagia, garis senyumnya memudar saat istri dan adiknya itu masuk sambil berpegangan tangan. Dia mulai duduk untuk menuntut penjelasan "Kalian?" Rose menatap Samantha yang masih bungkam. Tak ingin menyerahkan pada sang kekasih yang dia nilai begitu pengecut, Rose ingin menyampaikan semua rahasia itu. Dilepaskannya sesaat genggaman Samantha, lalu berjalan mendekati kasur Alexander. "Mas Alex, aku mau minta maaf. Harusnya pernikahan ini nggak pernah terjadi. Kamu tau selama ini aku sedih untuk pernikahan kita, kan? Itu karena aku nggak pernah mencintai kamu. Yang kucintai itu Sam." Alexander terkejut mendengar penyataan sang istri. Rose yang mulai dicintainya, apakah dia sadar mengatakan hal tak pantas seperti itu? "Nggak, Mas. Jangan salah paham! Sebenarnya aku dan Sam sudah berpacaran lebih dulu. Tapi karena perusahaan papa sedang mengalami krisis, akhirnya mereka menjodohkan kita." Samantha memperhatikan wajah Alexander pelan-pelan berubah. Dia mencengkram kasur, mungkin menahan rasa sakit yang menyerangnya. Entah itu hati atau pikirannya, kenyataan itu mengganggu kesehatannya saat ini. "Mas Alex, tolong mengerti. Bisa Mas Alex bantu untuk urus perceraian kita? Mas, papaku nggak suka sama Sam, karena itu, tolong bujuk papaku agar kita berpisah dan kami bisa bersama lagi. Mas sayang sama Sam, kan?" Sejak tadi Rose terus mengurai rahasia tanpa peduli apa yang menimpa Alexander. Pria itu menunduk, memegang kepalanya yang sakit dan berdenyut karena rahasia itu ibarat pukulan telak di saat hatinya bahagia. Erang kesakitan sang kakak akhirnya menyentuh hati Samantha. Apa salah Alexander? Dia juga korban dalam hubungan rumit ini. Dia yang terjerat cinta dan sekarang, haruskah dia berkorban dan merasakan sakit? Samantha segera mendekati sang kakak, memeluknya erat agar bisa tenang. Alexander berusaha menjauhkan Samantha darinya, mungkin dia juga jengkel dan marah atas hubungan Rose dan Samantha. "Pergi Lo, b******k!" Samantha khawatir keadaan Alexander semakin memburuk. Tak ada raut khawatir pada Rose yang menatap dingin di sana. Dia memang tak mencintai Alexander, tapi haruskah sikapnya sekejam ini? "Lex, maafin gue. Dengerin gue dulu," pinta Samantha. "Pergi, please." "Lex. Iya, maaf. Gue bohong saat itu. Harusnya gue jujur ke lo kalau gue sama Rose itu pacaran sebelumnya. Tapi gue pura-pura nggak kenal dia sampai akhirnya kalian terpaksa nikah." Alexander berhasil mendorong Samantha menjauh darinya. Tatapan sinis diberikan pada sang adik meski air matanya jatuh dari binar matanya yang berkaca-kaca. "Gue sama Rose memang pacaran, tapi gue nggak tau Rose bisa menganggap semuanya seserius ini," ucap Samantha, memandang tak percaya pada Rose. Alexander dan Rose terkejut bersamaan. Apa yang baru saja dikatakan Samantha? Alexander menatap miris pada Rose dan berpikir yang dikatakan Samantha tadi benarlah adanya. "Maaf, Rose. Gue nggak tau lo jadi seserius itu nanggepin hubungan kita. Lo mungkin nggak kenal gue. Tapi Alex kenal sama gue, kok. Gue juga biasa gonta-ganti cewek. Pacaran bukan berarti harus nikah, kan?" seru Samantha, cuek. Rose mulai gamang. Dia bahkan tak mengerti apakah Samantha serius atau tidak. Hatinya remuk karena semua ini tak sesuai dengan harapannya. "Maaf, Rose. Lo cuma jadi salah satu selingan gue. Inilah gue, Rose. Maaf kalau Lo terjebak sama perasaan itu. Dari kemarin gue mau jujur ke Lo, tapi kayaknya Lo ngarep banget kalau kita bakalan merit sampai tega mau minta cerai dari Alex." Alexander tak menyangka rasa sakit itu mutlak bersumber dari kesalahpahaman. Rose hanya bungkam, pelan-pelan air matanya luruh karena merasa terkhianati. Dia menyadari bahwa Samantha mengorbankan dirinya untuk kebahagiaan Alexander, sang kakak. Rose duduk di sofa, masih menjerit menahan tangisnya. Tersisa Alexander dan Samantha yang saling tatap. Alexander marah karena Rose dipermainkan oleh sang adik. "Lo nggak berubah, Sam. Lo nggak pernah berpikir tentang kebahagiaan orang lain," kata Alexander, kecewa. "Ya. Inilah gue. Masa depan gue masih panjang, gue masih mau main. By the way, sehat-sehat, ya! Gue mau balik ke Inggris untuk lanjutin kuliah gue." Ruang rawat menjadi kelabu saat Samantha pergi meninggalkan tangisan Rose dan juga rasa kasihan Alexander untuk penderitaan sang istri cantiknya. Semuanya berakhir. Samantha lebih memilih kebahagiaan Alexander dan membiarkan Rose salah paham padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN