Rose mendengar suara berisik dari luar. Dirinya baru saja selesai mandi meski sulit dengan perut membesarnya.
Perlahan dia keluar kamar, melihat ruang tengah kedatangan tamu. Seorang pria tua dan perempuan cantik di sampingnya.
"Rose?"
Alexander beranjak, memapah Rose untuk ikut bergabung dengan mereka.
"Tadi kamu tidur, aku nggak enak bangunin kamu. Ini Pak Wiryo dan Akira."
Akira, wanita yang akan dinikahkan dengan Samantha. d**a Rose berdegup kencang. Terpaksa mengatur senyum, juga mengulur jabatan dari Rose.
Akira hanya menipiskan senyum. Setidaknya ini pertama kali dia melihat wanita yang membuat Samantha tergila-gila selama empat tahun lebih.
"Kita bahas tanggal untuk lamarannya dulu, ya, Pak? Seserahannya apa, boleh dibahas," lanjut Narendra, tersenyum setelah berhasil sekali lagi menata hidup putranya.
"Kalau itu masalah gampang. Kayak orang lain saja, kamu. Bisa langsung kita diskusikan saja sama anak-anak ini, kapan mau melangsungkan akadnya."
Rose meremang mendengar Samantha serius akan menikah. Selama ini bersikap dingin, Samantha akhirnya jengah dan pergi darinya.
'Nggak, kan, Sam? Kamu cuma milikku. Kamu nggak boleh nikah sama dia.'
Alexander memperhatikan raut tak nyaman Rose, lalu istrinya itu izin pamit meninggalkan pembicaraan.
"Ya sudah nggak apa-apa. Perempuan hamil wajar nggak nyaman kalau duduk lama-lama," sambut Wiryo.
Seiring Alexander membimbing Rose beranjak, Samantha tiba dari luar. Pria itu, saat Rose menatap ke arah matanya. Dia berpaling.
Senyum pria itu begitu sumringah, lalu menyambut Wiryo dan Akira seolah hubungan pernikahan ini memang keinginannya.
"Maaf, Om, Kira, tadi ada banyak kerjaan di kantor," kata Samantha, sungkan.
"Alah kamu, Sam, kayak serius aja sama tugasmu. Nggak bolos aja papa udah bersyukur."
Candaan mencemooh Narendra membungkam Samantha. Sungguh perkataan beliau tak baik dengan mempermalukan Samantha di depan Wiryo dan Akira.
Alexander tak memiliki pembelaan seperti selama ini dia menjaga Samantha, hanya menuntun Rose ke kamarnya.
"Ya sudah, bagaimana kalau bulan depan?"
Rose menjerit dalam hati saat tanggal pernikahan itu ditetapkan. Samantha menyerah akan cintanya.
*
"Aku pergi, ya!"
Alexander mencium kening Rose yang sedang berbaring santai di kasur. Pria ini benar memperhatikan kondisi kehamilan sang istri tiap detiknya.
"Iya, Mas, hati-hati, ya!"
Alexander pergi bersama seorang pengasuh untuk menemani Ruby selama di TK. Setengah jam berlalu, Rose keluar kamar. Setibanya di depan kamar bawah tangga, pintu itu terbuka. Samantha masih belum berangkat ke kantor.
Rose mengetuk pintu, mengalihkan perhatian Samantha padanya. Pria itu menunda menarik dasi ke sudut Krah lehernya.
"Kamu beneran mau nikah sama Akira?!"
Suara Rose terdengar meninggi. Samantha mengabaikan, hanya bersiap dengan pakaian dan sepatunya.
"Kenapa diam aja?! Setelah semua ini, kamu mau nikah sama dia?! Gimana dengan perasaanku?"
Samantha tak menyahut.
"Setelah apa yang terjadi malam itu, kamu mau coba ninggalin aku lagi?!"
Samantha sesak dengan keegoisan Rose. Dia mendekati wanita hamil itu, namun urung membentaknya kasar.
"Jadi aku harus apa? Kamu yang berubah sejak hari itu. Kupikir kita bisa memulai hari baru setelah malam itu tidur bersama. Kamu sendiri, kan, yang terima hubungan gelap kita?!"
Samantha menatap nanar. Tak ada sahutan dari Rose melihat rasa kecewa di mata Samantha.
"Kenapa, Rose? Sebenarnya apa arti diriku untuk kamu? Tolong jelaskan posisiku biar aku nggak bingung."
Rose menahan lengan Samantha saat pria itu hendak pergi. "Jangan egois, Sam! Aku nggak bisa sembarangan berhubungan sama kamu dan ninggalin pernikahan kami! Aku nggak bisa kehilangan Ruby."
"Rose, tenanglah!"
"Seenggaknya sampai anak ini lahir."
Samantha mendekati, lalu memegang perut buncit wanita itu.
"Milik siapa ini? Alex? Atau aku?"
"Aku nggak peduli ini punya kamu atau Alex! Yang jelas, aku nggak bisa kalau perasaan kita ketahuan sama Alex, Sam. Dia bisa buang aku sesukanya. Aku nggak berhak atas hak asuh Ruby dan kamu juga nggak akan berani ninggalin keluarga ini cuma untukku, kan?!"
"Jadi, aku yang harus sakit sekali lagi, Rose?"
Rose tak menjawab, hanya memalingkan wajahnya dari Samantha. "Bertahanlah semampu kamu, Sam, kalau kamu masih mencintaiku."
Samantha tak ingin menekan Rose lagi. Membiarkan wanita itu keluar dengan tangisnya yang berderai.
'Seandainya kamu ingin di dunia ini hanya ada kita, aku bisa bawa kamu, Sayang. Tapi aku bahkan hanya selingan dan bukan prioritas kamu. Cintaku tetap saja seperti dulu, tapi kamu berubah, Rose.'
Rose sangat mencintai Samantha, tapi enggan melepaskan hubungan dengan Alexander. Di kamarnya, Rose mulai khawatir perihal pernikahan Samantha. Sesekali dia mengusap perutnya untuk menenangkan hati.
'Gimana caranya aku meyakinkan Samantha untuk nggak menikahi Kira? Tapi aku takut Alex tau hubungan kami. Kalau dia tau aku selingkuh, Sam akan dalam bahaya dan juga, Alex akan menalakku dan aku nggak akan berhak atas Ruby.'
Rose perlahan naik ke kasur, menyamankan punggungnya yang mulai terasa sakit di sana.
'Aku nggak bisa yakinkan Sam kalau ini anaknya. Kalau dia tau, dia pasti berulah dan menghancurkan rumah tanggaku. Kenapa jadi serumit ini?'
Kehamilannya semakin membesar. Jika seandainya nanti dilakukan tes DNA, maka Rose harus benar mempersiapkan diri lebih dulu. Siapa ayah dari janinnya.
*
Akira mendatangi Samantha di kantor, bicara seputar lamaran yang akan digelar dua minggu lagi. Pria itu terlihat uring-uringan, apalagi sejak terakhir kali Rose mendatanginya.
"Rose nggak mau aku nikah sama kamu, tapi dia juga nggak mau pisah sama Alex."
Akira belum menjawab, hanya membongkar rantangan yang dibawanya untuk menu makan siang Samantha.
"Kamu udah tanya dia, itu anak siapa?"
"Dia tau apa? Gimana cara dia membuktikan itu anakku atau anak Alex tanpa tes DNA?"
"Jadi sampai anak itu lahir, kamu cuma akan ragu untuk melangkah atau diam di tempatmu, Sam."
"Begitulah."
Samantha tak peduli. Berbaring saja di sofa sambil memijat sisi dahinya yang berdenyut.
"Besok beneran harus check up, Sam."
"Semua ini bikin aku pusing. Apa sebaiknya aku memang pergi dari sini untuk sementara waktu?"
Tak ada jawaban. Akira membawa sepiring nasi untuk duduk di samping Samantha.
"Makan dulu, Sam."
"Seandainya kita menikah."
Akira hening, lantas Samantha duduk tepat di hadapan wanita itu. Memandang sendu, memegang sisi pipinya.
"Apa baik-baik aja kalau aku masih mencintai Rose?" tanya Samantha, serius. "Apa boleh aku mencoba melupakan Rose dan belajar mencintai kamu?"
Akira belum menyahut, menghindari kontak mata dengan Samantha. Hanya dia yang tau seberapa dalam perasaannya pada sahabatnya ini. Selama ini tersakiti, Akira hanya ingin Samantha bahagia. Bibir cantiknya mengukir senyum, lalu mengusap peluh di dahi Samantha.
"Aku nggak berharap apa pun. Nggak masalah, Sam. Kalau cuma aku tempat kamu berlindung-"
Akira menarik tengkuk Samantha untuk memeluknya. "Bersandarlah selama yang kamu mau."
Begitu nyaman. Samantha berlindung dalam dekapan sahabatnya itu. Akira yang menjaganya selama ini, Samantha hanya ingin bersembunyi dari dunia yang sangat egois padanya.