Bab 23. Keegoisan Rose

1236 Kata
Alexander mengabaikan hasil test kesuburannya itu. Dia hanya ingin fokus merawat sang istri yang sedang menanti kelahirannya beberapa minggu lagi. Usai berberes, Alexander turun untuk menghampiri Rose dan ayahnya di ruang tengah. Samantha masih bungkam, menatap bias wajah kakaknya yang makin ceria seiring bertambahnya hari. “Ayo, berangkat!” ajak Alexander pada Samantha. Pemuda jangkung berkulit hitam manis itu menggeleng. Wajahnya nampak pucat, mungkin kurang sehat. Dia menggeleng sambil memijat kepalanya yang terasa sakit. “Gue absen, deh. Badan gue capek banget abis balik dari Semarang, kemarin.” Samantha berlalu, meninggalkan ketiganya yang tampak khawatir. Sejak beberapa bulan ini, renggangnya hubungan Rose dan Samantha bisa tercium oleh Alexander dan Narendra. Oleh karena itu, mereka tak memusingkan lagi hubungan keduanya karena Rose juga akan menyambut bayi baru dari pernikahannya. “Kamu masuk ke kamar aja, gih! Aku masih mau ngobrolin kerjaan sama Papa!” Rose mengangguk dan kembali ke kamarnya. Setelah itu, Alexander bicara serius pada papanya dan menunjukkan hasil test yang dia temukan di lemari kamarnya. “Pa, ini aku temuin di lemari. Maksudnya, apa aku harus khawatir, sekarang?” Narendra menelisik hasil test itu. Sedikit gugup dia membaca dan menyadari bahwa hal itu menunjukkan bahwa Alexander ada kemungkinan mandul dan Rose sulit hamil lagi. Ditariknya napas panjang, menghelanya kasar sambil melipat benda itu. “Apa yang kamu pikirkan sekarang, Lex? Kamu curiga itu bukan bayimu? Maksudnya, kamu mungkin berpikir mereka selingkuh di belakang kamu?” Alexander bungkam. Walau tersenyum, Narendra menyadari Alexander berusaha menyingkirkan itu. Tak ingin berpikir sejauh itu hanya karena tak sanggup dikhianati. “Sam sayang banget sama aku, Pa, dia nggak mungkin nusuk aku dari belakang. Dan juga, liat sendiri, kan, Rose juga udah cuek banget sama Sam. Itu artinya mereka memang nggak ada hubungan apa-apa dan itu benar bayiku,” tegas Alexander. Narendra mengangguk. Tak peduli siapa pun ayah biologisnya, janin itu adalah cucu kandung keturunannya. Dia hanya ingin lebih bijak agar tak ada yang dirugikan. Tak ingin lagi menyudutkan Samantha yang telah dia curangi saat itu. “Papa nggak mau meragukan Rose. Tapi setelah nanti bayi itu lahir, ada baiknya kita test DNA saja. Kamu setuju?” Pasrah, akhirnya Alexander setuju. Sebelum pergi, mereka membahas sesuatu terkait Samantha. Beliau mengatakan bahwa ada telepon dari Jepang, sahabatnya sejak beberapa tahun yang lalu. Selama di Jepang pun, Samantha tinggal bersamanya. Ada agenda yang direncanakan Narendra karena dia pun takut, Samantha akan merusak rumah tangga sang kakak. “Jadi Samantha serius sama Akira?” tanya Alexander. “Ya selama empat tahun ini, kan, dia dekat sama Akira. Dan katanya, Akira mau pindah tugas ke sini. Mungkin itu Samantha yang minta.” Narendra, sang ayah diktator akan selalu merajut jalan kisah putranya tanpa peduli apa keinginan mereka. Tak dia sadari, Samantha mendengar dari sana. Menatap sendu sambil kembali beranjak ke kasurnya. Samantha meraih ponsel saat ada pesan yang masuk. [Sam, besok aku berangkat ke Jakarta. Aku mulai bertugas di sana. Dengan begitu, aku bisa terus memantau kamu.] Samantha tak langsung menjawab. Dibantingnya kasar ponsel itu hingga berserak di lantai. Diraupnya wajahnya dengan bias sedih, marah dan merutuki nasibnya sejauh ini. “Hidup pun juga percuma, Akira. Perjuanganku sejauh ini hanya sia-sia.” Samantha memejamkan mata, memegang tengkuknya yang terasa sakit hingga lebih memilih untuk meringkuk dalam. Pelan-pelan air matanya bergulir. Bukan karena rasa sakit yang menyerang, juga pasrah akan semua orang yang pelan-pelan meninggalkannya. ‘Entah itu papa, Alex, atau kamu, Rose, nggak ada dari kalian yang menganggapku penting. Sebenarnya apa salahku? Apa nggak bisa kalian sedikit berpikir apa yang kuinginkan?’ batinnya. * Menanggapi dinginnya sikap Rose, Samantha pun membalas tak peduli. Dia tak pernah menatap wanita itu ketika berpapasan di rumah. Hanya pergi pagi, lalu pulang di malam harinya. Samantha pun menghabiskan banyak waktu di sebuah rumah yang ditinggali Akira setibanya dia di Jakarta. Bukan hubungan cinta, Akira adalah sahabat tempatnya berkeluh kesah. Gadis cantik dengan rambut sebahu itu menyambut kedatangan Samantha dengan binar teduh, menyajikan teh untuk menemani obrolan mereka. “Lalu sekarang apa, Kira? Setelah semua keberhasilan yang kudapat, aku bahkan nggak bahagia,” lirihnya. “Kamu kembali ke sini setelah mendapatkan hidup keduamu, kan? Kamu berjanji pada Tuhan asalkan kamu tetap hidup, kamu nggak akan menuntut apa pun?” Pertanyaan tegas wanita campuran Jepang itu membuat Samantha bungkam. Pelan dia menunduk dalam, memainkan jemarinya karena terlalu lelah dengan hidup rumitnya di keluarga Atmadja. “Setelah malam itu, Rose berubah, Kira. Apalagi setelah dia hamil,” ulas Samantha. “Malam itu? Maksudmu, apa?” Semula ragu, akhirnya Samantha menceritakan kejadian malam itu, tepatnya saat Rose ingin lari dari rumah dan mereka memutuskan untuk bermalam di hotel. Akira terkejut mendengar kejujuran Samantha. Pria itu bahkan lebih tertekan dibanding saat ditinggal nikah oleh Rose. Dia dicampakkan kedua kali setelah terjebak dalam hubungan terlarang mereka. “Setelah kalian tidur bersama, Rose bersikap dingin padamu?” geram Akira. Samantha mengangguk, mengeratkan jemarinya pada sisi sofa, lalu mengangkat pandangannya. “Aku bodoh, kan? Kupikir setelah malam itu, mungkin ada takdir yang berubah. Berharap mungkin sedetik aja, aku punya kebahagiaan yang sama.” “Dan apa kamu nggak berpikir kalau bayi yang dikandung Rose itu adalah benihmu, Sam?” Samantha terkejut mendengar pertanyaan tegas Akira. Gadis berkacamata itu beranjak ke sisi jendela, menatap pemandangan luar sambil menahan amarahnya. Cukup lama Samantha hening. Lalu dia mulai tertawa kecil. Entah apa yang dia tertawakan. Pertanyaan Akira, ataukah takdir yang mempermainkannya. “Aku berjuang selama empat tahun ini untuk bisa hidup sekali lagi, Kira. Apa kamu pikir aku cukup sehat untuk membuat Rose hamil?” Akira menatap miris bias wajah pria itu. Dia menjadikan sofa sebagai alas tidurnya, meletakkan lengannya di dahi agar Akira tak melihat bias wajah sendunya. “Empat tahun kamu berjuang di rumah sakit, dan kamu sembuh. Dan itu semua nggak ada hubungannya dengan vitalitas kamu. Bisa aja, kan, penyakit itu nggak mengganggu system reproduksimu dan kualitas spermamu baik. Jadi-” Samantha tergelak tawa. Dia kembali duduk santai, menatap Akira yang tersenyum dengan wajah merahnya. “Iya, Bu suster. Jangan ngomongin itu lagi, aku malu.” Samantha beranjak bangkit, meraih jas kerjanya untuk dia pasang kembali. Dirinya ingin kembali ke kantor. “Aku serius soal tadi, Sam. Masih ada kemungkinan kalau yang dikandung Rose itu milikmu,” tukas Akira. “Mungkin Rose lebih tau, Kira. Tapi melihat sikap dinginnya selama ini, dia sudah memastikan kalau itu adalah milik Alexander. Aku nggak akankan pernah ada dalam takdir mereka.” Akira mengantarkan Samantha ke pintu depan. Sempat ditahannya sebentar lengan Samantha sebelum pergi. “Apa papaku ada bicara sama papa kamu? Soal-” “Pernikahan kita?” Samantha tersenyum, lalu menyentuh kepala Akira. Senyum yang selalu membuat Akira terhenyuh dan sakit bersamaan. “Jangan gadaikan masa depanmu hanya karena kamu peduli padaku, Kira. Aku bahkan nggak tau sampai kapan bisa bertahan. Vonis sembuh kemarin itu udah seperti mukjizat. Kamu benar, harusnya aku nggak berharap lebih lagi.” Akira tak bisa menahan tangisnya. Akhirnya dia jatuh dalam pelukan hangat Samantha. Selama empat tahun ini, dialah yang menemani Samantha dan berjuang bersama pria itu sampai dia memutuskan kembali. Dia kembali untuk kesempatan kedua dari Tuhan dan juga untuk membuktikan pada ayahnya bahwa dia juga bisa sukses seperti Alexander. “It’s oke, Sam. Sama seperti empat tahun yang lalu, biarkan aku yang menjagamu. Besok kita check up, ya?” lirihnya sambil mengusap punggung Samantha. Lama Samantha bungkam. Dinginnya sikap Rose akhirnya membuatnya lelah dan ingin bersembunyi. Akira adalah tempat ternyaman untuknya, sama seperti empat tahun lalu. “Ya. Kita menikah, Kira.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN