Bab 8. Dilemma

1040 Kata
Sehari berlalu sejak Alexander sadar, Samantha belum ingin menemuinya. Rose diminta menjaga Alexander atas perintah Narendra. Samantha menjauh, membiarkan rasa sakit dan kecemburuan menggerogoti hatinya. Siang itu, Samantha pergi menemui sang ayah di ruang kerjanya untuk menuntut penjelasan atas pengkhianatan yang dilakukan pria bernama lengkap Narendra Atmadja tersebut. "Sekarang apa, Pa? Apa aku nggak bisa menuntut hakku yang kalian rebut sekejam itu? Rose milikku. Alex harus tau semuanya!" kecam Samantha. Brak! Narendra menghentak meja, menantang kemarahan Samantha yang dipikirnya hanya sibuk mengurusi cinta saja tanpa mempedulikan kondisi kakaknya. "Kamu udah dengar apa yang dokter katakan tentang Alex, kan?!" Samantha bungkam. Papanya menatap marah pada Samantha ketika putranya itu menemuinya untuk protes akan pernikahan sang kakak. "Jadi tolong, jangan hancurkan semuanya!" pekik beliau lagi. "Kenapa Papa selalu nganggap aku nggak berguna? Apa cuma sebatas itu artinya aku di rumah ini? Apa nggak ada hal yang baik dariku yang bisa Papa ingat?" lirih Samantha. Narendra tak menjawab. Tak seperti biasanya ketika Samantha akan dengan frontal marah padanya, kali ini sang putra terlihat lesu seolah enggan berontak lagi. Dirinya lelah dengan semua penghinaan sang ayah secara tak langsung tentang jati dirinya. "Apa Papa nggak merasa bersalah dan berusaha minta maaf padaku untuk semua yang Papa lakukan? Aku seminggu tinggal di Inggris dan-" "Aku tau." Narendra beranjak dari duduknya. Dia mendekati Samantha dan menatap serius putranya itu. "Kamu sendiri, apa pernah berpikir dari sudut pandangku? Aku ini seorang ayah. Aku ingin kamu sukses dan serius tentang masa depanmu. Pergilah ke Inggris dan selesaikan kuliahmu. Setelah itu, kamu akan bekerja di perusahaan. Bangun karirmu, lalu berpikir untuk menikah!" Samantha melangkah mundur dan hampir limbung. Dia berpegangan pada sisi sofa dan menarik sebentar pandangannya dari binar serius sang ayah. Kenapa ayahnya ini berpikir mengirimnya sejauh itu sementara di sana, dia pun sulit bertahan dengan ketidakstabilan suhu tubuh terhadap iklim di sana. "Kembalilah saat kamu sukses dan bisa sebanding dengan Alex. Dengan begitu, aku nggak akan membeda-bedakan kalian lagi!" Samantha tak menjawab, pergi saja dari ruangan sang ayah. Han menyambutnya, tapi tak diindahkan oleh Samantha. Sahabatnya itu sedang mengalami krisis kepercayaan dari ayah ataupun kekasih yang meninggalkannya. Hidupnya mengalami kemelut yang tak berkesudahan. "Setelah ini apa yang akan kamu lakukan, Sam?" * Samantha belum bicara saat Rose bersandar di pelukannya. Mereka belum memutuskan haruskah bicara pada Alex atau bungkam. Rose terus mengeratkan jemarinya di kaos Samantha, menanti kekasihnya itu bicara. Duduk di taman rumah sakit sore itu menjadi pilihan untuk menenangkan hati. "Alex harus ngerti, Sam. Please, aku nggak mau terus terjebak di pernikahan ini. Alex bisa nemuin perempuan lain di luar sana yang lebih baik dari aku," lirih Rose. "Tapi, Papa kamu nggak akan setuju, Rose." "Karena itu, manfaatkan Alex. Kamu bilang, Alex sayang sama kamu, kan? Dia pasti nggak akan bisa bertahan dengan pernikahan ini kalau ngeliat kamu menderita. Alex yang akan bantu untuk selesaikan masalah kita," cecar Rose, optimis. Samantha mengangguk, memberikan kecup mesra di dahi Rose. Dia pun meminta wanita itu untuk pergi lebih dulu menemui Alexander yang pasti sedang mencari istrinya ini. "Kamu temenin Alex hari ini, aku mau temuin papa kamu dulu," pinta Samantha. "Iya. Kamu pasti bisa, Sayang," ucap Rose, menjejakkan ciuman manis di bibir Samantha sebelum beranjak pergi meninggalkan rumah sakit. Tak membuang waktu lama, Samantha mengajak Han untuk mendatangi ayahanda Rose. Ada banyak orang yang harus dia yakinkan tentang hubungan mereka. Setibanya di rumah itu, Samantha tak diterima baik oleh beliau. Meski Samantha juga putra dari Narendra, ayahanda Rose itu enggan menatapnya sama tingginya dengan Alexander. Hanya tatapan meremehkan, menjatuhkannya. "Selanjutnya, apa yang bisa kamu lakukan untuk meyakinkanku kalau kamu lebih baik untuk Rose? Janji hidup seperti apa yang bisa kamu berikan?!" pekik beliau. Samantha hanya menunduk. Entah berapa orang yang selalu merendahkannya, membandingkannya dengan Alexander. Dulu dia tak masalah melihat karir gemilang sang kakak, juga ayah yang memuja Alexander yang lebih terampil dan elegan dibanding dia yang bertingkah sesukanya tanpa tujuan. Samantha mengangkat kepalanya, menatap lirih dengan binar berkaca-kaca. "Aku akan lakukan apa pun, Pak. Tolong kasih saya kesempatan." "Kesempatan apa?! Apa kamu bisa menggantikan Alex untuk menyokong perusahaanku? Saat kamu bisa sejajar dengan Alex, saat itu kamu punya hak yang sama dengannya atas Rose! Itu janji saya." Lagi, Samantha diminta untuk bisa sejajar dengan Alexander agar pantas mendampingi Rose. Han menarik lengan Samantha, menahan bahu sahabatnya itu sebab takut limbung dan jatuh. Mereka pergi meninggalkan rumah ayahanda Rose itu. "Selanjutnya apa, Sam?" tanya Han. "Gue nggak punya pilihan lain. Rose benar. Gue harus manfaatin rasa sayang Alex buat gue. Cuma ini satu-satunya cara menghancurkan pernikahan mereka," putus Samantha. "Tapi dokter bilang, kepala Alexander belum cukup baik kalau harus mendapatkan tekanan. Itu hanya akan memicu stres dan pecahnya pembuluh darah yang berakibat fatal untuk dia." Samantha bungkam. Dirinya atau Alexander yang harus berkorban untuk menyelesaikan masalah rumit ini? * Di ruang rawat itu, Alexander tersenyum saat Rose menjaganya. Sesekali wanita itu menyodorkan minum saat Alexander merasa haus. "Kamu istirahat yang cukup. Kata dokter, mungkin dua hari lagi akan dilakukan pemeriksaan mendalam di kepala kamu. CT-Scan perlu dilakukan agar tak ada dampak serius akibat kecelakaan itu." Alexander mengangguk. Saat Rose menyentuh kepalanya untuk menyingkirkan rambut yang menutupi dahi Alexander, tangannya digenggam oleh sang suami. "Makasih, Rose." "Cepat sembuh, Mas." Ketika hendak beranjak, tangannya ditarik lagi oleh Alexander. "Aku cinta sama kamu, Rose." Rose terkejut mendengar ucapan tulus Alexander. Pelan-pelan tangannya dia lepaskan sebab hatinya luluh akan perasaan cinta pria itu. "Aku akan tunggu sampai kamu punya rasa yang sama. Jadi tolong, bisa kasih aku waktu lebih lama lagi untuk di samping kamu?" Rose masih bungkam, lalu jemarinya digenggam Alexander. Sesekali matanya mengerjap ketika Alexander mendekatkan genggaman tangannya itu disentuh oleh bibirnya. Ciuman mesra yang Rose pun tak bisa menolak kasih tulus pria itu. "Alex." "Ya?" sahutnya tanpa melepaskan bibirnya dari tiap ruas jemari Rose. Jika Samantha tak segera memilikinya, Rose takut dirinya yang jatuh pada belenggu cinta Alexander yang begitu tulus. Di luar sana, Samantha menjauhi pintu ketika tak sengaja menatap adegan romantis kekasihnya dan Alexander itu. Han merasa miris, lalu mengajaknya duduk di sampingnya di kursi tunggu sudut. "Gimana jadinya kalau gue terus terang dan nggak akan pernah ada lagi senyum di wajah Alex?" gumam Samantha. "Tentukan pilihan Lo, Sam." Samantha mengalami dilemma. Satu hari dia butuhkan untuk mempersiapkan diri menghadapi rasa takut yang menyerang Alexander nantinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN