Bab 7. Kemarahan Rose

2013 Kata
Kecelakaan yang menimpa Alexander hari itu justru menjadi titik balik perjuangan Samantha. Saat sang kakak dihadapkan pada kematian, haruskah dia egois tentang cintanya? "Sam?" Rose menangis lirih, memeluk erat Samantha dan menunggu kabar dari sang dokter yang belum juga keluar dari ruang IGD. Wanita itu adalah istri Alexander, dan kini berada dalam pelukan Samantha. Seminggu berlalu sudah pernikahan itu, akankah hatinya berubah? Sejak tadi pikiran Samantha kalut. Tak ada rasa gugup di wajahnya ketika melihat Alexander sedang kritis dan di ambang kematian. Han melihat wajah dingin itu. Menatap tanpa khawatir, memeluk erat Rose tanpa rasa percaya lagi. "Lo udah telepon bokap Lo?" tanya Han. Samantha menggeleng. Dia mengajak Rose duduk untuk menunggui kabar dari dokter. Wanita itu semakin beringsut dalam pelukannya. Samar-samar Samantha mendengar gumam tipis Rose, berdoa atas nama Alexander. "Tolong selamatkan Alex, Ya Allah." Samantha mengeratkan jemarinya, lalu menjauhi Rose dari pelukan eratnya tadi. Rose Alexander, nama itu kini pasti tersemat pada wanita itu. "Sam." "Kamu sekhawatir itu tentang Alex, sampai kamu nggak nanyain kabarku? Aku baru balik dari Inggris dan sekarang, aku harus meluk kekasihku yang sedang menyebut nama pria lain," sinis Samantha. Rose terkejut mendengar ucap sarkas Samantha. Bukan ini respon yang didengarnya. Mulutnya bungkam, menatap kemarahan di mata kekasihnya itu. "Maaf. Aku salah. Aku memeluk seorang istri yang menyebut nama suaminya. Akulah yang pria lain itu." Rose beranjak dari duduknya, menantang tatapan Samantha. Pria itu bicara seenteng itu sementara seminggu ini, dia menanggung kepedihan karena pernikahan paksa itu. "Apa maksud kamu ngomong gitu ke aku, Sam? Apa pernikahan ini kemauanku?! Apa pantas kamu bicara gitu sementara aku yang jadi korbannya?!" Kemarahan Rose memudarkan amarah Samantha. Dia menunduk takut, mengeratkan jemarinya karena bingung dengan keadaan hatinya saat ini. Di sana, Han menatap kasihan pada Samantha. Setelah ini, apa yang bisa dia lakukan? Masa depan apa yang menantinya? Samantha menjatuhkan air mata, lalu mendongak untuk menatap Rose. "Aku berharap Alex nggak akan bangun lagi. Dengan begitu, kita bisa kembali kayak dulu," lirihnya. Mereka terkejut mendengar serapah Samantha. Pelan-pelan amarah Rose memudar, menatap pria itu kembali menunduk dan menggenggam erat jemarinya. Ya, pria itulah yang tersakiti saat ini. Kehilangan cinta tanpa bisa berbuat apa-apa. "Sam." Rose kembali duduk di dekat Samantha. Dia menarik tengkuk pria itu, lalu mendekatkan padanya untuk menyandarkan kepala pria itu di sisi bahunya. Samantha menangis lepas, menguarkan rasa sakit akan kehilangan dan juga kekhawatiran tentang Alex. "Alex nggak salah, kan? Kenapa aku sejahat ini, Rose?" lirihnya. Detik berlalu seiring Rose yang terus mengusap bahu Samantha. Tak lama, Narendra Atmadja datang dari kejauhan setelah mendengar kabar tentang kecelakaan Alexander. Dia mendekati Han yang dia temui lebih dulu. "Bagaimana keadaan Alex, Han?" Han menggeleng singkat. "Belum ada kabar, Pak." Lantas, tatapannya beralih pada Samantha dan Rose yang sedang berada di kursi sudut. Berpelukan dan dirasanya tak pantas mengingat Rose saat ini sudah sah menjadi istri Alexander. Narendra tampak berang, lalu bergerak mendekati keduanya dan menarik bahu Samantha agar menjauh dari pelukan Rose, menantunya. “Apa-apaan kalian?” Samantha menatap marah, sementara Rose tampak gugup karena takut akan kemarahan sang mertua. “Apa ini pantas kalian lakukan di saat Alex sedang kritis di sana? Di mana pikiran kalian?!” tandasnya, lagi. Samantha bangkit dari duduknya, lalu menantang tatapan Narendra. Samantha menganggap dia adalah ayah yang egois dengan membedakan kasih sayang dan mengorbankan harapan seorang putra demi membahagiakan putranya yang lain. “Apa ini pantas Papa bicarakan ke aku setelah semua yang Papa lakukan?!” pekik Samantha. Narendra bungkam, lalu tatapannya beralih pada Rose. “Apa pun hubunganmu sebelumnya dengan Sam, sadarlah! Alex adalah suamimu. Bersikaplah sepantasnya!” Takut masalah semakin rumit dan mengganggu ketentraman rumah sakit, Han segera beranjak dan menahan bahu Samantha. Ditatapnya Narendra dengan hormat, lalu Rose dan Samantha secara bergantian. “Maaf. Bisa kita bicarakan hal ini lain kali aja? Alex sedang kritis. Tolong lebih bersimpati,” pintanya. Akhirnya, Han bisa menenangkan mereka. Setengah jam berikutnya, dokter keluar dari ruang IGD dengan wajah serius. Melepaskan stetoskop dan digantungkan di lehernya, lalu dia membuka masker dan tutup kepalanya. “Bagaimana keadaan putra saya, Dok?” tanya Narendra. Dokter itu menatap serius, lalu berkata, “Saat ini sudah berhasil ditangani. Tapi dia belum sadarkan diri. Mungkin kita tunggu satu sampai dua hari. Benturan keras di kepalanya bisa berakibat fatal. Kita tunggu perkembangan berikutnya.” Mereka hanya bisa memanjatkan doa agar Alexander bisa diselamatkan. Han menoleh pada Samantha, lalu berkata, “Lo sebaiknya pulang dulu, Sam. Lo pasti masih capek. Nanti kita balik lagi ke sini.” Samantha mengangguk, lalu berbalik tanpa mengutarakan sepatah kata lagi pada Rose yang kini berada dalam pantauan Narendra. * Beberapa jam berlalu setelah mendapatkan kabar itu, mereka masih menunggu dengan setia. Di ruang ICU itu hanya ada Narendra dan Rose yang menunggui Alexander. Samantha diminta pulang oleh Han untuk beristirahat. “Apa kamu nggak bisa belajar mencintai Alex mulai dari sekarang?” tanya Narendra tanpa memindahkan pandangannya dari wajah tertidur Alexander. Kepalanya dibalut perban, dan pergelangan tangan di bagian dalam ditusuk oleh jarum infuse untuk menyanggahnya. Ada beberapa peralatan medis lagi seperti selang oksigen dan oximeter yang menjaga kestabilan hidupnya. “Papa tau kalau yang kucintai itu cuma Samantha, kan? Papa juga janji kalau Sam lulus tes itu-" “Nggak pernah ada tes itu. Kalau memang aku serius tentang tes itu, aku nggak akan percepat akad kalian. Aku sengaja mengirim Samantha pergi agar dia tak mengacaukan semuanya.” Rose terkejut, bibirnya seolah tertahan untuk berontak. Pria ini berkata begitu entengnya setelah mengkhianati Samantha seolah Samantha bukanlah puteranya. “Kupikir Sam buru-buru kembali karena udah mendengar dari Han tentang pernikahan kalian,” lanjut beliau lagi. “Kenapa Anda tega sekali, Pak? Sam juga puteramu, kan? Kenapa Anda hanya memikirkan kebahagiaan Alex aja?” tanya Rose, tak percaya. Narendra belum menjawab. Dia lebih mendekat pada Alexander untuk memegang sisi kepalanya. “Bukankah sudah kubilang? Sam itu nggak pernah serius dengan seorang wanita. Mendapatkanmu semudah itu hanya akan membuatmu juga dibuang dengan mudah. Kupikir ini satu-satunya cara untuk Samantha berubah dan lebih serius dengan masa depannya. Aku mau dia sebijak dan sehebat Alexander.” “Dan ini cara terbaik yang bisa Anda lakukan?!” kecam Rose. “Ini juga demi kebaikan kalian, Rose. Hanya Alex yang bisa menyokong eksistensi perusahaan ayahmu yang hampir bangkrut. Jika Atmadja Corp mengakuisisi perusahaan ayahmu, maka para investor akan memandang Alex dan perusahaan ayahmu bisa kembali beroperasi dengan bantuan Alex. Sementara Sam, masa depan apa yang kamu harap dari dia?” Rose terkejut mendengar ucapan mertuanya ini. Tak ada pembelaan, hanya bungkam. Memang, jika dibanding Alexander yang kini sukses dengan tanggung jawab sebagai wakil direktur yang diembannya, lalu apa yang bisa dibanggakan Sam? Dia baru saja masuk ke perusahaan dan tak banyak hal yang bisa dia lakukan. Kebungkaman Rose itu hanya ditatap sendu oleh Samantha yang tak sengaja berada di depan pintu dan mendengar pembicaraan mereka. Han ada bersamanya, lalu memegang punggung Samantha agar lebih menenangkan. “Kenapa, sih, bokap lo selalu membeda-bedakan lo sama Alex?” protes Han ketika mereka melangkah lalu meninggalkan ruangan ICU. “It’s oke. Sejak awal memang cuma Alex yang dia pandang, kan? Dan sekarang, gue nggak dikasih kepercayaan yang sama untuk bahagiain Rose hanya karena selama ini, hidup gue nggak pernah selaras dengan keinginan dia.” Samantha terhenti, bersandar pada dinding di samping tangga dan memilih untuk duduk di lantai. “Apa salah kalau gue berbeda dari Alex? Ini hidup gue, kenapa gue nggak bisa jalanin sesuai kemauan gue?” “Jadi sekarang gimana?” tanya Han, lirih. “Apanya yang gimana? Dia udah jadi istri Alex. Gue harus apa lagi?” Rose dan Samantha mengalami dilemma. Jika takdir mereka tak berjalan beriringan, haruskah Samantha mengikhlaskan Rose untuk sang kakak? Dan haruskah Rose mulai menerima takdir dan hidup bahagia bersama Alexander? * “Kenapa Papa egois? Yang kucintai cuma Samantha, Pa!” Suara pekik Rose itu terdengar hingga ke lantai atas. Siang itu, Rose memekik marah saat papanya datang berkunjung dan kembali protes akan sikap Rose yang kembali dekat dengan Samantha di saat sang suami sedang kritis dan belum terjaga. “Pak Narendra cerita pada papa kalau kamu berhubungan lagi dengan Samantha. Apa itu benar? Kamu selingkuh di rumah ini? Kamu mau mempermalukan papa?!” “Selingkuh?! Sejak awal aku nggak punya perasaan pada Alex. Aku ini milik Sam. Nggak peduli meski Alex itu suamiku, aku ini pacarnya Sam!” “Anak kurang ajar! Kamu mau menghancurkan papa, iya?!” Tanpa mereka sadari, Samantha dan Han berada di lantai dua dan menyaksikan pertengkaran itu. Samantha mengeratkan jemarinya pada pegangan tangga, menahan amarah akan keegoisan papanya Rose itu. “Cuma Alex yang bisa membantu papa membangkitkan perusahaan lagi! Kita ini hampir jatuh miskin, Rose! Kenapa kamu nggak paham? Image Alex akan membuat papa dipandang lagi oleh investor dan papa dengar, akhir tahun ini Pak Narendra akan menyerahkan tampuk kepemimpinan Atmadja Corp pada Alexander.” Rose terdiam. “Kurang bukti apa lagi? Apa Samantha-mu bisa membantu papa untuk bangkit dari kebangkrutan? Apa modal pacarmu itu untuk membahagiakan kamu?!” “Pa! Kalau Papa nggak pernah ngasih Sam kesempatan, gimana Papa bisa tau dia bisa bahagiakan aku atau enggak?!” “Baiklah! Aku kasih kamu waktu satu minggu untuk membuat keputusan. Silakan minta Samantha untuk menyakinkan aku kalau dia bisa jadi menantuku. Aku akan bicara pada Narendra untuk memutus pernikahanmu dan Alex,” putus pria tinggi campuran Eropa itu. Samantha tak ingin mendengarnya lagi, lantas dia kembali masuk ke kamar. Han menatap kasihan pada Samantha. Dia mengenal sahabatnya itu. Bukan bermaksud malas atau tak bertanggung jawab, setiap orang dilahirkan dengan bakat dan keinginan berbeda. Samantha terlihat tak serius di bidang bisnis karena tak memiliki minat di sana. Han menatap sekeliling kamar. Ada rak berisi tumpukan buku music dan juga gitar di sudut. Temannya ini memiliki cita-cita bermusik dan juga berprestasi di dunia basket. Ada banyak piala dan piagam dari prestasinya bermusik dan basket. Deretan penghargaan itu tak pernah dipandang sedikit pun oleh sang ayah. “Apa sukses itu cuma diukur dari materi dan karir gemilang, Han? Apa sukses harus ada di balik komputer dan berdasi? Papa dan ayahnya Rose, mereka pikir hanya karena aku nggak sehebat Alex, aku nggak bisa membahagiakan Rose dan menganggap hubungan kami sekadar lelucon.” “Sam.” “Apa kalau gue bisa sehebat Alex, gue bisa dapat kesempatan yang sama?” lirih Samantha sambil menatap binar mata Han, sahabat yang selalu menopangnya. Han tak menjawab. Hati Samantha kian pedih, siapa yang bisa menenangkannya? * “Kondisinya cukup buruk, Pak. Walau sudah sadar, tapi jangan beri tekanan yang akan memicu stress. Ini hanya akan membahayakan nyawanya.” Mereka terkejut mendengar pernyataan dokter itu. Detak jantung Alexander sangat lemah. Samantha merasa kasihan melihat wajah pucat sang kakak. “Tapi, Dok, dia baik-baik aja, kan?” tanya Narendra, khawatir. “Satu bulan ini, biarkan kondisinya membaik lebih dulu. Kalau bisa keluar dari rumah sakit dalam waktu dekat ini, jangan biarkan dia mengalami hal sulit. Biarkan dia banyak istirahat di rumah,” sambung dokter itu lagi. Rose menatap serius pada Samantha di sudut. Sejak kemarin, mereka belum membahas lanjutan hubungan mereka karena terusik akan kesehatan Alexander. Narendra menangis lirih dan mendekati putranya itu lagi. “Saya serius, Pak. Saya takut tekanan akan memicu tingkat stress sehingga berakibat fatal pada pecahnya pembuluh darah. Seharusnya kita nggak mengambil resiko apa pun jika itu hanya mempertaruhkan keselamatan Alexander.” Samantha segera keluar dari ruangan, disusul oleh Han yang mengekor tepat di belakangnya. Jika keadaan Alex seburuk ini, bisakah dia menerima kemarahan Samantha dan hubungan masa lalu dirinya dan Rose? Alexander hanya akan lebih tertekan dan bisa saja berakibat buruk pada syarafnya. “Gue harus apa, Han? Apa gue harus biarkan Rose tetap di samping Alex cuma untuk kesembuhan dia?” tanya Samantha. “Dan lo akan sakit setiap harinya, Sam.” “Gue nggak mau kehilangan Alex, Han. Alex berarti buat gue, lebih banyak dibanding Papa dan Rose.” Han tak bisa menyahut apa pun. Samantha dilemma. Tak tahu sampai kapan bisa sembuh, Alexander takkan bisa menerima kenyataan pahit tentang hubungan Samantha dan Rose sementara di saat yang bersamaan, Rose menuntut untuk dilepaskan dari belenggu pernikahan. Dan juga tantangan papanya terkait Samantha yang bisa menggantikan Alexander. Sulit, dan harus diputuskan segera.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN