Bab 12. Menghilangnya Samantha

2198 Kata
Selembar surat berada di atas meja, terdapat kotak tinta sebagai pemberat. Han segera meraih kertas itu, membaca dengan seksama guna meraih informasi keberadaan sahabatnya itu. [Dear, Han. Jangan cari gue, ya! Gue udah nggak di Inggris lagi, nggak di Indonesia juga. Sorry, Bro! Gue ke suatu tempat untuk sembuhin luka hati gue. Jangan cemas! Gue juga udah urus jadwal kuliah gue. Gue kemarin nelepon Om Wiryo, dia mau bantuin kuliah gue di sini. Bukan gue nggak percaya elo, gue cuma nggak mau hidup Lo jadi berantakan karena gue. So, saat gue balik nanti, Lo juga bisa sukses dan ngeliat betapa hebatnya gue nanti.] Han terduduk lemas. Niatnya mengikuti Samantha ke Inggris adalah untuk menjaga putra Narendra itu. Akan tetapi, Samantha justru tak ingin Han menguntitnya. Dia hanya ingin Han juga fokus pada masa depannya. Pria ini begitu cerdas, bahkan bisa menyaingi Alexander di perusahaan. Samantha memikirkan Han, lebih dari siapa pun. "Dia nggak ada bilang ke mana ini, Han?" tanya Rizky saat dia membaca surat itu setelah mengambilnya dari tangan Han. Han mengurai napas lelah, memijat puncak hidungnya setelah melepas kacamatanya. "Sam itu keras kepala banget, Riz. Kalau udah mutusin sesuatu, dia nggak akan berbalik lagi." "Ya jadi gimana? Lo mau tetap di sini atau-" "Gue telepon dulu Pak Narendra, minta dia melacak paspor Samantha apa memang Samantha keluar dari Inggris atau nggak. Kalau iya, gue balik ke Jakarta dulu." Han segera mendekati dinding untuk meraih gagang telepon dan menekan nomor telepon kediaman Narendra Atmadja. Panggilan tersambung dan diangkat oleh Narendra. "Ya, halo!" "Pak, saya Han. Ini bagaimana? Sam menghilang. Dia bilangnya udah keluar dari Inggris." "Tapi dia belum ada kabari ke sini," sahut Narendra, santai. "Bisa tolong lacak lewat paspornya? Kalau memang dia udah keluar dari Inggris, saya akan kembali ke Jakarta dulu." "Baiklah!" Setelah mengakhiri pembicaraan, Han mengajak Rizky pergi menuju bandara untuk mencari informasi terkait keberadaan Samantha. Sementara itu di Kediaman Narendra, Alexander mendengar ketika papanya mengangkat panggilan dari Han. Segera dia menghampiri, berwajah cemas. Sinar wajah papanya begitu dingin, tak ada kekhawatiran di sana. “Ada apa, Pa?” tanya Alex, cemas. “Apa lagi? Adekmu itu, lah. Bikin susah aja kerjanya. Han tadi nelepon, katanya si Sam ngilang. Dia bilangnya udah keluar dari Inggris, tapi nggak tau ke mana.” “Ya dicari dong, Pa! Gimana, sih?” Tak ingin membuang waktu, Alexander bersiap mencari keberadaan Samantha. Menyelidiki seseorang di London untuk melacak keberadaan Samantha apakah adiknya itu pergi meninggalkan Inggris atau tidak. Semalaman suntuk dia menunggu, akhirnya Narendra memberi kabar bahwa Samantha memang telah meninggalkan Inggris, lalu transit entah di mana. “Jadi selanjutnya gimana, Pa? Kita harus cari Sam di mana ini?” gusar Alexander. “Kita tunggu aja kabar dari dia. Anak ini tahan main-main sampai kapan, sih? Abis duitnya juga pulang.” Narendra tampak tak peduli, meninggalkan masalah begitu saja seolah paling mengerti Samantha. Menganggap putranya itu biang kerok dan tak peduli di mana Samantha sekarang. Saat Alexander beranjak, dia terkejut melihat Rose berdiri di sana. Tanpa suara, bias wajahnya sedih. Wanita itu pergi meninggalkan ruang tengah dan masuk ke kamar. Alexander mendekati meja telepon lebih dulu untuk menghubungi Han. Panggilan tersambung, Han mendengar dari sana. “Sebaiknya kamu pulang dulu, Han. Kita tunggu kabar dari dia. Jangan cemas! Aku akan utus orang untuk mencarinya,” kata Alexander, lalu meletakkan gagang telepon. Setelah itu, Alexander menyusul langkah istrinya itu masuk ke kamar. Berjalan mendekat, lalu memeluknya dari belakang. “Kenapa, Rose?” tanya Alexander. “Mas tanya ‘kenapa’?” tanya Rose setelah berbalik dan menjauhi Alexander. “Itu adik Mas ilang dan Mas masih tanya kenapa?” Alexander membisu menatap wajah gusar istrinya itu. Dia menjauhi Rose untuk mengambil stelan pijama dari dalam lemari. Seharian lelah bekerja, mondar-mandir untuk mencari informasi Samantha. Tentu dialah yang paling cemas saat ini. Akan tetapi, nada pertanyaan Rose itu membuatnya cemburu, kesal. “Mas masih berusaha cari keberadaan dia. Jangan khawatir! Sam juga udah dewasa. Mungkin ada hal yang harus dia lakukan makanya dia nggak nyaman dibuntuti Han terus. Tadi Mas juga udah nelepon Han, minta dia untuk balik ke sini.” Rose duduk di tepi kasur. Tak bisa dia sembunyikan kekhawatiran itu, namun dia takut Alexander tersinggung karena dia masih memikirkan Samantha. Meski menyingkirkan kenangan tentang sang kekasih dari pikirannya, tentu hati takkan semudah itu mengusir seseorang yang cintanya melekat di hati. “Rose.” Alexander duduk di samping Rose, mengusap kepala istrinya itu untuk menenangkan. “Beneran. Mas akan cari tau secepatnya keberadaan Sam. Jangan sedih lagi, ya!” Perhatian dan kasih sayang Alexander begitu melindungi Rose. Dia memeluk suaminya itu, merasakan pelan-pelan Alexander menepuk punggungnya. “Aku mikirnya Sam nggak berani pulang ke sini karena ada aku, Mas,” kata Rose. “Takut akunya canggung. Aku sayang sama Sam, tapi dia-” “Kamu sayang dan cinta sama dia. Tapi, berusahalah lupakan Sam, Rose. Kamu salah paham sama dia selama ini.” Rose menitikkan air mata. Salah paham? Dipejamkan lagi matanya, mengingat bagaimana indahnya binar mata Samantha ketika menatapnya dulu. Lalu tiap sentuhan dan kecupan, juga janji dan senyumnya. ‘Aku tau Sam ngelakuin ini cuma buat kamu, Mas. Tapi, meskipun aku tau perasaannya, kenapa aku tetap merasa sakit? Takdirku dan Sam, apa memang cukup sampai di sini?’ batin Rose. Rose yang mulai membangun hubungan dengan Alexander, sementara Samantha yang mulai menyingkir dari lingkaran takdir mereka. Akankah ada saat di mana garis takdir mereka terhubung? * Sudah dua bulan berlalu sejak menghilangnya Samantha, Han juga sudah kembali ke rumah Keluarga Atmadja. Walau dia kembali beraktifitas di perusahaan, tapi belum ada kabar terkait keberadaan Samantha. Han masih kelimpungan mencari informasi terkait Samantha. "Aku baru dapat kabar kalau Sam ada di Jepang sekarang!" Alexander membuka topik pembicaraan setibanya di rumah. Narendra tak memiliki tanggapan. Han terkejut. Setelah ini pasti dia berpikir untuk sibuk berkemas demi mencari Samantha di sana. "Jangan pergi ke Jepang, Han! Kita masih ada projek dengan PT. Belindo sampai akhir tahun," perintah Alexander. "Tapi aku khawatir sama Sam di sana, Mas. Gimana keadaan dia dan-" "Han!" Suara Narendra meninggi, menyurutkan rasa cemas Han untuk bicara dan mengurai sisi khawatirnya. "Lakukan apa yang harus kamu prioritaskan! Sudah ada yang memantau Sam di sana. Jangan membuatku kesal!" Narendra berlalu setelah mengecam Han yang pasti berniat menyusul Samantha di sana. Tak lama, bibi datang dari luar saat tadi terdengar suara pak pos membawa surat. Bibi tua itu berjalan santun dan berhenti tepat di hadapan Alexander. "Ini, Mas. Ada surat dari Den Samantha." Han sangat antusias, lebih mendekat agar cepat membaca surat yang dibuka Alexander. Pria itu duduk di sofa, membaca lebih dulu tiap baris kalimatnya. Han justru tertuju pada beberapa lembar foto yang terlihat dari sela amplop. Han meraih foto-foto itu. Han terkejut. Senyum tipis Samantha terurai bersama seorang gadis. Mungkin di sana sedang musim salju. Samantha memakai penutup kepala sampai sebatas leher dengan syal yang melilit di ceruk bahunya. Senyum yang indah menghiasi bibir pucatnya. 'Lo baik-baik aja, Sam?' Perhatian Han tak tertuju pada gadis cantik itu. Menatap senyum Samantha saja sudah membuatnya lega. Sementara itu, Alexander membaca deretan kalimat pada suratnya. Ungkapan hati yang menunjukkan betapa bahagianya Samantha di sana. [Hai, Lex. Ini pasti elo yang baca surat gue, kan? Atau Han? Iya, lah! Mana mungkin bokap. Hehe. Sorry, bikin khawatir. Gue kuliah di Jepang aja, bareng temen gue di sini. Di sana gue serem aja, jauh banget. Nggak bisa balik kalau kangen. Gue aman, kok, di sini. Ada Om Wiryo juga. Dan juga Akira. Ingat dia, kan? Anak Om Wiryo yang gendut itu. Gila! Cantik banget dia sekarang. Gue udah jadian sama dia. Pengen rayu Om Wiryo dulu biar dapat restu ngelamar anaknya ini dua tahun lagi. Semoga Lo sehat juga, bahagia terus ya. Salam juga buat Han dan Rose. Nanti kalau ada umur, gue pasti balik ke sana. Love you!] Samantha selalu bersikap sesukanya. Alexander tak ingin memaksa lagi. Dari cara menulisnya saja terlihat dia bahagia, lalu dia melihat foto-foto di atas meja yang tadi dilihat Han. Han yang gantian membaca surat itu. "Nih anak masih betah aja main-main. Ini malah sama anaknya Om Wiryo. Ketauan papa, bisa mampus dia!" gerutu Alexander saat melihat foto terakhir. Samantha tersenyum saat mencium pipi gadis itu. Tak mereka sadari, Rose sejak tadi mendengar pembicaraan mereka. Dia mendekat, lalu menarik foto yang ada di genggaman Alexander. Shock. Tak bisa Rose sembunyikan rasa sakit dan kecemburuan itu. Secepat ini Samantha bangkit di sana? Meski dia mulai membangun hubungan dengan Alexander, dia masih berharap keajaiban terjadi dan Samantha berubah pikiran. "Nggak, ini nggak benar, kan, Mas?" lirih Rose. Rose terlihat marah dan sedih. Dia pergi ke kamar untuk menyalurkan emosi dan jeri hatinya. Alexander pun menyusulnya. Akan tetapi, dia hanya bisa mematung di depan pintu mendengar jerit istrinya itu. "Sam!" Masih jelas terlihat cinta di mata Rose. Dia menjerit, menghancurkan barang-barang di kamar hanya untuk menyalurkan kemarahannya. Tangisan berderai dengan mata marah. Kamar itu nyaris seperti kapal pecah. "b******k!" Alexander kalah telak. Dua bulan berlalu, kini dia melihat cinta Rose membuncah hebat dari dadanya dengan terus meneriaki nama Samantha seperti orang gila. "Rose." Istrinya yang jatuh ke lantai sebab frustasi, Alexander segera mendekati dan memeluk erat istrinya itu. Melindungi dan menyadari bahwa dia hanyalah rumah tempat Rose bersembunyi. Yang dicintai wanita itu masih tetap Samantha. "Nggak, Mas. Nggak mungkin, kan? Sam bilang dia cinta sama aku. Dia nggak mungkin ngelupain aku di sana, kan?" Kemarahan dan rasa sakit yang berakar kuat hingga Rose pingsan di pelukan Alexander. Ketegaran Rose sirna, dia tak bisa melupakan Samantha. Alexander pun membawa Rose ke rumah sakit setelah seharian enggan makan sejak tak sadarkan diri malam itu. Bibirnya pucat, matanya cekung. Dia enggan makan apa pun, menolak semua yang masuk dan memuntahkannya. Tiga hari berikutnya, Alexander membawa Rose ke rumah sakit karena tubuh istrinya itu kekurangan banyak cairan dan juga kurang nutrisi. Dia butuh penanganan agar bisa kembali seperti sedia kala. "Bagaimana, Dok?" tanya Alexander, khawatir. Dokter separuh baya itu tampak khawatir, lalu melepas stetoskop dari gantungan bahunya, menyimpan ke dalam saku jas putihnya. "Untuk beberapa hari ini, biarkan Nyonya Rose ditangani di sini. Saya takut kesehatan mental dan fisiknya akan mempengaruhi perkembangan janinnya yang masih muda." Alexander terkejut, lebih mendekat pada dokter itu untuk memastikan pendengarannya. "Maksud Dokter? Istri saya-" "Ya, Pak Alex. Istri Anda hamil. Tolong dijaga kesehatan fisik dan mentalnya setelah ini." Tak henti Alexander merapal lafadz hamdalah atas kehadiran benih cintanya di rahim Rose. Dia meminta seorang perawat pribadi untuk menunggui Rose di rumah sakit sementara dia pulang ke rumah untuk memberi kabar bahagia itu. "Pa! Aku bakalan jadi ayah!" Teriakannya menjadi irama tersendiri di rumah itu. Narendra sangat bahagia karena akan kedatangan cucu pertama. Dia memeluk Alexander, mengucapkan selamat pada putra sulungnya itu. "Selamat, Lex." "Makasih, Pa." Kebahagiaan yang ditatap nanar oleh Han. Dia hanya mematung, membisu dengan garis takdir Rose dan Samantha yang semakin jauh. Akan ada seorang bayi yang menghalangi kembalinya Rose pada Samantha. Mungkin Rose akan mutlak melupakan Samantha saat dia menjadi seorang ibu. 'Apa semuanya sampai di sini aja, Sam?' * Seharian bekerja di kantor menjadi tak tenang. Dia selalu menghubungi pihak rumah sakit untuk memantau Rose selama masa penyembuhan fisik dan mentalnya. Istrinya itu harus melakukan terapi untuk menguatkan perasaannya dari semua masalah. Tak sabar rasanya Alexander pulang. Setelah menyelesaikan janji temu dengan pengusaha batu mulia asal Brunei itu, Alexander segera meninggalkan kantor untuk pergi ke rumah sakit. Kebahagiaan itu semakin nyata. Setibanya di rumah sakit, Alexander menatap Rose yang masih terbaring di kasur. Suster di sampingnya sedang menyuapinya makan malam. Dia segera menghampiri, lalu suster itu pergi meninggalkan ruangan. "Mas Alex abis dari mana? Keringetan gitu?" tanya Rose. Alexander menjejakkan ciuman manis di dahi Rose, lalu menangkupkan tangannya di pipi Rose. "Dokter udah bilang kalau kamu hamil, kan?" Sesaat Rose menunduk, lalu kembali menyambut pandangannya dengan senyum tipis. "Iya, Mas. Selamat, ya! Mas akan jadi seorang ayah," kata Rose, sendu. "Makasih, Rose." Rose terhenyuh saat mendapati pelukan hangat Alexander. Suaminya itu sangat bahagia hingga Rose merasakan pria itu sedikit gemetar untuk mengurai syukur. Sesekali terdengar bisik manis Alexander di telinganya untuk menyampaikan rasa terima kasih. "Tolong jaga bayi kita, Rose. Kamu harus kuat buat dia, ya." Alexander melepaskan pelukan itu, lalu mengusap rambut legam Rose. "Oh iya." Teringat sesuatu, dia merogoh saku jasnya untuk mengambil kotak perhiasan dari sana. "Rejeki calon baby. Tender sama Mr. Ashraf Husein lolos dan akan mulai kerja sama dalam waktu dekat ini di perusahaan kita. Ini ada sedikit hadiah darinya." Sebuah kalung dengan batu berwarna merah delima itu begitu cantik menyembul dari bantalannya. Alexander mengambil kalung itu, lalu menunjukkan pada sang istri. "Cantik banget, Mas." "Ini batu rubi. Buat kamu." Alexander pun memakaikan kalung itu pada sang istri. Sedikit ragu awalnya, akhirnya dia menyampaikan rasa syukur dan cinta lewat kecupan manis di bibirnya. Setelah itu, dia memeluk bahu mungil sang istri. Rose menatap kalung itu, mengusapnya sejenak. "Kalungnya cantik, Mas." "Rubi, itu akan jadi nama anak kita nanti." "Kalau anaknya cowok? Atau cewek?" "Ya sama aja. Kan, bagus namanya. Aku suka. Kehadiran calon bayi kita dan juga kesuksesan projek perusahaan, itu akan mengingatkan kita pada calon bayi kita." Rose mulai tersenyum. Disapunya pelan perutnya yang masih rata. Ada rasa bahagia ketika Tuhan mengizinkannya menjadi seorang ibu. "Rubi sehat-sehat di sana, ya! Bantu mama dan lahirlah ke dunia ini dengan sehat dan selamat."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN