“Suti!”
San yang baru saja sampai di depan rumah sudah memanggil-manggil nama istrinya. Ia membawa sebuah bingkisan berwarna coklat yang ia dapatkan dari rumah Pak Dokter tadi, selepas mengantarkannya pulang usai insiden Maman yang cukup mengejutkan. Wajahnya terlihat berseri. Ia senang sekali bisa membawakan sesuatu untuk istrinya yang sedang hamil tua itu. Meski terlihat kasar karena logatnya yang memang seperti itu, pada kenyataannya San adalah orang yang hangat. Terlebih pada Suti. Ia benar-benar menyayangi dan mencintai Suti. Rasa cintanya tidak pernah berubah, dadanya masih berdegup sama seperti saat mereka masih berpacaran dahulu.
Tak lama, perempuan yang dipanggil namanya itu keluar dari dalam rumah, menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk. Ia baru selesai mandi. Perempuan itu memakai daster berwarna merah jambu dengan motif bunga-bunga yang besar. Kulitnya kuning langsat, ia sedang berbadan dua.
“Apa ini, Bang?” tanyanya setelah menerima bingkisan yang disodorkan San untuknya.
“Ah, tadi aku antar Pak Dokter ke rumahnya. Itu yang bagus di dekat pengkolan itu. Tahu kan kau?” jawab San dengan nada yang terlihat riang.
Kemudian keduanya duduk di bangku bambu di depan rumah. Menikmati sore sambil mengobrol tentang apa yang baru saja San lalui. Suti merasa penasaran, bagaimana bisa, Pak Dokter dari klinik itu memberi bingkisan untuk San.
“Memangnya Abang teh ngapain? Kok bisa sampai antar Pak Dokter pulang ke rumahnya? Antar pakai apa?”
Ia tahu kalau San memang tidak memiliki motor. Karena tadi berangkat ke luar pun, San itu berjalan kaki. Begitu pula saat kembali dari mengantar motor milik Mang Rusli. Ia berjalan kau untuk sampai di rumah dan memberikan bingkisan itu pada istrinya.
Suti mengintip isi bingkisan dari Pak Dokter itu. Rupanya berisi Madu Mongso, sejenis dengan wajit yang berwarna lebih pekat dan dibungkus dengan plastik kecil-kecil. Kemudian, diikat dengan tali rami. Rasanya manis manis asam.
“Kau tahu tak rumah dekat gardu sana? Yang di ujung jalan pintu masuk kampung itu. Yang cuma satu paling depan itu, dekat kebun bambu. Bah, gila kali!”
Tanpa menatap suaminya karena masih asyik membuka bingkisan, Suti kemudian menjawab, “Iya, tempat service televisi kan?”
San bangkit. Pindah ke tempat yang lebih dekat dengan Suti, sehingga mereka berdua hadap-hadapan. Dengan wajah yang serius, lelaki itu berkata, “Ah, betul itu. Si Maman itu. Sudah gila rupanya dia. Macam tak punya Tuhan. Bah, kau kalau ada kesulitan bilang sama Abang, ya! Jangan macam si Maman itu!”
Suti mengeluarkan satu Madu Mongso dan mulai mengupasnya. Ia memang suka makanan manis seperti itu. Ditambah, makanan khas dari Jawa bagian Timur itu memang sangat jarang sekali ditemui. Harus ada orang yang sengaja pergi ke sana dan pulang membawanya sebagai oleh-oleh.
Setelah memasukkan Madu Mongso yang telah dikupas itu ke dalam mulut, ia menanggapi perkataan San, “Kenapa gitu dia teh, Bang? Ada yang salah?”
Merasa makanan yang ada di dalam mulutnya itu terasa lezat, ia kemudian mencomot satu buah lagi setelah menelan habis madu mongso yang ia kupas sebelumnya.
“Bah, jelas ada. Otaknya yang salah. Kau tahu? Mamaknya lari-lari macam orang kesetanan. Untung saja aku dan si Bang Iwan itu sedang asik mengobrol di gardu. Macam mana kalau tak ada orang? Bah, bisa mati betulan itu si Maman!”
Suti masih saja asyik dengan Madu Mongsonya. Ia hanya menimpali ocehan San, tanpa melirik lelaki itu sama sekali. Sementara itu, meskipun ceritanya San itu berbisik, tetap saja suaranya yang khas terdengar keras.
“Kalau cerita itu yang jelas atuh, Bang. Kenapa sepotong-sepotong begitu. Kan Suti teh jadi gak paham gitu. Gak jelas itu cerita teh ke mana arahnya.”
Suti mengupas satu buah lagi. Tapi, kali ini tidak ia masukkan ke dalam mulutnya, melainkan ia sodorkan ke arah San. San menggelengkan kepala. Berbanding terbalik dengan Suti yang amat menyukai makanan manis, San malah tidak menyukainya. Bukan tidak bisa memakan makanan manis, hanya saja ia tak tertarik. Ia hanya tidak ingin.
“Abang memang belum selesai bercerita, Suti. Jadi, Mamaknya si Maman itu lari-lari teriak tolong. Akhirnya, Abang dan si Bang Iwan itu berlari hendak tolong dia orang. Bah, kaget bukan main aku. Si Maman sudah tergeletak macam tikus sekarat. Tangannya sudah berdarah. Banyak kali. Syok pulak aku dibuatnya. Lalu, aku berlari ke rumahnya Bang Rusli, kupinjam itu motornya buat antar si Maman itu ke klinik.”
“Terus?”
“Motornya tak bisa distater pulak. Sampai mau copot rasanya kakiku main selah. Sudah hidup motor itu, bah, kulihat Pak Dokter sudah bungkus tangan si Maman pakai perban. Dia orang bilang, baru pulang dari puskesmas. Ya sudah, kuantar pulang ke rumahnya sekalian.”
Suti mengangguk-anggukkan kepala. Tidak lagi banyak bertanya. Sementara, langit sudah gelap, suara bedug sudah terdengar.
“Bah, sudah magrib saja. Ayo masuk, Suti.”
San memboyong istrinya untuk masuk ke dalam rumah. Setelah mereka masuk ke dalam kamar, ia ingat sesuatu. Hal yang dikatakan oleh Iwan padanya sewaktu di pos kamling tadi.
“Bah, lupa pulak aku mau cakap.”
Langkahnya tiba-tiba saja terhenti.
“Kenapa, Bang?”
“Malam ini, malam gerhana. Kau kan penduduk sini, tak tahu kah kau harus apa?”
Suti terkekeh mendengar ocehan San.
“Apa, Bang? Sembunyi di kolong ranjang, kan?”
Meskipun Suti memang penduduk kampung sini, rupanya Suti tidak terlalu menganggap hal-hal seperti itu adalah hal yang wajib. Seperti percaya tak percaya.
“Iya, Suti. Kau harus sembunyi di kolong ranjang itu.” San benar-benar serius.
“Kan kita pakai springbed, Bang. Mana ada kolongnya?”
Suti menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan suaminya itu. Ada ada saja.
“Lagipula, itu udah lama banget atuh. Cuma mitos aja. Abang masih percaya mitos kaya gitu, Bang?”
Dilihat dari ekspresinya, Suti memang terlihat tidak begitu peduli dengan adat yang berlaku di kampung itu. Terlebih, ia juga belum lama kembali ke kampung tersebut karena bapaknya yang mewariskan rumah itu untuk Suti setelah bapaknya meninggal dunia.
“Bah, itu di kamar sebelah kan ranjang bekas ibu kau itu ada. Ngumpet lah kau di kolong sana.”
“Tapi-“
“Sudah, menurut saja kau. Buat anak kita juga.”
Akhirnya, malam itu, begitu gerhana bulan itu terlihat, Suti berjalan ke kamar sebelah yang sudah beberapa bulan ini dikosongkan. Meski demikian, Suti selalu membersihkan Kamar tersebut. Tidak ada debu yang terlihat. Begitu pula dengan kolong ranjangnya. Kamar itu bekas mendiang ibunya yang beberapa bulan lalu sudah berpulang. Ia, dengan susah payah karena perutnya yang sudah membesar itu akhirnya mencoba untuk berbaring di kolong ranjang yang sebelumnya sudah ia sapu terlebih dahulu, begitu mendengar perintah dari San untuk memastikan kalau di bawah sana benar-benar bersih.
Namun, begitu ia berbaring beberapa menit di sana, sementara San bilang ia akan mengambil minum sebentar karena haus, ia merasakan sesuatu dan mulai berteriak. Memang benar, ia hanya perlu berbaring di sana beberapa waktu saja. Tidak sampai semalam suntuk. Setidaknya sampai gerhana bulan itu berakhir. Tapi, belum terhitung lama, sudah terjadi sesuatu.
San yang baru saja menuang air dingin yang ia dapatkan dari kulkas dengan segera berlari ke kamar tempat Suti akan membaringkan badannya. Sebelumnya, San memang sudah bilang kalau nanti, begitu Suti bersembunyi, San juga akan ada di sana menemaninya. Agar Suti tidak ketakutan di kolong ranjang.
“Kenapa, Suti? Kenapa kau berteriak?”
Sementara Suti yang terlihat sudah keluar dari kolong ranjang itu malah menangis sesegukan. Segera, ia berhambur memeluk San dengan begitu erat. Detak jantungnya terdengar begitu cepat. Keringat membasahi wajahnya. Malam itu, San kembali membawa Suti ke kamar tidur mereka.
Sementara itu, setelah menangis begitu kencang, Suti masih bungkam. Ia belum menceritakan apapun pada San. Begitu pula San yang tidak mendesak Suti untuk berbicara. Ia membiarkan Suti untuk tenang terlebih dahulu, sebelum menceritakan apa yang terjadi padanya.
***
San menyodorkan segelas teh hangat untuk Suti.
“Diminum dulu, tenang saja kau, Suti. Abang tidak akan ke mana-mana. Jadi, tak perlu kau risau.”
Sekarang ia sudah sedikit tenang. Sampai malam habis dan berganti pagi, Suti tidak mengatakan apapun atau menyinggung tentang apa yang ia lihat baru saja. Sampai akhirnya, menjelang siang hari Suti baru angkat bicara.
“Sebenarnya tadi malam itu, begitu Suti berbaring di kolong ranjang, Suti ngerasa ada tangan, Bang.”
“Ya kau kan memang punya tangan, Suti.”
Suti melemparkan tatapan sinis. Suaminya ini memang senang sekali bercanda, padahal ia sedang serius.
“Bah, maaf-maaf. Tangan apa yang kau maksud itu?”
“Ada tangan ngerayap ke perut Suti, Bang. Begitu Suti nengok, wajahnya seram. Rusak. Suti takut, Bang,” jelas Suti panjang lebar.
Rupanya, malam itu, saat ia bersembunyi di kolong ranjang, ada makhluk lain yang menemaninya berbaring. Bahkan sampai memegangi perut Suti yang sudah buncit itu. Pantas saja perempuan itu amat ketakutan. Tapi, rupanya dari sinilah semua berawal.