Bayi Suti

1449 Kata
“Ih! Tangan siapa atuh itu teh?” Dita adalah orang yang memberi respon paling pertama pada cerita Nia tentang Teh Suti di malam gerhana. Sementara itu, aku dan Rendi turut memajukan wajah kami, memasang telinga agar dapat mendengar dengan jelas cerita yang dibawakan Nia. Ini sepertinya menarik. Bagaimana tidak, biasanya aku hanya menonton acara seperti ini dalam televisi, sekali lagi, aku menyaksikannya langsung. Tidak sih, melalui cerita Nia. Tapi karena ceritanya kisah nyata, rasanya lebih mencekam dibanding film yang jelas jelas memang sengaja di buat. “Aku juga kurang paham, sih. Cuma waktu malam itu teh jadi gempar da Teh Sutinya teriak sampai orang-orang pada keluar katanya. Lah kan rumah Nia mah jauh atuh dari rumah Teh Suti. Jadi, ya denger cerita orang-orang aja.” Nia menjelaskan. “Tepat di malam gerhana?” Rendi kali ini yang bersuara. Jika di malam biasa saja warga penduduk sini enggan keluar rumah, ini jelas-jelas malam gerhana, tapi mereka semua berani keluar rumah. “Iya, ya meskipun sebenernya yang lain juga ragu-ragu mau keluar rumah. Kalau Nia di sana sih, kayanya sama. Gak keluar penasaran, tapi mau keluar juga da gimana. Lagian pasti banyak temannya ini. Hehe.” “Cuma memang Teh Suti histeris banget waktu itu.” Tiba-tiba Teh Kinar menimpali. Memang betul, ia melihat kejadian itu secara langsung karena rumah Teh Kinar dengan rumah Teh Suti yang sedang Nia ceritakan ini tidak terlalu jauh. Berseberangan malah. Sama seperti rumah Wak Jaman dengan rumah Nyai. Bisa saling lihat, begitu. “Terus gimana, Teh?” Kali ini, Dita ganti menodong pertanyaan ke Teh Kinar. Bukan ke Nia lagi. Karena ia tahu ada saksi mata yang lebih valid informasinya. “Cukup lama Teh Suti teh nangis histeris. Dugi tatangga kalaluar sadaya. Sampai semuanya pada keluar. Gak peduli lagi kalau malam itu teh memang malam gerhana. Aku juga jadi penasaran atuh, yaudah weh keluar. Basa eta, mah, Teh Suti lagi diriung-riung. Orang-orang sudah berkerumun, begitu. Tadinya mah kata Bang San, Teh Suti dibawa ke kamar tidur mereka. Cuma Teh Suti nangisnya enggak berhenti-berhenti ceunah. Jadi Bang” Dita mengangguk-anggukkan kepala. “Terus, Teh Suti cerita tidak tentang tangan di kolong ranjang itu?” Akhirnya, yang paling tpan di antara kami bersuara setelah sekian lama hanya menyimak cerita yang bergantian diceritakan oleh Nia dan Teh Ranti. Iman juga menyimpan banyak pertanyaan sepertinya. Mengingat bagaimana cara ia menyimak dengan serius, seperti aku. Meskipun aku sesekali malah memperhatikan wajah-wajah yang lain saat menyimak cerita Nia dan Teh Kinar. “Pas ditanya mah, jawabnya enggak tahu. Teh Suti cuma ingat kalau makhluk itu teh hitam pekat, begitu. Wajahnya ketutupan rambut yang lebat. Cuma, tangannya teh panjang-panjang. Seperti ranting pohon kering.” Aku, Rendi, juga Dita yang mendengar penjelasan Teh Kinar mengangguk-anggukan kepala. Sepertinya, cerita ini akan menjadi sebuah dongeng yang panjang. Sebelum salah satu dari kami diteriaki untuk pulang, cerita tentang kampung ini sepertinya tidak akan kelar. Bahkan, meskipun kami sudah bubar dan masuk ke dalam rumah masing-masing, aku berani taruhan, kalau esok harinya, cerita tentang segala yang terjadi di kampung ini akan kembali diperbincangkan. Tapi, sebentar. Mahluk hitam pekat? Apakah itu sama dengan yang malam itu kulihat di kandang hewan ternak? Yang menggerogoti leher hewan itu sampai darahnya berceceran ke mana-mana? Tanpa sadar, kupetik kacang kapri rebus dan mulai memasukkannya ke dalam mulut setelah mengupasnya. Sejak tadi, aku memang belum memakan satu pun kacang rebus itu. Tak tertarik. Mungkin karena di kota juga jarang sekali aku makan makanan seperti ini. Tapi, entah kenapa, rasanya memang lebih lengkap jika mendengar cerita sambil menyantap kacang kapri rebus ini. “Tapi, ini mah belum seberapa.” Lagi-lagi, perkataan yang keluar dari bibir Nia memancing rasa penasaran kami. Untuk memastikan apakah benar dugaanku kalau mahluk itu tidak hanya halusinasiku saja. Kalau ada orang lain yang juga bisa melihatnya, atau kebetulan melihatnya. “Kalian sudah pernah ketemu Teh Suti akhir-akhir ini?” tanyanya yang membuat kami bertiga penasaran. Ya, meskipun aku yang paling cepat menggelengkan kepala. Jangankan ketemu Teh Suti. Namanya saja baru kutahu saat mendengar cerita Nia ini. Lagipula, kan, aku memang jarang ke mana-mana. Saat Nia mengajakku jalan-jalan kemarin pun, tak banyak ku temui warga saat papasan di jalan karena perkampungan ini memang begitu sepi sekali. Kalau kata Dila dan Jani sih, aku ini mungkin nolife. Alias tidak ada kehidupan. Penyendiri. Intovert. Dan sejenisnya. “Eh, iya juga. Perasaan aku jarang lihat deh,” celetuk Dita yang memang rumahnya agak jauh dari rumah Teh Suti. “Apalagi saya. Hehe. Tahu sendiri, saya paling ya, antar jemput bapak kalau sedang ada urusan. Sisanya ya, diam saja di dalam kamar.” Begitu jawaban Rendi. Sepertinya, Rendi memang tipikal yang mirip denganku. Jarang keluar rumah dan senang menyendiri di dalam kamar. Tidakkah kalian tahu wahai manusia-manusia yang sering berkeliaran di luar rumah? Menikmati waktu sendirian di dalam kamar adalah me time terbaik! Kali ini, Teh Kinar memajukan badan. Duduk lebih dekat dengan kami. Sepertinya ia akan membawakan sesuatu untuk kami. Sebuah cerita tentunya. “Kejadian malam itu teh baru awal dari semuanya.” Awal dari semuanya gimana maksudnya? “Apa ada yang lihat Teh Suti bawa bayinya keliling kampung?” Dita dan Rendi menggelengkan kepala. Sementara aku diam saja. Nia juga diam, tapi ia memiliki alasan yang berbeda denganku tentunya. Jika aku diam karena memang tak tahu apa-apa tentang kampung ini dan penghuninya, sementara Nia sepertinya sudah tahu tentang arah pembicaraan Teh Kinar. Ia yang juga menyaksikannya malam itu sudah pasti tahu cerita ini. Ditambah, Nia itu sudah kubilang layaknya Lambe Turah yang tak pernah ketinggalan informasi. Ia memiliki segudang pengetahuan tentang masalah-masalah terupdate dari semua penduduk di kampung ini. “Iya, lho. Kenapa aku teh enggak ngeuh ya? Perasaan mah denger-denger udah lahiran, kan?” Dita yang sepertinya isi kepalanya telah terkoneksi dengan cerita tersebut mulai menerka-nerka. Masih menunggu jawaban yang benar keluar dari mulut salah satu dari mereka, Teh Kinar maupun Nia. Kali ini, aku menjadi seorang penyimak lagi. “Setelah insiden tangan itu teh, enggak lama Bang San sibuk lagi.” Kebiasaan. Apakah setiap bercerita harus bertele-tele hingga aku harus begitu sabar mendengarkan kelanjutan ceritanya? Kenapa tidak langsung pada inti ceritanya saja, sih? “Atuh kalau cerita teh jangan separuh-separuh, Nia! Penasarannya udah di ubun-ubun ini teh!” Nia memang kembali mengambil alih cerita. Setelah Teh Kinar menjadi pembuka pembicaraan tentang awal mula kejadian, ia menyerahkan nya pada Nia si pedongeng handal alias lambe turahnya kampung. “Ya, pan kamu ge tahu sekarang kaya gimana Teh Suti, teh.” Nia yang kesal mendengar celetukan Dita berkomentar. Padahal, celetukan Dita benar-benar mewakiliku. Hanya saja aku diam. Dalam hati, aku dukung penuh kamu, Dita! “Tetep aja, kalau belum dengar cerita versi Nia, kan asa ada yang kurang gitu!” Nia menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban yang keluar dari bibir anak perempuan itu. Rasanya jika aku menjadi Dita pun, aku akan melakukan hal yang sama dengannya. “Bayinya lahir. Selang beberapa hari.” Seketika, semua mata tertuju ke arah seseorang yang berbicara. Bukan Nia lagi, melainkan Teh Kinar. Kami yang mendengar ia mengucap hal demikian seketika terfokus. Dilihat dari wajah Dita dan Rendi, sepertinya banyak sekali pertanyaan yang berloncatan di kepala mereka, meminta untuk dijawab. Namun, urung mereka tanyakan. Tapi ya lagi-lagi, namanya juga Dita. Ia tidak akan tinggal diam begitu mendengar cerita yang belum lengkap. Ia pasti menyanggah, berkomentar, mengkritik, protes, atau apapun itu. “Memang sudah usianya ya? Perasaan waktu terakhir aku pergi kan hamilnya perasaan masih kecil.” Seketika Teh Kinar terkekeh mendengar ucapan Dita. “Kamu pikir waktu di perkampungan ini akan berhenti begitu kamu keluar dari sini? Enggak, atuh, Dita!” “Aneh juga, sih. Memang usia kandungannya belum mencapai Hari Perkiraan Lahir. Orang nembe tujuh bulan waktu itu. Kalau enggak salah mengingat, beberapa waktu sebelumnya, ada pengajian tujuh bulanan di kampung. Pengajian untuk Teh Suti tadi.” Sejenak pembicaraan itu terhenti. Teh Kinar menghela napas. “Beberapa hari setelah ia berkata kalau ada tangan kurus panjang yang mengelus-elus perutnya, ia merasakan sakit. Seperti kontraksi saat akan melahirkan.” “Akhirnya, jadilah lahiran terpaksa. Karena memang belum dekat hari perkiraan lahir. Malam itu, dengan dibantu Pak Dokter, Teh Suti teh dibawa ke klinik dan melahirkan.” Sekali lagi, kami terlena dengan cerita yang dituturkan oleh Nia, seakan-akan sedang menonton reka adegan di tempat kejadian. “Kejadiannya sehabis isya. Untungnya Pak Dokter belum menutup klinik. Mereka pergi ke sana, Bang San menunggu proses lahiran beberapa jam. Sampai tepat tengah malam, katanya bayinya lahir. Tapi tidak bersuara. Tidak seperti bayi-bayi pada umumnya.” “Jadi, bayinya meninggal?” Aku yang sudah penasaran bertanya pada Nia. Sementara itu, Nia mengangguk. Mengiyakan pertanyaanku. “Bayinya enggak selamat. Padahal, beberapa waktu lalu mereka baru saja USG dan melihat hasilnya. Bayinya sehat. Laki-laki.” “Entah lahir terpaksa karena trauma, atau karena apa.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN