“Jadi sebenernya Kang Maman teh udah mau bunuh diri dari saat itu? Gitu, Teh Nia?”
Dita yang memiliki poni depan seperti Dora the explorer itu menyimak cerita Nia. Rupanya, bukan hanya aku yang senang ketika mendengarkan Nia bercerita. Ia memang cocok menjadi seorang pendongeng. Seharusnya kudorong saja Nia agar mau menjadi seorang guru. Pasti murid-murid di sekolah akan menyukainya. Terlebih murid-murid di Sekolah Dasar atau Pendidikan Anak Usia Dini.
“Untungnya waktu itu Kang Iwan sama Bang San ada di pos kamling. Kalau enggak ada, yaa sudah tewas saat itu juga,” sanggah Nia, mencoba menjelaskan situasi yang terjadi saat itu.
Rendi yang duduk di hadapanku juga turut menyimak. Ia mengangguk-anggukan kepala. Tidak banyak berkomentar tentang apa yang terjadi karena saat itu pun ia tak tahu kejadian nya seperti apa.
“Tapi, kata Dokter itu lukanya enggak dalam lho. Berati kan enggak bakal meninggal,” celetuk Dita lagi. Ia menyangkal kalau memang si Kang Maman ini berniat bunuh diri. Aku juga sempat berpikir. Kenapa kang Maman tidak langsung menusuk lehernya saja? Atau jika pecahan kacanya besar, tusuk d**a agar sampai ke jantung. Ya paling tidak, kenapa pecahan kaca itu tidak ia tancapkan ke nadinya, jika memang benar ia berniat untuk mati saat itu juga. Pikiranku terlalu kejam memang. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya karena aku kebanyakan menonton film Thriller, akhirnya isi kepalaku terpengaruhi dengan cerita-cerita menyeramkan seperti itu juga.
“Tetep aja atuh ai sudah kehabisan darah, mah, Dit. Siapa yang tahu, bener teu?” Kali ini teh Kinar yang bersuara. Ia beranggapan kalau pun pecahan kaca itu tidak menyayat dalam ke nadi, ia tetap bisa mati karena kehabisan darah. Mungkin akan lebih lama dan menyakitkan. Kalau kata aku sih, begitu.
“Pasti waktu itu ramai sekali, ya. Sayangnya saya tidak sedang di kampung ini.”
Rendi juga ikut angkat bicara. Setelah menyimak penjelasan dari Nia tentang sosok yang sekarang ini melakukan bunuh diri, ia merasa sudah melewatkan banyak hal menarik dari kampung ini selama ia pergi. Hal yang sebenarnya mengerikan, tapi tampak begitu menarik untuk diculik dan dibicarakan terlebih oleh anak remaja seusia kaki yang memang sedang ingin banyak tahu. Bukan tahu sumedang yang bisa di makan itu lho, ya!
Sepertinya hanya aku yang paling tenang sekarang. Sebelumnya, kupikir hanya akulah yang paling berisik dan paling ingin banyak tahu. Seringkali aku memberondong Nia dengan banyak pertanyaan yang bahkan, pertanyaan sebelumnya saja belum terjawab olehnya. Tapi, begitu aku berkumpul dengan mereka, aku lah yang menjadi satu-satunya penyimak yang paling tenang. Mungkin, karena aku juga masih baru dan masih merasa canggung. Takut kalau-kalau ada sikapku yang tidak mengenakan mereka. Akhirnya, aku hanya mengangguk-anggukan kepala sesekali sebagai tanda aku paham dengan penjelasannya.
“Ah, iya. Tadi teh Dita ada denger satu lagi.”
Anak perempuan yang paling kecil di antara kami itu berujar sembari memotek satu lagi kacang kapri, mengupasnya dan memasukkan ke dalam mulut. Sambil mendengarkan Nia bercerita memang paling enak rasanya sambil memakan kacang kapri ini. Ibarat memakan pop corn begitu kami sedang menonton film di bioskop. Ya, versi lowbudget nya lah, kira-kira.
Teh Kinar yang tadi hanya menanggapi sesekali, Lagi-lagi turut bersuara. Ia juga kebetulan ada saat kejadian itu terjadi. Apalagi, rumahnya juga memang lebih dekat dengan tokoh kedua yang disebutkan oleh Nia sebelumnya. Si Teh Suti atau Suri siapa itu tadi.
“Malam gerhana, yang kejadiannya Teh Suti itu lain?”
Dita langsung mengiyakan begitu mendengar Teh Kinar bertanya. Kebetulan, Dita juga memang sedang tidak ada di kampung itu begitu hal yang menimpa Teh Suti itu terjadi.
“Memangnya kamu teh enggak ada di kampung ini juga ya pas kejadian itu?”
Kali ini Nia balik bertanya pada Dita. Setelah sejak tadi Nia hanya bercerita tentang apa yang ia ketahui pada malam itu.
Dita menggelengkan kepalanya. Ia memang tinggal di perkampungan tersebut. Asli. Keturunan sana. Sama seperti Nia yang sejak kecil memang tinggal di kampung itu. Ayah dan ibu Dita merupakan penduduk asli kampung tersebut. Meskipun ibu Dita sebenarnya penduduk tetangga kampung. Tapi, tetap saja, jatuhnya Dita adalah penduduk asli tempat ini, kan?
“Kan Dita lagi ikut sama Mang Asep ke Bandung, waktu itu anaknya nikahan. Jadi weh, Dita gak hapal ceritanya. Enggak rame, ya? Kok perasaan sepi-sepi aja?”
Semua mata tertuju pada Dita yang saat itu mengoceh panjang lebar, termasuk aku. Kacang kapri rebus yang ada di depan kami rupanya telah habis, tinggal cangkangnya saja. Semua telah raib di makan anak kecil itu. Sayangnya, kami tidak bisa marah. Karena sikap Dita yang memang terlihat menggemaskan. Nia yang meskipun matanya masih terfokus pada Dita yang saat itu bicara, tangannya meraba-raba, mencari kacang kapri yang masih ada isinya. Tapi, nihil. Sepertinya Nia tidak menemukan satu pun kacang yang masih bersisa.
“Stop! Buntirisna seep. Heup heula. Nia ngambil lagi, biar enak ceritanya.”
Seketika kami terdiam. Menghentikan pembicaraan kami yang sedang seru-serunya. Tanpa aba-aba lagi, Nia bangkit dari dipan bambu tempat kami berlima mengobrol. Ia berlari ke dapur dan membawa sebakul lagi kacang kapri rebus, juga teko berisi teh yang masih hangat.
“Sok, lanjutkeun!”
Anehnya kami menurut saja dengan aba-aba dari Nia itu.
Kami melanjutkan cerita yang sempat terputus tadi. Terakhir kali, Dita bertanya tentang kejadian yang menimpa Teh Suti pada malam itu. Aku juga sebenarnya sudah penasaran. Nia baru saja cerita sampai Bang San yang mengantar Sang Dokter ke rumahnya. Rumah besar di dekat pengkolan, tak jauh dari klinik di ujung perkampungan yang beberapa hari lalu, aku dan Nia lalui. Aku ingat, rumah itu memang sedikit mencolok. Berbeda dengan rumah-rumah lainnya yang kutemui, yang kebanyakan seperti rumah Nyai yang masih begitu terlihat sederhana dan tradisional, di mana kebanyakan dari bahan rumahnya adalah kayu dengan potongan rumah jaman dahulu, rumah di pengkolan itu benar-benar seperti dunia yang berbeda. Rumah yang didesain begitu modern, tapi auranya terlihat gelap. Dengan pagar hitam tinggi, yang menutupi bagian depan rumahnya. Entah kenapa aku merasa demikian.
“Ih, gimana atuh kelanjutannya, Teh Nia cantik?”
Seketika, Teh Kinar, Nia, dan Rendi melemparkan tatapannya ke arah orang yang baru saja berbicara. Dita tidak biasanya memanggil Nia dengan sebutan dan embel embel cantik di belakang kalimatnya. Ia benar-benar sedang merayu dan ada maunya.
“Pas ada maunya aja, baru manggil teteh cantik,” ledek Teh Kinar.
Dita yang diledek hanya senyum-senyum kikuk karena sudah terbaca maksud dari perkataannya oleh Teh Kinar.
“Jadi, mau dilanjut enggak, nih?”
Nia bertanya setelah beberapa waktu kami menertawakan tingkah Dita yang memang masih kekanakan. Maklum saja, Dita kan memang yang paling kecil di antara kami berlima.
“Mau!” serempak, aku, Dita, dan Rendi berseru. Sementara Teh Kinar yang melihat kelakuan kami malah semakin terkekeh geli. Ia sudah tahu ceritanya. Selain Nia, Teh Kinar memang ada di kampung ini. Terlebih rumah mereka, Teh Kinar dan juga Teh Suti yang sedang diceritakan Nia itu memang tidak terlalu jauh jaraknya. Teh Kinar hampir selalu tahu apa yang terjadi di kampung. Ia jarang sekali keluar kampung. Paling ya, untuk belanja keperluan dapur ke pasar. Itu pun, jika di tukang sayur keliling tidak ada. Selama bahan yang diperlukan ada di tukang sayur keliling, Teh Kinar tidak pergi ke mana pun. Duh, betah ya. Kalau aku sih, sudah mati kutuuu!
“Jadi gimana atuh?”
Lagi-lagi, Dita bertanya. Paling berisik rupanya anak perempuan ini. Beruntung Nia memiliki aku sebagai sepupunya, bukan Dita. Bayangkan, sepanjang malam ia akan terus mengoceh minta diceritakan ini dan itu, bisa-bisa Nia tidak akan tidur sampai pagi datang. Padahal, punya sepupu sepertiku saja sudah amat merepotkan.
“Jadi, kan Bang San teh pulang tuh dari rumah Pak Dokter. Terus dibawain bingkisan. Oleh-oleh dari istrinya yang kemarin ada dinas luar kota katanya. Sehabis nganterin Pak Dokter dari rumah Maman. Katanya, rumah Pak Dokter teh bagus banget. Asaan mah, baru Bang San aja yang udah pernah masuk ke rumah Pak Dokter itu teh.”
Nia menjelaskan panjang lebar. Tapi, belum masuk ke dalam inti pembicaraan yang akhirnya membuat Dita mengoceh lagi.
“Terus? Hubungannya sama malam gerhana apa? Kejadian Teh Suti apa?”
Benar saja, Nia diberondong pertanyaan oleh Dita.
“Ish, sabar atuh, Dita. Pan belum selesai si Nia teh ceritanya.”
Kemudian Teh Kinar menganggapnya. Anak kecil satu ini memang tidak sabaran. Sambil tertawa karena gemas, Teh Kinar berkata kalau Nia belum selesai bercerita jadi Dita jangan dulu menyela atau menyanggah ceritanya Nia.
“Pas itu teh sebelum magrib, Bang San sampai di rumah, abis ngebalikin sepeda motor yang dipinjem dari tetangga tea. Mang Rusli, apal teu?”
Dita mengangguk-anggukan kepalanya. Ia tahu siapa Mang Rusli sementara aku, mengangguk-angguk saja meskipun tidak tahu siapa itu Mang Rusli yang disebut-sebut oleh Nia.
“Terus? Mang Iwan ke mana?” Lagi-lagi, tidak mendengarkan perkataan Teh Kinar, Dita kembali menyanggah cerita Nia.
“Ya di rumahnya atuh, Ditaaa! Dengerin dulu, kalau engga, gak dilanjutin lagi nih ceritanya!”
Nia mulai mengancam Dita. Sementara aku dan Rendi memandang tajam ke arah Dita berbarengan. Sebagai tanda ancaman, jangan sampai ulah Dita membuat rasa penasaran menggelayuti kepala kami tentang apa yang terjadi malam itu. Duh, betapa suatu keadaan yang sangat-sangat kusukai. Berdebat dengan teman sebaya setelah hanya terdiam seperti manusia bisu beberapa hari setelah Ibu dan Bapak pergi dari dunia ini.
Dita mengangkat tangannya. Menyatukan ibu jari dengan telunjuk, membuat seleting dengan jari-jarinya di depan mulut, sebagai tanda bahwa ia akan mulai diam dan berhenti berbicara lagi.
“Kalian tahu kan, kalau Teh Suti waktu itu lagi hamil. Kalau enggak salah sih, udah besar. Enam bulan atau tujuh bulanan gitu.”
Mereka berdua, Dita dan Rendi mengangguk. Aku tidak ikut, karena memang tidak tahu. Teh Suti saja yang seperti apa orangnya, aku tak tahu.
“Tahu juga kan kalau orang hamil, lihat gerhana harus ngapain?”
“Baca doa kan?” Tiba-tiba, aku berkata demikian. Seolah lupa kalau sekarang ini aku tidak hanya duduk berdua dengan Nia. Ada tiga teman baru yang juga mendengar perkataanku.
“Ada lagi!” Teh Kinar menanggapi pertanyaanku.
“Di malam gerhana....”