Kelambu

1640 Kata
“Sekarang percaya kamu, Gis, sama walilat?” Pertanyaan yang lebih terdengar setengah mengejek itu keluar dari mulut Nia yang baru saja tiba setelah adzan magrib berkumandang. Padahal, kalau saja ia tidak pergi sampai petang, aku pasti tidak akan terluka seperti ini. Siapa suruh aku ditinggal sendirian? Nia kemudian duduk di ujung ranjang. Ia menaruh rempah-rempah yang sudah ditumbuk ke kakiku yang terluka. Meskipun lukanya tidak begitu dalam, tetap saja aku merasakan perih. Apalagi ketika Nia membalurkannya ke luka di kaki, rasanya ingin menangis tapi aku malu. Siapa juga yang menangis di umur segini gara-gara kakinya tergores sedikit? “Lagian, ngapain sih kamu ke girang bambu segala?” tanyanya ingin tahu. Huh, padahal sudah jelas, ia kan mengenal aku. Seorang Agis yang memang selalu ingin banyak tahu. “Nangkap anak ayam,” jawabku sekenanya. Lagi pula, kenyataannya memang begitu, bukan? Aku memang sedang menangkap anak ayam. Hanya saja, rawa-rawa yang terlihat bergerak itu membuatku ingin tahu, barangkali anak ayam itu memang berlari ke arah sana dan bersembunyi. “Kenapa gak hati-hati? Atuh kan kemarin sudah dibilangin jangan sampai ke sana-sana. Di belakang girang bambu teh ada rawa kecil. Kan bahaya, Agis. Untung cuma kaki kamu aja yang terluka!” Benar, tempat aku menemukan biawak ketika hendak menangkap anak ayam. Sayang seribu sayang, ia sudah menjadi santapannya. Itulah yang membuat aku terkejut dan mundur secara tiba-tiba, takut-takut biawak itu malah berbalik mengejarku karena telah mengganggunya yang sedang makan. Anak ayam yang malang. *** Hari sudah gelap. Tidak terdengar aktivitas seolah semua warga memang sudah tidur. Kudengar Nyai sudah menyelot pintu seperti malam yang sudah-sudah. Namun, aku masih sulit terpejam meskipun sudah dua hari aku ikut tinggal bersama mereka. Apakah aku masih butuh waktu untuk beradaptasi di tempat ini? Tapi ini memang belum terlalu malam untuk terlelap. Mungkin, untuk anak seusiaku. Buktinya, perempuan di sebelahku masih terjaga. Sama seperti aku yang belum juga bisa memejamkan mata. Ia menuliskan beberapa paragraf di dalam bukunya, sebelum ia membereskan dan mulai memasukkannya ke dalam tas untuk sekolah besok. Sebenarnya, ada rasa rindu untuk bisa melakukan hal yang sama. Hanya saja, Nyai belum terburu-buru untuk mendaftarkanku kembali untuk bersekolah. Setelahnya, Nia mulai menarik japitan yang biasanya digunakan untuk menggulung kelambu agar kami mudah untuk keluar masuk. Sebenarnya aku masih penasaran, mengapa Nyai tidak membuang kelambu-kelambu yang terpasang di setiap ranjangnya. Lagi pula, apakah mereka tidak merasa kepanasan karena harus tidur di dalam kelambu? Bukannya malah terasa sesak, ya? Aku memalingkan wajah, menatap Nia dan mulai kembali mengorek-ngorek informasi atas rasa penasaran yang membuat ku tidak bisa tidur sampai sekarang. Siapa tahu, jika Nia menceritakan padaku tentang sesuatu, aku bisa mengantuk lalu tertidur. Seperti anak kecil yang tertidur setelah dibacakan dongeng oleh ibunya. “Nia?” Perempuan yang hendak berbaring di sebelahku itu menoleh, menaikan kedua alisnya seolah bertanya, ‘Apa?’ Kemudian, tanpa basa-basi, aku kembali bertanya padanya. “Kenapa sih semua ranjang tidur di sini pakai kelambu. Apa gak pengap?” Sudah mulai keluar cerewetku padahal baru tinggal di sini sekitar tiga hari. Terserah, yang penting rasa penasaran terjawab. Meskipun sangat berbeda dibanding saat pertama kali tiba. Saat itu aku hanya berani untuk menunduk, menggeleng, dan ber iya iya saja. Seolah pita suaraku sedang dipaksa untuk berpuasa bicara. Nia memang pintar membuatku nyaman. Setidaknya, aku bisa kembali buka suara, meskipun hanya di depan Nia saja. Mungkin, karena Nia yang usianya hanya berbeda dua tahun saja denganku, maka kami merasakan ikatan yang mungkin tidak bisa kurasakan jika berbicara dengan Nyai, atau siapapun orang dewasa yang ada di sini. Lagipula, sejak datang ke tempat ini, Nyai tidak banyak bicara seperti ketika ia melayat kedua orang tuaku. Ia lebih banyak bungkam dan seringkali muncul tiba-tiba, seperti kemarin malam, kemarinnya lagi saat menyuruh kami mandi, sampai ketika kami memandangi anak perempuan yang sedang dikerubungi rumahnya oleh warga bak semut yang mengerubungi gula. Aura yang terpancar di dirinya pun turut berubah. Sedikit gelap, menurutku. Entah, atau memang hanya perasaanku saja. Seperti melihat sisi lain dari diri Nyai yang belum kulihat sebelumnya. Nia menarik selimut tipis yang ada di kakinya. Kemudian ia mulai menutupi badannya sampai d**a. Mulai bersiap untuk tidur. Kami memang tidak mematikan lampu. Lagipula, lampu yang remang-remang ini terasa seperti lampu tidurku yang ada di kamar. Hanya mengeluarkan sedikit cahaya. Hanya sebuah bohlam kecil berwarna merah yang sudah jarang sekali kutemui di rumah-rumah di kota. “Itu teh buat ngejaga, Gis,” ujarnya padaku, sambil menatap dengan serius. Setelah menarik selimutnya itu, ia menolehkan kepalanya ke arahku. Ganti aku yang mengangkat sebelah alis. Ngejaga dari nyamuk maksudnya? Dikira anak bayi pakai kelambu segala? Kenapa gak sekalian dipakaikan minyak telon dan bedak bayi? “Serius.” Tapi wajah Nia memang benar-benar terlihat serius. Aku bisa paham, bagaimana mimik wajahnya ketika ia bercanda atau menggodaku. Tidak seperti sekarang ini. Ditambah, begitu ia berkata ‘Serius' yang terdengar tegas. Seolah menekankan kalau kata-katanya barusan bukan sebuah lelucon. “Kalau tidak pakai ini, mungkin sekarang kamu tidurnya sendirian, Gis,” katanya lagi. Apa hubungannya kelambu dengan aku yang akan tidur sendiri? Toh, sejak duduk di bangku SMP pun aku memang sudah tidur sendiri, tanpa kelambu. Sejak kecil, aku tidur dengan Bapak dan Ibu, sama saja, tanpa kelambu. Tidak ada bedanya. Lagi-lagi, aku menggumam dalam hati. Kebiasaan buruk padahal aku yang memang bertanya-tanya, ingin tahu. Giliran mendapatkan jawaban yang menurutku tidak bisa kuterima oleh logika, aku malah berpikiran segala macam. “Kenapa gitu?” Akhirnya aku mengeluarkan pertanyaan yang hanya dua kata tersebut. Meskipun di dalam hati, pertanyaan sudah berbaris dan rasanya ingin kuluapkan semuanya. Nia merubah posisi tidurnya, semakin dekat denganku. Aku pun sudah siap pasang telinga. Sepertinya, ia akan mendongeng malam ini. Tak apalah. Lagi pula, aku juga belum mengantuk. Siapa tahu setelah ini aku jadi bisa tidur. “Kamu apal golek, enggak, Gis?” Itulah pertanyaan yang membuka cerita dari Nia malam ini. Demi mendengar apa yang Nia tanyakan, aku mengangguk. Aku tahu apa itu golek. Dalam bahasa Indonesia, golek adalah wayang. Di Sunda sendiri, wayang ini berbentuk seperti orang, dengan berbagai macam rupa wajahnya. Yang paling terkenal adalah wayang berwajah merah dengan dua gigi kelinci yang terpampang yang diberi nama Cepot atau Astrajingga. Biasanya, golek akan ditampilkan dengan iringan sinden yang merdu. Tapi, sepertinya sekarang-sekarang ini sudah jarang kutemui pagelaran wayang golek, kecuali di kampung-kampung yang masih kental adat istiadat seperti di kampung Nyai ini. “Nah, dulu teh pas Nia masih bayi-“ Belum usai ia bercerita, aku sudah menyerobotnya dengan sebuah pertanyaan. Aku merasa janggal dengan kalimat pertama yang mungkin saja akan menarik begitu selesai ia bicara. “Emang kamu inget waktu kamu masih bayi, Nia? Kok Agis enggak ya? Ingatan jaman taman kanak-kanak saja rasanya sudah lupa lupa ingat,” tanyaku padanya begitu mendengar ia mengucapkan kalimat tak masuk akal dan sulit diterima oleh logika ku. “His. Dengerin dulu atuh, Gis! Ini teh Nia tahu ceritanya dari Nyai. Nyai yang cerita, enggak langsung ke Nia, sih, ceritanya. Tapi, kebetulan Nia dengar. Jadi Nia tahu!” katanya, menjelaskan agar aku tidak lagi memotong kalimat yang keluar dari mulutnya. Ternyata, Nia senang menguping. Aku mengangguk-anggukkan kepala. Mengangkat tangan, menempelkan ibu jari dengan telunjuk, lalu mendekatkannya ke bibir dan membuat garis, seolah baru saja menutup mulut agar tidak banyak protes lagi begitu Nia sedang bercerita. “Waktu itu Nia teh masih bayi. Belum sampai ada empat puluh hari. Katanya, umur segitu teh, bayi masih wangi-wanginya.” Aku mengangguk lagi. Menunggu kelanjutan cerita yang keluar dari bibir Nia. Kalau yang ini, aku sedikit tahu. Karena memang seperti itu. Ibu pernah bilang kalau bayi yang baru lahir itu masih wangi. Sama seperti ibu yang baru saja melahirkan. “Nyai tidur di atas ranjang bersama Nia yang masih bayi. SalaNyai, Nyai tidur di dekat tembok, sementara Nia malah di taruh di sisi sebelahnya, seperti yang sekarang kamu tiduri itu. Di pinggir ranjang.” Demi mendengar ocehan Nia, aku menggeser badan, sedikit ke tengah. Sama seperti Nia sebelumnya yang mencoba mendekatkan posisi tidurnya padaku. Bayanganku sudah berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana jika setelah ini, Nia bercerita ada tangan pucat yang merangkak dari kolong ranjang? Melihat wajahku yang sedikit ketakutan, Nia malah terkekeh geli. “Ongkoh pengen tahu, tapi sudah takut duluan kamu teh, Gis,” katanya, memperolok-olokkan aku. Ia tertawa puas setelah tahu kalau aku sedikit penakut. Awas saja kamu, Nia. Seketika bibirku mencondong ke depan. Wajahku tertekuk sebal. Tapi, tetap rasa penasaran belum hilang. Aku menyuruh Nia untuk melanjutkan ceritanya, meski sedikit paranoid kalau-kalau si Nia ini malah cerita tentang sesuatu yang mengerikan mengenai kolong ranjang. Seperti creepy pasta yang sering k****a di blog-blog internet. “Malam itu, Nyai teh enggak sepenuhnya tidur. Nyai menghadap ke tembok, kaya yang Nia bilang barusan. Sementara, begitu beberapa waktu berlalu, Nyai yang sudah mulai ngantuk waktu mendekati subuh, kembali tersadar. Katanya teh, Nyai lihat pantulan bayangan di tembok. Tahu kan? Kaya kalau kita bikin replika pakai tangan kalau sedang menyalakan lilin saat mati lampu. Yang bentuk anak kancil atawa burung gitu tea, geuning. “ Aku mengangguk lagi. Paham arah bicara Nia. “Ternyata itu teh bayangan Golek! Nyai saat itu teh katanya ketakutan pisan, Gis. Tidak berani menoleh sama sekali. Cukup lama katanya eta Golek teh di depan kelambu. Tangannya ge kelihatan gerak-gerak. Sepertinya pengen nyingkap kelambu, tapi nggak bisaeun.” “Terus?” “Yaudah, gak lama adzan subuh terdengar. Bayangannya pergi dari sana.” “Dia ke ranjang Nyai mau ngapain sih?” “Kan tadi Nia teh sudah bilang, kalau bayi itu masih wangi. Jadi dia teh kayanya mau ngambil Nia. Bayangin kalau waktu itu Nyai ranjangnya enggak pakai kelambu. Hari ini Nia gak bakalan bisa ceritain kisah ini ke kamu, Gis.” Tapi, itukan bayi. Lantas kenapa kami yang sudah dewasa pun perlu memakai kelambu ini? “Masalahnya, beberapa hari kemudian, anak tetangga meninggal.” Aku memicingkan mata. Siapa tahu hanya kebetulan, kan? “Bayi juga. Kalau memang sekarang masih hidup, seumuran dengan Nia. Cuma beda beberapa hari sama Nia lahirnya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN