Suara yang mengejutkan di sela percakapan kami adalah suara Nyai. Ia menyuruh kami untuk memasukan anak-anak ayam ke dalam kandang, sebelum adzan magrib berkumandang. Sebelumnya, aku tidak pernah melakukan hal seperti ini. Namun, sepertinya ini cukup seru untuk dilakukan. Maka, aku menurut-nurut saja dan menyambutnya dengan penuh antusias.
Nia menarik tanganku, membawaku ke sebuah tempat di seberang rumah. Ke sebuah kebun yang kata Nia masih milik Nyai juga. Di sana, di belakang sebuah rumah besar dengan pelataran yang cukup luas memang terdapat kebun-kebun. Ada pohon rambutan, pohon kecapi yang begitu tinggi, sampai pohon kapuk yang buahnya sudah hampir matang dan mengelupas. Di belakang sini cukup asri. Tidak seperti di kota yang bahkan sangat jarang kutemui kebun-kebunan dengan berbagai macam pohon dengan buah-buahan yang cukup langka. Saat aku tiba, pohon rambutan yang tinggi itu sedang berbuah. Meskipun masih belum memerah, belum waktunya untuk dipanen.
Nia melambaikan tangannya sebagai isyarat bahwa aku harus mengikutinya untuk terus berjalan. Aku yang jarang menemukan pemandangan seperti ini memang sempat terdiam beberapa jenak sembari memandangi banyaknya pepohonan dengan buah yang berbeda-beda. Di ujung kebun, ada sebuah kandang ayam yang cukup besar, Kira-kira cukup untuk menampung lebih dari sepuluh ekor ayam berukuran sedang. Terlihat pula anak-anak ayam yang berlarian ke sana ke mari, hendak Nia tangkap. Kata Nia, itu anak ayam milik Nyai. Anak-anak ayam itu dilepas sewaktu siang dan kembali dimasukkan ke kandang sebelum adzan magrib berkumandang. Jika tidak, akan sulit untuk mencari anak anak ayam itu, bila malam telah tiba.
Aku tertawa melihat Nia yang masih main kejar-kejaran dengan anak ayam. Sementara, perempuan yang aku tertawakan itu menatap sebal ke arahku.
“Naha diem aja? Sini bantuin tangkep, atuh,” katanya dengan bibir yang pada akhirnya maju lima sentimeter.
Aku menaikkan kedua pundak. Memberinya jawaban mengesalkan yang membuat Nia berkacak pinggang. Tidak. Perempuan itu tidak sepenuhnya marah. Ia hanya bercanda. Begitu pun aku yang menggodanya dengan pura-pura enggan membantu.
“Enggak, ah,” ujarku seakan ogah, padahal pada akhirnya aku turut berlari mencoba mengejar anak ayam yang paling dekat dengan jangkauan.
Nia berhasil menangkap lima anak ayam yang berkeliaran tanpa induknya. Sementara aku masih berlarian mengejar satu anak ayam yang entah kenapa lincah sekali. Sampai suatu waktu, kakiku tersandung batu dan jatuh di depan kandang ayam. Nia yang melihatku tertawa puas. Katanya, itu adalah karma instan yang begitu menyenangkan. Tertawa di atas penderitaan orang lain, rupanya memang selalu menjadi hal yang wajar ya?
Setelah puas tertawa, perempuan itu menghampiriku dan mengulurkan tangannya. Dan, kata-kata yang kutemukan di internet itu rupanya benar. Teman akan membantu ketika kau terjatuh, tapi, jika sudah puas menertawakan. Begini rupanya.
“Ayo, bangun!”
Kuterima uluran tangan Nia dan mulai bangkit demi mengejar anak ayam lincah yang sejak tadi belum juga berhasil kutangkap. Sepertinya karena aku yang juga masih amatir, membuat aku kesulitan untuk menangkap anak ayam kecil itu.
“Pokoknya sebelum magrib, kamu harus udah bisa masukin satu anak ayam itu, Gis,” ujar Nia menegaskan.
Demi mendengar perkataan Nia, aku akhirnya bertekad untuk menangkapnya. Pokoknya, akan kubuktikan bahwa ini hanyalah sebuah pekerjaan yang mudah. Benar-benar mudah. Bahkan lebih mudah dari membuat ceplok telur dengan kuning telur yang harus utuh.
Begitu kami masih tertawa dan berlarian mengejar anak ayam, tepat di belakang kami yang adalah bagian belakang sebuah rumah, ada seseorang yang berdiri di ambang pintu. Langkahku seketika berhenti. Merasa diawasi, aku bahkan melabuhkan tatapan sebagai kode ke arah Nia, bahwa ada seseorang yang sejak tadi memandangi kami. Seorang perempuan dengan rambut yang beruban, tapi wajahnya tidak terlihat begitu tua. Dari rumah yang cukup besar itu, ia terus menatap kami.
Nia juga turut terhenti langkahnya. Bukan karena kode yang kusampaikan berhasil. Tapi karena anak ayam yang terakhir sudah ia tangkap dan hendak ia masukan ke dalam kandang. Saat ia hendak ke kandang ayam yang tepatnya ada di belakangku, kubisikan ke telinganya, “Itu siapa?”
Seketika Nia memalingkan wajah ke arah yang kumaksud. Perempuan itu masih ada di sana, masih dengan tatapan yang sama juga. Ia mengenakan daster berwarna hitam bercorak bunga, memakai perhiasan yang menurutku sedikit berlebihan karena gelang-gelang di tangannya begitu banyak juga kalung yang cukup besar, yang terlihat mencolok karena daster yang ia gunakan berwarna gelap. Ia masih menatap ke arah kami, tatapan yang sepertinya tidak bersahabat karena tidak sedikit pun kulihat ia tersenyum.
Nia yang berjalan setelah memasukkan anak ayam ke kandang, lantas menarik tanganku untuk kembali ke rumah Nyai. Sambil berjalan, ia pun memberi tahu tentang perempuan yang berdiri di ambang pintu bagian belakang rumah tadi.
“Itu Wa Jaman,” katanya, begitu kami sampai di depan pelataran rumah yang memiliki pohon mangga cukup besar. Di bawahnya ada sebuah dipan dari bambu tempat untuk beristirahat.
“Kenapa dia ngeliatin kita?” tanyaku penuh curiga.
“Gak apa apa, Gis. Mungkin inget anaknya.”
Nia mengangkat baju-baju kering di jemuran. Kemudian membawanya ke dalam rumah. Aku yang lagi-lagi merasa cerita Nia belum usai, turut berlari mengejarnya ke dalam.
“Emang anaknya ke mana?”
Dengan mata yang masih terfokus pada baju-baju kering di depannya, Nia seolah tidak mendengarkanku. Ia menganggapnya seperti angin lalu. Sama seperti anak-anak nakal yang ketika dimarahi, masuk ke telinga kanan lalu keluar melalui telinga kiri.
“Nia, anaknya ke mana memang?”
“Udah gak ada.”
“Ngerantau? Atau mati?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, Nia malah menaruh tumpukan baju yang sudah ia lipat, ke kamar sebelah. Setelahnya, ia berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu karena sebentar lagi adzan magrib berkumandang. Aku turut membuntutinya dari belakang. Tepat saat ia menyelesaikan bagian terakhir wudhunya dan berjalan ke arahku, ia mendekatkan bibirnya ke telinga. Sedikit berbisik, “Mati. Karena mereka.”
***
Keesokan harinya, aku tidak lagi melihat seseorang yang kemarin duduk di bawah pohon mangga, sambil tersenyum ke arahku. Seorang bapak tua yang aku juga belum tahu itu siapa. Entah kenapa, sampai sekarang ini, aku belum bertanya pada Nia mengenai orang tersebut. Ah, benar. Hari sudah mulai petang. Seharusnya Nia sudah pulang dari sekolah dan mulai membereskan jemuran-jemuran dan segala macamnya yang kebanyakan memang tak kulakukan semasa hidup di kota dulu.
“Gis.”
Kudengar seorang wanita memanggil namaku. Aku yang sedang duduk di teras itu menoleh. Rupanya itu Nyai. Wanita itu memang senang muncul tiba-tiba.
“Kenapa, Nyai?”
Masih dengan wajah yang datar, wanita itu menyuruhku untuk melakukan hal yang sama seperti kemarin. Sayangnya, hari ini tanpa ada Nia.
“Nyai bisa minta tolong?” tanyanya padaku saat itu.
“Tangkapi anak-anak ayam seperti kemarin. Tadi pagi, Nia bilang akan pulang terlambat.”
Aku tidak bisa menjawab dengan hal lain selain anggukan kepala. Meskipun tidak yakin aku bisa menangkap semua anak ayam yang senang berlarian itu. Kemarin saja, Nia yang paling banyak menangkap. Aku hanya bisa satu, itu pun dengan kerja keras lari sana lari sini dulu.
Tak menunggu waktu lama, aku bangkit dari duduk dan mulai berjalan ke seberang rumah. Kulihat perempuan tua yang kemarin memperhatikan aku dan Nia saat kami menangkapi anak ayam di kebun belakang rumahnya. Setelah melihat aku melewati halaman rumahnya dan menuju ke kebun belakang, ia turut masuk ke dalam rumah.
Senja sudah menguning, bahkan hampir gelap. Sudah berlari-larian aku mengejar anak ayam, tapi masih ada satu anak ayam lagi yang belum tertangkap. Sementara, rasa lelah sudah menggelayuti seluruh tubuhku. Aku terduduk di antara pohon rambutan dan pohon kecapi yang tinggi sekali. Sebentar saja. Aku butuh istirahat sebentar saja dari kejar-kejaranku dengan anak ayam. Kenapa juga Nia harus pulang terlambat dan membiarkan aku kesusahan sendirian?
Anak ayam itu terlihat menghentikan langkahnya. Ini adalah saat yang bagus untuk dapat menangkap anak ayam kecil itu dan memasukannya ke dalam kandang. Sayangnya, begitu aku mendekat, ia kembali berlarian. Aku mengejarnya tanpa ampun. Hanya tinggal yang satu ini saja, setelah itu aku bisa kembali ke rumah Nyai dan menikmati sepiring kue ali.
“Duh, anak ayam nakal! Bisa gak sih kamu itu diem!”
Neng...
Sayup-sayup kudengar seseorang memanggil. Bukan namaku memang, tapi itu adalah sebutan untuk anak perempuan, sama seperti Nduk, atau Nak. Aku mengedarkan pandang. Tidak ada siapa pun. Mungkin, itu suara tetangga yang memanggil anaknya, mengingat ini memang masih di perkampungan.
Aku kembali mengejar anak ayam sampai ia berlari mendekati girang bambu. Girang bambu ini adalah pembatas antara kebun milik Nyai dengan rawa kecil yang entahlah, aku juga tak tahu ada apa di sana. Yang jelas, aku hanya ingat pesan Nia, kalau aku sebaiknya jangan sampai mendatangi tempat ini.
Aku terus berlari mengejar anak ayam yang hampir kutangkap. Tapi, Lagi-lagi kudengar suara yang sama, memanggil dengan kata yang sama pula. Aku menoleh dan masih tidak menemukan siapa pun. Sampai akhirnya, aku terlonjak kaget begitu berbalik badan. Kulihat seekor biawak yang berukuran lumayan besar, bergerak dari rawa di balik girang bambu. Dan yang lebih membuatku kaget adalah kakiku yang tersangkut pada potongan bambu tajam yang sepertinya sudah ada yang menebang.
Terdengar suara adzan magrib berkumandang.
“Agis! Gis!”
Suara Nyai terdengar memanggil-manggil namaku. Sementara, aku hanya menahan isak tangis karena perih yang kurasakan di kaki yang kini berlumuran darah. Setelah kemarin hanya menyaksikan walilat dari mulut tetangga, kini aku merasakannya juga.