Tiga hari sudah berlalu. Luka di kakiku sudah sepenuhnya sembuh. Hanya tersisa bekas luka yang cukup panjang di sana. Beruntungnya, hanya sebuah luka gores yang tidak begitu dalam. Memang salahku yang tidak hati-hati, ditambah saat itu memang benar-benar mengejutkanku.
Aku juga sudah terbiasa tidur dengan kelambu, selepas Nia bercerita tentang Golek malam itu. Setidaknya, aku merasa sedikit aman begitu malam tiba. Rasanya memang bukan tanpa sebab kelambu ini masih menempel di kerangka ranjang ini. Meskipun Nia bilang kelambu ini dipasang agar terhindar dari makhluk seperti itu, aku tetap meyakini kalau kelambu ini sebagai tameng agar nyamuk-nyamuk tidak menyerbu tubuhku. Di perkampungan dengan banyak pepohonan besar seperti ini, pastilah memiliki nyamuk yang lebih banyak. Mencoba untuk berpikiran secara logis, sama seperti orang-orang jaman dahulu yang mengatakan beberapa takhayul yang kami percayai saat kami kecil dulu. Misalnya, menyapu harus bersih jika tak ingin mendapatkan jodoh yang berewokan. Hal yang logis dibalik perkataan itu adalah jika tidak menyapunya dengan bersih, bisa saja kaki yang melewatinya akan terkena kotoran yang bersisa, karena tidak bersih menyapunya. Atau jangan duduk di ambang pintu, nanti gak dapat-dapat jodoh, padahal logisnya jika duduk di ambang pintu sama saja menghalangi jalan orang lain.
Semalam, saat aku terjaga di tengah malam, aku merasa ada seseorang yang berdiri di depan kelambu. Sama seperti posisi tubuh Nyai yang beberapa belas tahun lalu menghadap ke tembok, kebetulan aku juga seperti itu. Jadi, aku berhadap-hadapan dengan Nia. Aku melihat pantulan bayangannya di sana. Samar-samar karena masih mengantuk, entah itu mimpi atau bukan, aku tidak begitu paham. Yang jelas, sayup-sayup kudengar kalimat yang aku pun tak tahu apa artinya, terdengar sedikit berbisik dan diucapkan secara berulang.
“Hu dat herang langgeng anu nyurup kana nyawa
Ras kala jeung eling aya di Gusti anu nyanding....”
Itu salah satu penggalan yang kuingat. Kalimatnya masih panjang memang. Tapi, aku tidak mengingatnya lagi. Ditambah, ujaran itu menggunakan bahasa Sunda yang halus. Yang mana, untuk mengartikannya saja, aku kurang begitu paham.
Aku bertanya pada Nia yang kebetulan tertidur di sebelahku, menghadap tepat ke arah seseorang yang berdiri di belakangku itu. Namun, seperti biasa, anak itu tertidur begitu pulas dan bahkan tidak sadar kalau ada seseorang tadi malam. Sepertinya, kalaupun ada perampok yang masuk ke dalam rumah, Nia akan anteng-anteng saja.
Karena aku juga yang terlalu mengantuk, ditambah merasa kalau itu hanya sebuah mimpi, aku malah kembali menutup mata dan melanjutkan tidurku hingga pagi. Mencoba untuk tidak peduli dengan bayangan hitam itu. Lagipula, begitu aku mendengar kalimat-kalimat yang terdengar sedikit berbisik itu, seperti sedang didongengi, mataku terasa berat dan akhirnya tertidur pulas.
Pagi ini, Nia mengajakku untuk mengelilingi kampung. Kebetulan, hari ini adalah hari libur sekolahnya. Ia sudah berjanji sejak beberapa hari lalu, katanya, ia ingin mengenalkanku agar semakin betah di desa yang asri ini. Memang, sejak kedatanganku ke kampung ini, yang kulakukan sepanjang hari hanyalah berdiam di dalam rumah dan paling-paling sesekali pergi ke dapur yang memiliki sumur tua itu. Tidak pernah aku berjalan keluar rumah, entah itu berbelanja ke warung karena biasanya Nyai yang pergi, atau pun berkumpul dengan tetangga yang bahkan aku saja belum hafal, melihat anak-anak yang bermain di sore hari dari jarak dekat. Aku hanya melihat mereka dari balik jendela bila sore tiba. Sambil berharap suatu hari, aku bisa bermain juga dengan anak-anak di kampung ini.
Kami berangkat menaiki sepeda yang kebetulan memiliki boncengan duduk di belakang. Sepeda ontel milik Nia yang berwarna merah muda, terlihat sedikit tua tapi masih kokoh. Berbeda dengan sepeda yang sedang tren di kota untuk melakukan aktivitas gowes para komunitas. Berhubung Nia takut kakiku masih sakit, ia yang mengendarai sepeda, sementara aku duduk di bangku boncengan. Nia yang menjadi pemegang kendali hari ini.
Kami berbelok ke arah kanan. Kata Nia, kampung ini cukup luas, tapi tidak memiliki banyak rumah penduduk. Memang sih, kulihat di sepanjang jalan, masih banyak perkebunan dan kandang-kandang ternak. Tidak sesak seperti di kota yang bahkan jarang sekali aku temui ada tanah kosong seperti kebun-kebun di sini. Semakin jauh kami melakukan sepeda kami, semakin jarang pula rumah-rumah yang berdekatan, kami temukan. Sepertinya sekitaran rumah Nyai adalah yang wilayah yang jarak rumahnya paling dekat satu sama lain.
“Ini kita mau ke mana, Nia?” Aku bertanya dari kursi belakang setelah beberapa saat kami keluar dari rumah. Sementara Nia yang menoleh, hanya tersenyum. Setelahnya, ia mengeluarkan pertanyaan, “Kamu belum tahu, kan, kalau di sini ada sungai?”
Aku menggelengkan kepala. Dari jalan utama yang saat pertama kali aku datang dengan mobil, memang tak kulihat ada sungai di sepanjang jalan. Kata Nia, sungai itu berada di bagian lain desa. Nia terus menggowes sepedanya agar kami cepat sampai.
Sepanjang jalan, yang kutemui kebanyakan adalah kebun-kebun milik warga. Ada juga area persawahan, tapi tidak begitu luas. Jalannya pun tidak lebar seperti jalan utama. Mungkin ini adalah jalan memotong, karena dilihat dari arahnya, jalan yang hanya cukup untuk dilintasi sebuah motor ini membelah bentangan sawah. Mungkin ada jalan lain yang lebih besar untuk masuk ke sungai yang kami tuju. Jalan yang mungkin akan memakan waktu lebih lama, bilaa kami melaluinya.
Setelah melewati sawah yang terhampar itu, kami tiba di ujung jalan. Di depan sana, terlihat jembatan kecil dari kayu. Kami melintasinya dengan sepeda yang kami naikki. Setelah sampai di ujung jembatan, mataku tidak hentinya memandang takjub. Dari bukit ini, ada turunan ke bawah yang rupanya adalah sungai yang Nia maksud. Memang tidak begitu besar. Tapi, tetap saja ini dikatakan sungai. Dan sepertinya, sungai ini cukup dalam.
Nia menarik tanganku untuk menuruni bukit dan menuju ke tepian sungai setelah ia memarkirkan sepedanya di sebuah pohon besar nan rindang. Sampailah kami di tepian sungai. Airnya terlihat agak kehijauan. Sementara di seberang sungai terlihat banyak pepohonan rambat yang bahkan menutupi tepian sungai. Kalau dilihat-lihat, ini mengingatkanku pada perairan di hutan Mangrove yang daun-daunnya menutupi sisi sisian sungai.
“Kita enggak apa-apa main ke sini, Nia?” ragu-ragu aku bertanya pada Nia. Aku takut Nyai akan marah jika tahu, aku dan Nia bermain ke tempat seperti ini.
Nia menganggukan kepala. Katanya, ia hanya ingin menunjukkannya padaku bahwa di kampung ini aku akan menemukan banyak tempat-tempat yang tidak pernah kutemui sebelumnya di kota.
“Jangan terlalu dekat ke air. Kita lihat dari sini saja.”
Ia menarik lenganku begitu aku tak sadar terus melangkah maju. Pemandangan yang memang begitu bagus membuatku tertakjub-takjub hingga tak sadar kakiku terus melangkah tanpa bisa berhenti.
Kami berdiam sejenak, memandangi pemandangan yang memang tak pernah aku temui sebelumnya. Kukira tempat sebagus ini hanya ada di timur sana. Atau, ya di hutan mangrove itu tadi.
Tak lama, rasa penasaran di kepalaku lagi-lagi menggeliat keluar. Aku bertanya tentang sesuatu yang sepertinya memang tidak pantas kutanyakan. Kami duduk di atas bebatuan besar yang sepertinya lebih mirip dengan bangunan jaman dahulu yang sudah terpecah belah. Dulu, kata Nia, di sini seringkali dipakai untuk mencuci baju. Para ibu rumah tangga akan berkumpul di pagi hari membawa bak berisi pakaian kotor, sekalian membersihkan diri. Tapi, sekarang tidak lagi. Hampir semua rumah memiliki sumur, bahkan jet pump yang lebih modern. Seperti di rumah seberang Nyai, yang saat kami menangkap anak ayam, terlihat memandangi kami. Tidak terlihat begitu mewah memang, tapi cukup besar. Kamar mandi yang mereka punya juga memadai, kata Nia.
“Karena udah jarang ada yang ke sini, paling-paling ya cuma anak kota yang jarang nemuin hal seperti ini di sekitaran rumahnya. Berswafoto gitu,” kata Nia, sekali lagi menjelaskan padaku.
Aku hanya menganggukkan kepala. Kenyataannya memang benar. Tempat sebagus ini pasti menjadi sasaran muda mudi untuk memotret diri dengan pose kekinian, lalu menyebarkannya di media sosial dengan caption beraneka ragam.
“Kenapa gak ada warga yang ke sini lagi, Nia?”
“Ada, kok. Tapi jarang. Tuh, itu warga juga!”
Nia menunjuk seorang bapak-bapak di atas sampan bambu yang menurutku sangat-sangat tidak safety. Hanya berdiri di atas papan bambu yang dirakit, ia berani mengapung tanpa pengaman sampai hampir ke tengah sungai.
Dari raut wajahku yang terlihat khawatir itu, Nia lagi-lagi tersenyum dan seolah paham apa yang aku pikirkan.
“Sudah biasa. Beliau mau nangkap ikan.”
Lagi-lagi, aku hanya bisa menganggukan kepala. Lagi pula, tahu apa aku?
“Dulu juga anak-anak senang main di atas rakit begitu.”
Aku menoleh begitu mendengar Nia berkata demikian. Anak-anak? Bermain rakit yang membahayakan itu? Apa orang gua mereka tidak melarang?
“Termasuk Nia, sebelum Nyai dengan keras melarang Nia untuk naik ke atas sampan bambu lagi,” tambahnya melengkapi kalimat yang sebelumnya ia ucapkan padaku.
“Kenapa?”
“Main di atas sampan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah terbiasa, seperti beliau itu. Lagi pula, ia berbuat demikian karena ada maksud atuh. Beda sama anak-anak, niatnya cuma bermain-main saja.”
Nia mengambil napas sejenak. Bicaranya terhenti. Setelah diam beberapa saat, barulah ia berkata lagi.
“Sebenarnya ada alasan lain. Tapi, nanti aja lah, Nia ceritanya. Enggak di sini.”
Nia membuatku kembali penasaran. Kenapa harus ia ceritakan di tempat lain? Aku kembali melirik bapak-bapak dengan sampan bambunya. Ia menarik jaring yang belum lama di tebar. Terlihat beberapa ikan yang terperangkap di sana. Rupanya, sungai ini meskipun berwarna hijau seperti terkena air limbah, tetaplah sungai yang hidup. Buktinya, banyak ikan yang masih bertahan hidup di balik airnya yang hijau.
Aku jadi berpikir tentang sesuatu. Air hijau yang kupandangi dengan tenang itu pasti menyimpan banyak hewan di balik air nya yang tak beriak itu. Sama halnya seperti lautan yang selalu menyimpan banyak misteri di dalamnya.
“Kenapa enggak mancing dari tepi sungai saja, Nia?”
“Kelamaan. Ikannya gak bakal mau nyangkut. Semakin ke tengah, ikan semakin banyak. Jadi mendingan naik sampan ke sana, terus nyebar jala. Tinggal tarik, udah banyak yang kena, deh,” celetuk Nia.
Aku mengangguk, merasa paham dengan apa yang Nia jelaskan baru saja.
“Asal niatnya bener sama enggak ngo-“
Belum selesai Nia dengan ucapannya, aku memotong. Sejak tadi, aku memang penasaran dengan yang satu ini.
“Di sini gak ada buayanya, Nia?” celetukku tanpa berpikir panjang.
Seketika kami beringsut mundur. Aku dan Nia terlonjat kaget. Tepat setelah aku mengeluarkan pertanyaan itu, air berdebur secara tiba-tiba. Seperti ada sesuatu dari bawah yang melompat ke permukaan. Nia yang menyaksikan itu, menarik tanganku cepat dengan wajah yang ketakutan.
Dari sinilah aku paham, rasa penasaran tidak selalu benar.