Malam Perkumpulan

1015 Kata
“Saat ditemukan teh, dia diam saja. Cuma, wajahnya teh meuni pucat pasi. Sudah beberapa waktu berlalu, saat ramai-ramai warga datang dengan obor di tangan masing-masing, dan bertemulah si Jajang dengan Ibunya di rumah Nyai, barulah dia menangis sejadi-jadi.” Aku menganggukkan kepala. Menyimak dengan baik apapun yang keluar dari bibir Nia. Untungnya, ia adalah seorang pencerita yang baik. Benar-benar bisa membawa suasana seolah-olah aku yang mendengarkan bisa masuk ke dalam adegan yang sedang ia ceritakan. “Belum mau ngomong apa-apa si Jajang teh pas diketemukan. Sampai Nyai datang dari dapur, bawa segelas air putih, duka air putih naon. Baru tah, si Jajang teh nyarita.” Aku merespon ucapan Nia dengan anggukkan kepala lagi. Entah sudah keberapa kali, dengan jeda yang selalu ada bak iklan di televisi, begitulah cerita Nia yang menemani tidurku malam ini. “Tahu gak, si Jajang teh sembunyi di mana?” Nia malah balik bertanya. Jelas-jelas, ia yang mengalami kejadian sepuluh tahun silam tersebut. Aku spontan menggelengkan kepala. Nia melambaikan tangannya. Memberi isyarat padaku untuk mendekat. Rutinitas yang biasa dilakukan oleh manusia-manusia yang hendak melakukan diskusi yang sedikit rahasia, tapi menarik, alias gibah. Sebagai salah satu pengamat yang cukup baik dalam hal tersebut, aku dengan segera mendekatkan wajahku ke arah Nia, mulai pasang telinga. “Kenapa Nia?” “Jajang disembunyikan oleh We-“ Belum tuntas omongan yang Nia sampaikan, kami berdua terkejut. Seseorang sedang berdiri di ambang pintu dengan wajah yang datar. Entah sejak kapan ia berdiri di sana, menatap kami yang masih asyik bercerita. “Nia, Agis, tahu ini sudah jam berapa?” Perempuan yang selalu terdengar seperti guru killer yang tak pernah terbantahkan itu berbicara dengan nada yang datar pula, tak kalah datar dengan ekspresi wajahnya yang membuatku terkadang bingung, bagaimana bisa Nia mengerti apa pun yang Nyai katakan tanpa ekspresi sama sekali. Nyai selalu memiliki aura yang menakutkan, menurutku, sejauh aku tinggal bersama Nyai di rumah ini. Aku bahkan tidak berani mengusik Nyai apalagi untuk merengek tentang ini itu, seperti yang kulakukan pada mendiang ibuku dulu. Meski datar, tidak bernada tinggi sama sekali dan tidak terlihat marah, ekspresi Nyai malam itu membuat kami ketar ketir, meskipun mungkin Nia sudah biasa karena sudah hidup bersama dengan Nyai sejak lama. “Geura tidur.” Hanya dua kata satu kalimat, tapi begitu menakutkan. Dengan pembawaannya yang tegas, kami yang saat itu masih duduk menyender pada tembok yang terhalang oleh kelambu, dengan segera melemaskan tubuh dan mulai berangsur mundur merebahkan badan di atas kasur. Setidaknya aku tahu, apa yang membuat Jajang menghilang senja itu, meskipun tidak seluruh ceritanya aku ketahui. Sekarang ini, memejamkan mata jauh lebih penting dibanding harus melihat Nyai marah. Sebenarnya, kami tidak pernah melihat Nyai marah. Hanya saja, dengan membayangkannya, aku sudah merinding. Lampu bohlam berwarna kuning lagi-lagi menjadi tujuan tatapan mataku begitu akan hendak tidur. Meskipun sudah biasa dan menjadi pemandangan setiap hari, aku selalu merasa jikalau bohlam kuning itu menjadikan aura lebih mistis dibanding dengan lampu bohlam berwarna terang biasa. Kulihat Nia disampingku sudah mulai memejamkan matanya. Entah memang ia sudah benar-benar tidur, atau hanya pura-pura tidur. Aku turut memejamkan mata, tapi suara-suara itu masih saja memekikkan telinga. Suara yang ramai seperti di sebuah pasar. Bagaimana mungkin Nia tidak terganggu akan nya? Aku sempat berpikir kalau di sebelah rumah Nyai ada sebuah acara, melihat bagaimana pakaian Nyai malam itu yang menurutku terlalu mewah untuk sekedar tidur. Dengan kain samping keemasan, Nyai memadukannya dengan atasan berwarna hitam dengan brukat. Tidak ambil pusing. Aku hanya perlu memejamkan mata dan pura-pura tuli. Kulihat waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Entah acara apa yang diselenggarakan di tengah malam begini, aku tidak peduli dan itu bukan urusanku. Belum sampai lima menit, aku kembali terjaga. Masih di ruangan yang sama, dengan Nia yang tertidur di sebelahku. Suara-suara itu benar-benar mengganggu. Aku jadi berpikiran untuk melihat ke luar jendela sana. Kuraih tirai yang menutupi daun jendela dan mulai menyibakkannya demi bisa membuka sengkelot. Sayangnya, jendela itu terlalu kuat tertutup atau memang engsel nya yang sudah terlalu berkarat hingga sulit terbuka. Mau tak mau, aku harus bangkit dari peraduan. Kubiarkan kakiku menginjak lantai dingin berwarna abu kusam, khas ubin jaman dahulu. Mulai mengendap-endap dari dalam kamar, berharap Nyai tidak menangkap basah aku yang berusaha mengintip apa yang terjadi di luar sana. Kulihat sekeliling, semua sepi. Nyai sudah tidak ada di rumah. Pikiran ku benar bahwa Nyai juga turut pergi ke acara tersebut. Dengan segera, aku bergegas ke arah pintu. Kulihat sengkelot kayu masih menempel di sana. Mungkin, Nyai tidak keluar melewati pintu yang ini. Sepertinya Nyai menggunakan pintu di samping kamarnya yang dekat ke arah kamar mandi. Dengan susah payah, akhirnya aku bisa membuka pintu yang di sengkelot kayu itu. Seketika pintu terbuka lebar. Ada cahaya yang menyilaukan mata begitu pintu itu terbuka. Dengan spontan, aku menghalau wajahku dengan tangan, untuk menutupi silau. Sampai akhirnya cahaya itu perlahan meredup. Aku perlahan menurunkan tangan dan mencoba membuka mata. Sepi. Suara-suara itu hilang bak di telan bumi. Tidak ada lagi suara ramai seperti beberapa waktu lalu. Untuk memastikan bahwa aku tidak salah, akhirnya kuberanikam diri untuk keluar dari rumah Nyai meskipun tanpa penerangan. Aku tidak membawa lampu tempel karena keluar rumah tanpa persiapan. Kulihat sekeliling yang memang juga terasa gelap, tidak kutemui apapun. Bahkan rumah rumah tetangga yang seharusnya terang karena lampu, tidak lagi kutemui. Semua lampu di beranda rumah mereka padam, begitupun dengan rumah Nyai begitu aku mencoba untuk menoleh ke belakang. Padahal baru beberapa langkah aku keluar rumah, tapi rasanya rumah Nyai sudah tertinggal jauh di belakang. Aku mendengar suara itu lagi. Suara ramai seperti pasar yang kurasa berada tak jauh di depanku. Aku ingat betul, rumah ini adalah rumah ki Jaman. Seseorang yang aku tahu bahwa ia sedang terkulai sakit untuk beberapa waktu. Mungkinkah ada acara pengajian untuk kesembuhan ki Jaman? Aku bertanya-tanya. Pertanyaanku terjawab begitu kulihat mereka sedang duduk menggunakan baju hitam, sama dengan yang Nyai kenakan tadi. Semuanya. Mereka semua menggunakan baju yang senada. Duduk membuat sebuah lingkaran yang besar seperti di dalam acara api unggun. Aku menelan ludah begitu melihat apa yang ada di tengah-tengah mereka. Seorang anak perempuan dengan darah yang bersimbah dan tangisan. Ta-tapi, kenapa wajahnya sama denganku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN