“Terus gimana lagi?”
Di tengah cerita yang sedang seru-serunya itu, Nia malah berhenti. Aku sudah terlalu penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya. Seperti mobil yang tengah di rem mendadak, begitu suara benda jatuh terdengar di telinga kami, Nia menyetop ceritanya.
“Denger gak ari kamu teh, Gis?” tanya Nia padaku, sesaat setelah suara benda jatuh itu terdengar.
Aku kemudian mengangguk. Memang terdengar, tapi suara itu kupikir memang sudah biasa. Tikus-tikus di rumah Nyai memang senang berkeliaran di malam hari. Jadi tak aneh kalau seringkali terdengar suara demikian.
“Tikus paling juga, Nia! Orang sering kok Agis denger begitu. Jadi ceritanya gimana? Si Jajang ketemu ga?”
Semula, Nia masih diam. Tak lama kemudian barulah ia menganggukkan kepala. Sepertinya ia sudah setuju dengan pendapatku tentang suara tadi dan akan melanjutkan ceritanya tentang apa yang terjadi sepuluh tahun silam.
“Ceuk Agis kumaha?”
Nia malah bertanya padaku, bagaimana kelanjutan ceritanya.
“Ya, akhirnya Jajang ketemu sih. Buktinya kan sekarang Jajang sudah di luar kota. Iya, kan?”
Nia kembali menganggukkan kepala. Meski benar demikian dan pada akhirnya aku tahu ujung dari cerita yang sedang berjalan, rasa penasaran tentang apa yang terjadi saat itu tak bisa lepas dari pikiran.
“Nia bilang, kan, Nia dengar suara Jajang.”
Wajah Nia kembali menjadi serius. Seperti sebelumnya, saat Nia bercerita bahwa ia bertemu dengan Abah yang baru pulang dari luar kota, yang akhirnya menggandeng tangan Nia untuk turut pulang bersamanya kalau itu.
Perempuan di hadapanku ini mengangguk. Ia dengan yakin meskipun sudah lama sekali kejadian ini terjadi, ia masih yakin dengan apa yang ia dengar hari itu.
“Ih, da beneran Nia teh rasaan denger suaranya Jajang. Suara nangis.”
Kata Nia, saat itu yang terdengar di telinganya adalah tangisan Jajang, bocah enam tahun yang saat itu menjadi yang terakhir dalam permainan. Entah memang ia pandai bersembunyi, atau memang karena ia disembunyikan dengan baik.
“Terus?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, Nia malah bangkit dari tempat tidur.
“Lho, mau kemana?”
Spontan aku bertanya. Sungguh kebiasaan yang ingin sekali kurubah dari hampir semua orang di sini. Benar, kalau cerita tidak tuntas. Membuat yang mendengar bertanya-tanya tentang apa yang terjadi setelahnya.
“Sakeudeung atuh, pan haus ibu.”
Dengan nada bercanda dan sedikit tertawa kecil, ia tertawa. Bisa-bisanya ia melemparkan candaan dengan memanggilku ibu, di malam yang semakin larut ini.
***
Waktu magrib telah berlalu. Nia yang disaat itu berusia sama-sama enam tahun, berpikir kalau suara yang ia dengar tadi memang benar suara Jajang. Tapi, anak itu berpikir kalau Jajang menangis karena kena marah ibunya, yang diakibatkan oleh mereka yang masih saja bermain meski berkali-kali sudah diberi tahu agar tidak main sampai adzan magrib berkumandang.
Jangankan saat itu, saat ini pun yang sudah terbilang maju, ponsel pintar tidak ada gunanya. Apalagi saat itu. Mereka masih menggunakan kentongan untuk media pesan broadcast di sekeliling kampung.
Saat itu, Nia sedang memakan ubi ungu rebus bersama Abah dan Nyai di ruang tengah. Tidak ada televisi. Yang ada hanya suara percakapan Abah dan Nyai tentang apa yang Abah lakukan di luar kota saban hari. Anak perempuan itu hanya mendengarkan. Seperti suara di radio yang sudah biasa ia nikmati.
Sampai akhirnya, suara ketukan di pintu rumah Nyai membuat obrolan keduannya terhenti. Malam itu memang belum begitu larut, tapi semua orang pasti sudah masuk ke dalam rumah masing-masing. Setelah dua kali terdengar ketukan di pintu kayu itu, akhirnya Nyai bangkit dari tempatnya duduk. Ia melepas sengkelot pintu dan menemukan seorang perempuan dengan wajah yang cemas sedang berdiri di balik pintu tersebut.
“Aya naon atuh?”
Kalimat pertama yang keluar dari mulut Nyai membuka percakapan. Tidak biasanya, warga kampung bertamu malam-malam. Kalaupun iya, pasti mengenai suatu hal yang mendesak. Tidak sama seperti di kota atau di tempatku tinggal dulu, tidak ada larangan jam, untuk melakukan apapun.
“Nia ada di rumah, Nyai?”
Mendengar pertanyaan itu, spontan Nyai menoleh ke belakang. Melihat Nia yang sedang duduk santai dan asyik dengan ubi ungu hangat yang sedang anak perempuan itu genggam.
“Aya di lebet. Kunaon kitu?”
Nyai merasa aneh dengar pertanyaan seseorang itu. Untuk apa ia mencari Nia malam-malam.
“Ari Jajang Aya teu di didieu, Nyai?” tanyanya lagi. Rupanya perempuan itu adalah ibu dari anak lelaki yang sore tadi menghabiskan waktu bersama Nia di pekarang rumah. Ia bertanya apakah anaknya juga ada di rumah Nyai. Seketika, Nyai menggelengkan kepala. Memang benar, anak lelaki itu tidak ada di rumah Nyai. Mereka hanya bertiga. Hanya ada Nyai, Abah dan Nia saja.
Mendengar jawaban yang keluar dari mulut Nyai, seketika perempuan setengah baya itu jatuh lemas dengan tangisan yang pecah. Rumah Nyai adalah satu-satunya harapan terakhir tentang keberadaan Jajang setelah ia berlari menuju rumah Mbok Kar, ibu dari Teh Kinar dan rumah Pak Makdi yang tak lain adalah tempat kediaman Yuyun, dua anak lainnya yang juga bermain bersama Jajang sore itu.
Seketika keadaan menjadi ramai. Nia berkata bahwa ia mendengar suara tangisan Jajang magrib tadi, yang ia pikir adalah karena dimarahi ibunya. Abah mengutus satu orang untuk mengambil kentongan dan mulai menyebar kabar tentang hilangnya Jajang. Tidak sampai satu jam, kabar tentang hilangnya Jajang sudah sampai ke seluruh penduduk di kampung tersebut.
Malam menjadi ramai. Obor-obor di tangan-tangan warga terlihat menerangi gelapnya malam yang tidak sesunyi biasanya. Semua orang menjadi sibuk. Mencari ke tiap-tiap kebun warga, barangkali anak lelaki itu sedang sembunyi ketakutan dan tidak bisa pulang karena gelap telah menguasai penglihatannya. Sang ibu yang tadi terkulai lemas tak bertenaga, ditenangkan oleh Nyai dan beberapa tetangga. Ia masih menunggu dengan penuh harap dan kecemasan di beranda rumah Nyai. Sementara suaminya, pergi bersama Abah untuk menyusuri tempat-tempat yang memungkinkan adanya anak laki-laki tersebut.
Malam itu, kampung dipenuhi dengan teriakan memanggil-manggil nama Jajang, sorang anak lelaki yang menghilang selepas magrib. Bulan malam itu terlihat bulat utuh dan terang. Seakan turut membantu menerangi mereka dalam pencarian Jajang.
Sampai pada pukul sepuluh malam, kentongan yang sejak tadi terdengar bunyinya, kini tidak terdengar lagi. Perempuan yang duduk lemas itu seketika bangkit. Bertanya-tanya apa yang terjadi. Apakah mereka menemukan Jajang, atau mereka merasa lelah dan menghentikan pencarian. Ia terus berdoa dalam hati, semoga kemungkinan pertamalah yang ia temui.
Tak lama, Abah berjalan membelah gelap menuju rumah dengan beberapa orang. Mata yang sejak tadi dibasahi tangisan, menjadi berbinar meskipun tangisannya malah semakin terdengar lantang.
“Ya Allah, Jang! Kamana wae atuh emak meuni melang!”
Malam itu, Jajang kembali ke pelukan ibunya, dengan tangisan yang tidak kalah keras.