Semua berpakaian hitam. Sama seperti yang Nyai kenakan tadi, saat menegur aku dan Nia di kamar. Jelas, ini sudah larut, bahkan hampir tengah malam. Aku yang penasaran dengan apa yang mengganggu telingaku akhirnya memberanikan diri untuk keluar dari rumah itu dan melihat pemandangan aneh di belakang rumah ki Jaman.
Mereka membuat lingkaran, seperti dalam acara api unggun pada malam keakraban atau penutupan masa orientasi siswa di sekolah. Hanya saja, mereka terlihat sedikit pucat. Wajah-wajah mereka tidak semuanya kukenali, meskipun ada satu dua yang sepertinya tidak asing.
Langkahku terhenti begitu kulihat di tengah-tengah mereka ada seseorang yang terduduk di kursi. Tangan dan kakinya di ikat. Dari dahinya terlihat darah, begitu pun dengan bajunya, sudah bersimbah. Seseorang itu memakai gaun berwarna putih, bertolak belakang dengan mereka yang mengelilingi nya. Yang lebih membuatku terkejut, betapa rasanya jantungku berhenti seketika saat kutemui wajah seseorang itu begitu sama dengan wajah yang kumiliki. Aku berteriak. Spontan. Tapi, suaraku enggan keluar. Seakan hilang entah bagaimana caranya. Seseorang yang berwajah sama denganku itu mendongakkan kepalanya. Ia menangis dan kami bertatapan. Matanya terlihat begitu menyedihkan, seolah-olah ia sedang meminta pertolongan meskipun bibirnya tidak terlihat mengucapkan apapun. Sementara itu, tanpa kusadari, semua orang yang mengelilingi gadis yang mirip denganku menoleh. Mereka semua menatapku. Aku yang saat itu hanya terpaku, seakan membeku di tempat. Tidak bisa bergerak ke mana pun sampai seseorang di antara mereka bertanya lagi-lagi dengan nada yang datar, “Kunaon Neng Geulis? Sudah siap menjadi seperti dia?”
Aku menggeleng. Jelas tidak mau. Ingin kulari sejauh mungkin. Seseorang di antara mereka berdiri. Mulai melangkah menghampiriku yang jaraknya memang tidak begitu jauh. Seorang laki-laki berperawakan tinggi besar, wajah yang tak kalah pucat, tatapan matanya kosong. Di tangannya, ada seutas tali besar berwarna cokelat. Lelaki itu berkata, “Hayu, hayu, hayu, milu.” Yang artinya, ayo, ayo, ayo, ikut.
Lelaki itu semakin dekat. Saat ini, aku bisa bersuara. Aku menangis. Terlebih saat kakinya hanya berjarak tiga langkah saja dariku.
“Agis!”
Tiba-tiba seseorang meneriakki namaku. Suara yang dalam tapi tegas, yang amat kukenali. Suaranya berasal dari belakang. Nyai, benar itu suara Nyai.
“Agis!”
Sekali lagi, Nyai memanggilku. Begitu aku menoleh, cahaya silau itu lagi-lagi menimpa wajah, membuatku dengan spontan mengangkat tangan, menghalau sinar yang menyilaukan mata.
Agis...
Gis...
Nyai?
Suaranya masih terdengar, tapi cahaya yang begitu terang ini membuatku tak dapat melihat apapun.
Agis...
Agis...
Agis!
Aku menghela napas. Mataku tiba-tiba terbuka dan aku disuguhkan dengan lampu bohlam berwarna kuning yang belum lama ini kulihat. Kutatap sekeliling, ternyata aku berada di kamar. Aku lega, yang tadi itu rupanya hanya sebuah mimpi buruk. Mungkin karena sebelum tidur tadi, Nia bercerita tentang hal hal menakutkan, jadi alam bawah sadarku merespon dan muncullah mimpi yang seperti tadi.
“Kenapa, Gis?”
Kulihat Nia terduduk, bertanya padaku yang masih berbaring dan terkejut.
“Kok keringetan?” tanyanya lagi.
Sementara itu, aku masih terdiam beberapa saat untuk menenangkan pikiran. Jika tadi hanyalah mimpi, mengapa rasanya begitu nyata sekali?
Aku bangkit. Ikut duduk seperti Nia yang sepertinya terganggu tidurnya. Kulirik jam yang menempel di dinding, sudah lewat tengah malam.
“Nyai ada?”
Entah kenapa bibirku tiba-tiba bertanya demikian pada Nia. Seolah kehilangan kendali, pikiranku tidak singkron dengan mulut.
“Ada di kamarnya, kenapa gitu?”
Aku menggelengkan kepala. Berati di rumah ini Cuma ada kami bertiga. Abah sore tadi pergi ke kota, katanya sih ada keperluan. Entah keperluan apa, aku tak harus tahu. Kakak tertua Nia yang saat itu menjemputku di stasiun juga sedang pulang ke rumah mertuanya. Jadi yang ada di rumah ini hanya aku, Nia, dan Nyai saja.
Tak lama, terdengar suara kentongan yang diikuti dengan teriakan teriakan warga. Spontan, aku dan Nia saling bertatap mata. Kejadian dengan menyuarakan kentongan jarang terjadi belakangan ini. Terakhir kali, kentongan itu dibunyikan ketika seseorang ditemukan bunuh diri di kebon kembang. Pasti ada hal mendesak yang membuat warga akhirnya kembali membunyikan alat komunikasi khas kampung ini.
“Ada apa tuh, Nia?” tanyaku penasaran.
“Gak tahu atuh, tumben tumbenan tengah malam begini. Pasti ada sesuatu yang penting sih.”
Kami akhirnya memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur dan menyibak kelambu. Sementara itu, Nyai yang kamarnya terletak agak di belakang, mungkin belum begitu mendengar kekacauan ini. Aku mencoba mengintip di jendela, tapi nihil. Karena jendela Nyai adalah jendela kayu jaman dahulu yang tidak ada kacanya sama sekali. Hanya ada celah celah kecil berbaris. Kuintip lah dari celah-celah tersebut, tapi tetap saja yang kutemui hanyalah gelap.
Nyai rupanya mendengar kegaduhan di luar. Ia berdiri di belakang kami, entah dari kapan. Nia yang melihat tanda dari gerakan tubuh Nyai kemudian mendekat ke pintu dan mulai menarik sengkelot kayu yang menjadi pengunci agar rumah tidak dimasuki maling. Tapi tunggu. Ada yang mengganjal pikiranku. Jelas kulihat bahwa tadi, Nyai memakai brukat hitam dengan kain yang membuatnya anggun. Mengapa tiba-tiba kebaya Nyai berubah menjadi kebaya yang lebih sederhana? Warnanya pun bukan hitam, melainkan merah bata. Apa aku tadi salah lihat? Suara warga di luar akhirnya semakin jelas terdengar begitu pintu di hadapan kami terbuka. Di seberang jalan, terlihat segerombolan warga yang entah sedang apa. Lelaki yang berdiri paling depan membawa kentongan sambil memukulnya dengan tempo yang Nia bilang, artinya seseorang telah hilang. Itu adalah info tentang kehilangan dan salah satu upaya untuk menemukan mereka yang tersesat. Beberapa dari mereka berjalan dengan senter di tangan, memecah gelap yang dingin dengan harapan kalau orang yang hilang itu dapat ditemukan sesegera mungkin.
Ada seseorang yang menoleh dan melihat rumah kami terbuka pintunya. Nyai berdiri paling depan untuk melihat apa yang terjadi di malam yang tenang. Kemudian, seseorang tadi berjalan menghampiri Nyai.
“Ada apa, Mang?”
Baru saja seseorang itu tiba, Nia sudah menodongnya dengan kalimat tanya. Dengan wajah panik, lelaki itu memberitahu pada kami tentang apa yang membuat mereka semalam ini membuat heboh seisi kampung.
“Ki Jaman, Neng, Nyai....” Ia mengambil jeda dari kalimatnya.
“Ki Jaman menghilang, padahal kami tadi menemani di rumah,” Sambungnya.
Aku menoleh ke arah Nia, berharap Nia paham apa yang aku pikirkan seakan aku bisa bertelepati.
“Kumaha maksudna?” Nyai bertanya kali ini.
Tuh, kan? Nyai saja bingung dengan info kehilangan yang baru saja kami dengar. Jika dipikir-pikir, bukankah memang tidak mungkin Ki Jaman menghilang begitu saja? Yang kutahu, Ki Jaman sudah sakit berbulan bulan dan hanya bisa berbaring di kasur dengan perut yang membesar. Untuk ke kamar mandi saja harus dibopong oleh orang lain. Bagaimana mungkin Ki Jaman menghilang?
Saat kami berempat sedang sibuk dengan perbincangan di tengah malam itu, ada satu yang tidak kami tahu, bahwa apapun bisa terjadi di kampung ini.