“Bah, kebetulan sekali Pak Dokter lewat. Macam mana pulak aku kalau Pak Dokter ternyata belum pulang, sudah kubawa pulak itu si Maman dengan tangan berdarah-darah naik motor ini. Bisa bisa mati karena aku itu si Maman jadinya.”
Sepanjang jalan mengantarkan Pak Dokter pulang, San terus saja mengoceh ini dan itu, dengan logatnya yang khas. Sementara Pak Dokter yang dibonceng di belakangnya hanya terkekeh mendengar ocehan-ocehan yang keluar dari mulut San.
“Kebetulan memang pulang dari puskesmas, Pak. Syukurlah saya datang di waktu yang tepat,” ujarnya pada San yang masih memegang stang motor.
Beberapa menit sudah berlalu. Setelah berjalan melewati jalanan kecil perkampungan, akhirnya mereka tiba di depan rumah pak Dokter yang paling besar di antara rumah-rumah lainnya. Rumah berlantai dua yang jarang sekali terbuka pintunya. Rumah yang paling mewah, yang tertutupi pagar hitam yang tinggi. Pak Dokter memang ramah, tapi istri dan anaknya jarang keluar dan bersosialisasi. Entah karena memang mereka jarang ada di rumah karena sibuk, atau memang malas saja bersosialisasi dengan warga sekitar.
“Mampir dulu sebentar, Pak?” tawarnya pada San yang waktu itu mengantarnya sampai ke depan rumah. San memarkirkan motor pinjamannya dari Mang Rusli di depan pagar yang tinggi itu.
Karena San yang tidak enak untuk menolak, akhirnya masuk ke dalam rumah pak Dokter tersebut.
Suasana di rumahnya cukup sepi. Sama seperti yang terlihat Dari luar rumah. Dari depan pagar tinggi berwarna hitam menutupi sebagian rumahnya, sudah terasa nuansa yang berbeda. Rasanya San baru saja tersedot ke dunia yang lain. Di mana rumah ini begitu jomplang dengan suasana kampung. Begitu ia masuk, ia disuguhkan dengan kolam ikan kecil berair mancur dan banyak tanaman-tanaman hias. Sepertinya istri dari pak Dokter ini gemar bercocok tanam. Dilihat dari berapa rapi dan terurusnya taman kecil tersebut. Padahal, istri dari Pak Dokter ini jarang sekali kelihatan.
“Bah, karena sibuk mengurusi ini tanaman, si Ibu dokter itu jadi tidak suka keluar rumah kah?” San membatin begitu melihat taman kecil yang dipenuhi tanaman hias itu.
Mereka memang tidak memiliki pembantu rumah tangga. Meskipun sang istri tidak selalu ada di rumah karena sering pulang-pergi ke kota, karena ia bekerja di sana, rumah ini tetap terlihat terawat dan rapi.
“Pak Dokter tinggal sendiri kah di sini, Pak? Sepi kali rumah Pak Dokter ini?” Akhirnya San yang memang senang asal ceplos itu bersuara. Ia bertanya pada Pak Dokter yang sedang berdiri di depan pintu utama setelah menaiki tiga anak tangga. Ia sedang membuka pintu rumah yang terbuat dari jati yang kokoh. Dari situlah San mengira kalau ia tinggal seorang diri karena rumah tersebut ia kunci. Karena jika memang ada orang lain selain Pak Dokter di rumah tersebut, seharusnya Pak Dokter itu tinggal mengetuk pintu dan seseorang akan membukakan pintu itu untuknya.
“Saya tinggal dengan istri saya. Cuma, istri saya itu harus bulak-balik ke kota, Pak. Kerja di sana. Jadi paling pulang ke sininya jarang. Kami punya rumah di sana juga soalnya. Karena saya punya klinik di sini, makannya bikin rumah di sini. Mari masuk, Pak.”
Begitu penjelasan dari Pak Dokter kepada San. San yang mendengar penjelasan itu hanya mengangguk-anggukan kepala. Lelaki berdarah Sumatera yang melihat rumah ini begitu besar terlihat takjub. Tak henti-hentinya mulut San menganga. Rumah ini bisa dikatakan sebagai rumah yang paling bagus di kampung mereka, meskipun letaknya di paling ujung kampung. Di ruang tamu, ada lampu besar yang menggantung di langit-langit ruangan. Terlihat elegan dan cantik karena seperti berlian yang mengkilap-kilap. Sementara itu, Pak Dokter berjalan ke dapur untuk mengambil air dan menyuguhkannya kepada San yang sudah berbaik hati mengantarkannya sampai ke rumah meskipun jarak rumahnya itu terhitung jauh.
Di dinding yang berhadapan dengan tempat San duduk, tergantung foto keluarga dari sang Dokter. Ada tiga orang di sana, yakni pak dokter yang berpakaian rapi dengan jas berwarna hitam, perempuan cantik yang tak lain adalah istrinya yang memakai gaun berwarna emas, duduk di sebelah pak Dokter dengan senyuman yang mengembang, lalu di belakang mereka, seorang remaja lelaki yang juga memakai setelan jas berwarna hitam. Terlihat seperti keluarga idaman yang juga di idam-idamkan banyak orang.
Tak lama, setelah San memandangi foto tersebut, Pak Dokter datang membawa dua cangkir berisi teh di atas nampan. Secangkir teh untuk San dan secangkir lagi untuknya. Ia menaruhnya di atas meja.
“Silakan diminum, Pak.”
Dengan ramah, Pak Dokter memberikannya jamuan. San meminumnya beberapa teguk. Setelahnya, mereka sedikit berbincang-bincang. Ini juga bukan pertama kalinya San bertemu dengan Pak Dokter, karena ia pernah sesekali mengantar Suti untuk mengecek kandungan di klinik milik Pak Dokter, di sebelah barat rumah ini. Namun, ini pertama kalinya ia bisa diundang untuk masuk ke dalam rumahnya yang di mana biasanya selalu tertutup dan jarang sekali menerima tamu. Mungkin karena Pak Dokter itu memang orang yang sibuk, hingga ia pun hanya ada di rumah untuk tidur dan beristirahat saja.
“Pak Dokter tak ada jadwal praktek lagi kah? Sudah senggang?” San mulai bertanya. Ia takut mengganggu waktu Pak Dokter yang malah menyuguhinya dan mengobrol santai-santai di rumahnya. Barangkali Pak Dokter masih sibuk, ia tak ingin mengganggu.
“Ah, kebetulan hari ini jadwalnya klinik tutup. Jadi, saya sudah tidak ada jadwal praktik lagi setelah ini. Santai saja, Pak,” ujar Pak Dokter pada San dengan santai.
San masih saja sesekali memandangi foto besar yang terpampang di dinding, tepat di depannya. Sampai Pak Dokter yang menyadari itu, kembali bersuara. Ia seakan tahu kalau sebenarnya San ingin bertanya, hanya saja mungkin ia sungkan. Maka, sang Dokter lebih dulu mengatakannya pada San.
“Ah, iya. Itu foto keluarga kecil saya, Pak. Bapak pasti ndak tahu, kan, kalau saya punya anak sudah bujang seperti itu?” ujar Pak Dokter sambil sedikit terkekeh.
San yang memang sejak tadi penasaran dengan foto anak lelaki di belakang Pak Dokter dan Istrinya itu mengangguk. Benar dugaannya kalau itu adalah anak mereka.
“Tapi, tak pernah nampak pula anak Pak Dokter itu di kampung kami. Aku sampai tak tahu lah kalau Pak Dokter punya anak tampan kali, sudah bujang pulak.”
San memang begitu cara bicaranya. Pak Dokter sudah paham dan memakluminya. Ia mengambil cangkir teh di meja, yang tadi ia bawa bersamaan dengan secangkir teh untuk San. Seteguk dua teguk mengalir ke tenggorokannya yang sepertinya mulai kering. Seusai meneguk teh itu, Pak Dokter kembali bicara.
“Dia sedang kuliah di luar kota, Pak. Makannya tidak pernah kelihatan.”
Memang sejak pindah ke kampung ini beberapa tahun yang lalu, anak dari Pak Dokter ini tidak pernah ada yang melihatnya. Ia hanya datang saat pertama kali mereka pindah. Setelah itu, ia kembali ke kota untuk menyelesaikan pendidikannya di bangku SMA. Setelah lulus dari sana, ia melanjutkan pendidikannya ke Jogjakarta. Jadilah, anak lelaki Pak Dokter itu tidak pernah terlihat di kampung ini. Paling-paling, ia pulang setahun dua kali. Bila libur panjang atau libur lebaran. Itu pun jika Pak Dokter sekeluarga tidak memutuskan untuk bertebaran di kampung halamannya atau kampung halaman istrinya.
“Ah, macam itu rupanya. Pantas aku tak pernah lihat, bah.”
Sekali lagi, San meneguk teh yang disuguhkan pak Dokter. Hingga teh dalam cangkirnya hanya sisa separuh.
“Bagaimana kondisi istri bapak? Sehat-sehat saja, kan?”
Pak Dokter tiba-tiba bertanya. Suti memang sudah menjadi pasiennya sejak usia kehamilan perempuan itu masih dini. Sampai sekarang, di hamil tua, sekitar tujuh bulanan, Suti selalu memeriksakan kondisi bayinya pada Pak Dokter yang memiliki klinik di ujung perkampungan ini. Beberapa waktu lalu juga Suti datang ke klinik untuk melihat jenis kelamin anak yang dikandungnya itu.
“Sehat-sehat saja istriku, Pak Dokter. Kemarin pulak dia sudah periksa di klinik pak Dokter, kan? Aku tak bisa ikut, diantar tetanggaku kemarin istriku itu. Bah, andai aku tidak ada kerjaan sudah kuantarkan dia,” ujar San yang sepertinya menyesal karena tak bisa mengantarkan istrinya untuk check up di klinik Pak Dokter kemarin.
“Tidak apa-apa, Pak. Yang penting bayinya sehat,” ujar pak Dokter yang diiringi senyuman.
Setelahnya, San berpamitan untuk pulang. Setelah menghabiskan isi cangkir putih di atas meja itu, ia hendak kembali mengantarkan motor kepada pemiliknya kemudian menemui istrinya di rumah. Ia ingat, harus menyampaikan pesan dari Iwan di malam gerhana ini.
San bangkit dari kursi, ia berjalan keluar rumah mewah tersebut. Sebelum keluar dari gerbang, Pak Dokter memanggil namanya. Menyelipkan amplop ke dalam saku San, katanya untuk mengganti uang bensin. Awalnya San menolak. Karena ia memang bermaksud untuk menjemput Pak Dokter di kliniknya, demi menolong Maman yang sekarat. Tapi, Pak Dokter terus saja memaksa San hingga akhirnya laki-laki itu menerima amplop putih yang isinya beberapa lembar uang.
“Hati-hati di jalan ya, Pak. Besok saya cek lagi kondisinya Mas Maman.”
Pak Dokter melambaikan tangannya dari pagar. Sementara San hanya tersenyum dan menganggukkan kepala, sebelum kembali menyalakan motornya dan berjalan menuju rumah sang pemilik motor. Ah, sebelum pergi juga, Pak Dokter itu memberi sebuah bingkisan. Katanya, oleh-oleh dari istrinya yang baru saja melakukan perjalanan bisnis keluar kota. Pak Dokter bilang, itu untuk Suti, istrinya San di rumah. San tidak pernah tahu, kalau malam ini, akan terjadi sesuatu pada istrinya itu.