Sampan Balik

1533 Kata
“Kamu, sih! Nia tuh baru saja mau bilang, kalau gak boleh ngomong sembarangan di tempat itu,” ujar Nia sambil mengayuh pedal sepeda dengan cepat. Sementara aku yang duduk di bangku belakang, sesekali menengok. Aku merasa ada yang mengikuti kami dari belakang. Masih sedikit kaget dengan apa yang baru saja terjadi. “Dari dulu, tempat itu memang ada penunggunya!” gerutunya, masih terlihat sebal dengan kelakuanku yang ceroboh ini. Aku tidak membantah. Memang mungkin salahku yang seenaknya berbicara. Kejadian tadi benar-benar membuat kami terkejut. Seolah ada sesuatu yang besar, mencuat dari dalam air. Kupikir itu memang benar-benar buaya yang muncul dari dalam air. Beberapa meter kami berlalu, melintasi kembali pematang sawah yang sebentar lagi akan dipanen padi-padinya karena sudah merunduk. Untung saja, ini masih pagi hari. Tidak begitu menakutkan berjalan di jalanan yang sepi seperti ini. Berbeda jika kami pergi di malam hari. Tidak terlihat adanya lampu penerangan jalan. Terbayang bukan bagaimana seramnya melewati jalanan kecil di tengah sawah tanpa penerangan sedikit pun? Sedikit demi sedikit, degub jantungku yang tadinya gak genderang mulai perlahan melemah, tidak segemuruh sebelumnya, saat melihat air yang membuncah di tengah-tengah sungai. Pemandangan asri yang tersuguhkan di depan mata membuatku menjadi sedikit lebih tenang. Kicau burung juga terdengar. Terlihat orang-orangan sawah dengan baju yang tertiup-tiup angin. “Besok-besok, jangan ke sana sendirian, ya. Nia hanya memperlihatkan ke Agis sebentar. Sudah tidak ada anak kecil yang main-main di sana, apalagi sejak sampan terbalik beberapa tahun yang lalu.” Aku mendongak. Menatap rambut Nia yang juga bergoyang tertiup angin. Lagipula, siapa juga yang berani pergi ke tempat itu sendirian? Meskipun sebenarnya Nyai tidak mengatakan apa-apa agar aku tetap diam di dalam rumah dan Nyai juga tidak melarangku untuk pergi ke mana pun yang kumau, tetap saja karena tempat ini masih asing bagiku, aku lebih nyaman bersembunyi di dalam rumah di atas ranjang berkelambu itu. Tapi, ada yang mengganggu pikiranku. Tadi, Nia berkata tentang sampan terbalik. “Sampan terbalik bagaimana?” Sampannya putar balik? “Sampan yang seperti kamu lihat itu tadi, lho.” Aku masih tidak mengerti. Kenapa juga anak-anak harus takut bermain ke sungai hanya karena sampan terbalik? Bukankah sudah biasa? “Ada yang tewas setelahnya.” Deg. Seketika bulu kudukku meremang. Hawa dingin seolah membelai dari belakang. Sejak tadi hawa memang sejuk. Tapi, yang ini lain. Seperti ada yang meniup-niup tengkuk leherku. Nia masih mengayuh sepeda melintasi jalanan kecil di kampung ini. Kami sudah melewati pematang sawah dan mulai masuk ke pemukiman warga, meskipun rumah-rumah masih jarang kami temui. Lebih luas kebun-kebun dan banyak kandang ternak dibanding rumah warga. Tapi ada satu yang mencolok. Ketika kami melewati tikungan yang sebelumnya tidak kami lewati. “Kita enggak lewat jalan yang pertama tadi ya, Nia?” tanyaku begitu sadar kalau jalan yang kami lalui terasa berbeda. Ini adalah pemandangan baru yang asing bagiku. Nia tidak menjawab pertanyaan yang aku lontarkan. Ia masih menggowes sepedanya dan menelusuri jalan aspal yang kecil. Ada sebuah rumah yang sangat mencolok dibanding yang lain. Jika kebanyakan rumah di kampung ini berbahan kayu dan bilik, paling-paling bertembok bata tapi masih sederhana, yang ini lain. Sebuah rumah yang memang jika di kota sana rasanya sudah biasa saja karena banyak kutemui setiap hendak berangkat sekolah. Berhubung di desa ini yang kebanyakan rumahnya adalah kayu, jadi rumah tersebut terlihat mencolok dibanding yang lain. Sangat tidak seimbang dengan Rumah-rumah kebanyakan. Rumah itu terletak di pinggir jalan yang tidak terlalu besar, yang kini sedang kami lewati. Pintu pagarnya yang berwarna hitam tertutup rapat. Cukup tinggi hingga agak sulit untuk mengintip ke dalam jika berdiri tepat di depan pagarnya. Sebuah rumah berlantai dua yang cukup besar, dengan desain eksterior yang elegan, memiliki jendela yang besar, juga pintu kayu jati yang agak di atas karena aku dapat melihatnya dari balik pagar hitam itu. Sepertinya, rumah ini didesign sedikit modern dengan tangga sebelum pintu masuk. Model-model rumah masa kini. “Bagus, ya?” Tiba-tiba saja Nia bertanya, padahal sejak tadi perkataanku tidak ia hiraukan sama sekali. “Ini rumah siapa, Nia?” Memang sudah terlahir menjadi seorang yang sangat penuh dengan rasa penasaran, aku akhirnya bertanya tentang pemilik rumah ini. Aku ingin tahu, siapa yang bisa mendirikan rumah paling menawan di antara rumah-rumah di perkampungan ini. “Oh, ini rumahnya pak Dokter. Yang buka klinik di ujung kampung itu lho. Yang kemarin Muti dibawa ke sana. Tahu, kan?” Aku mengangguk-anggukan kepala. Meskipun aku juga belum pernah bertemu langsung dengannya. Entah, pak dokter itu yang seperti apa. “Dia tinggal sama keluarganya?” Melihat rumahnya yang nampak sepi, aku jadi bertanya demikian. Jika saja di rumah itu pak dokter tinggal dengan banyak orang, sudah pasti rumah itu tidak akan sesepi ini, bukan? “Iya, cuma sama istrinya. Anaknya pada ngerantau. Kuliah di luar kota,” jelas Nia yang begitu singkat. Aku hanya menganggukkan kepala lagi. Tidak salah jika rumah ini bagus. Karena yang memilikinya adalah seorang dokter. Aku juga tidak ingin terlalu banyak tahu. Lebih tepatnya, tidak begitu tertarik dengan kisah keluarga ini, karena menurutku sama saja seperti kebanyakan orang berhasil. Memiliki pekerjaan bagus, istri yang juga seorang pekerja dan anak yang berpendidikan tinggi yang sedang merantau demi pendidikannya. Tidak ada yang perlu aku ketahui lagi tentang keluarga itu. Akhirnya, tibalah kami di ujung kampung. Tempat di mana klinik milik dokter tadi berada. Lumayan jauh dari tempat Nyai. Mungkin sekitar dua puluh menitan atau paling cepat lima belas menit memakai motor dengan kecepatan yang cukup tinggi. “Ini kliniknya.” Nia berhenti menggowes sepeda dan berhenti di salah satu bangunan dengan papan di atasnya yang bertuliskan “Klinik Sejahtera”. “Kenapa kamu bawa aku ke sini, Nia?” Anak perempuan itu sejenak terdiam, memandangiku dengan senyuman yang masih tersungging di bibirnya. Semakin lebar dan lebar. Belum pernah aku melihatnya seperti itu sebelumnya. “Nia!” Ia malah menatapku dengan tatapan yang aneh. Tiba-tiba, aku merinding. Ku teriakan sekali lagi namanya lebih keras, “Nia!” Ia berhenti tersenyum. Menarik sepedanya dan mulai duduk di atas sadel dan menaruh sebelah kakinya di atas pedal. Aku yang tidak mengerti ada apa dengan Nia, akhirnya memberanikan diri untuk duduk di bangku boncengan. “Nia, kamu kenapa si? Kenapa kamu bawa aku ke sini?” “Nanti juga kamu tahu, Gis.” Begitulah jawaban yang aku Terima dari Nia. Setelah itu, kami hanya saling diam. Yang terdengar hanya suara kayuhan sepeda yang sudah agak tua itu saja. Sampai akhirnya kami kembali ke rumah Nyai. *** “Ampun, Nyai. Salah Nia. Nia anu ngajak Agis.” Aku duduk di sebelah Agis, agak ke belakang sedikit. Setelah Nyai tahu kalau kami baru saja ke sungai hijau, ia terlihat marah. Matanya memerah, memasang wajah yang penuh amarah. Entah kenapa, tapi begitulah yang aku rasakan. Aku hanya bisa tertunduk lesu sambil mendengar Nia yang terus menerus berkata ampun, maaf, dan sejenisnya pada Nyai. Sementara perempuan itu hanya berdiri di depan kami, melemparkan tatapan tajam ke arah Nia, sesaat sebelum aku menundukkan kepala lagi karena takut padanya. Nyai tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tapi, itulah yang membuat aku semakin takut padanya. Pasti ada sesuatu di balik ini. Dilihat bagaimana ia marah hanya karena kami pergi bermain ke sungai hijau. Entah, Nia belum bercerita. Setelah ini, aku akan bertanya padanya meksipun anak perempuan itulah yang tetap akan memutuskan untuk bercerita padaku atau tidak sama sekali. Salahnya aku memang. Ketika kami kembali, aku terus berkata pada Nia tentang apa yang baru saja kami lalui. Kebetulan, Nyai yang muncul dari dapur mendengar percakapan kami. Hingga akhirnya, kami berakhir seperti ini di ruang tengah. “Tempat itu bahaya, Nia.” Akhirnya, setelah terdiam dan hanya menatap kami dengan tatapan yang penuh amarah itu, Nyai buka suara. Mungkin Nyai takut di sana ada ular, atau jangan-jangan memang benar-benar ada buaya? Makannya ketika aku bertanya tentang buaya, air itu mengebor ke atas. Bisa jadi, itu benar-benar seekor buaya, bukan? “Iya, Nyai. Nia moal ngajak Agis ke sana lagi.” Anak perempuan di depanku itu menyanggah. Ia berjanji kalau ia tidak akan lagi membawaku ke sana. Kalaupun ia aku juga tidak mau ke sana lagi. Terlalu menyeramkan. “Beberapa tahun itu masih seperti kemarin, Nia. Apa kamu tidak belajar dari pengalaman?” Kini mata Nyai malah terlihat berair. Aku tahu, sebagai orang tua, ia pasti selalu merasa khawatir terhadap anak-anaknya. Sementara itu, Nia hanya memainkan jarinya sambil menunduk, sama seperti aku, ia tak berani menatap wajah Nyai setelah mengintip diam diam sesekali. “Jangan berbuat yang tidak-tidak, Nia.” Setelahnya, ia berlalu. Mengambil mangkuk dari tanah liat yang berisikan daun sirih yang sering kali ia kunyah hingga giginya berwarna merah. Persis seperti seseorang yang baru saja menelan darah. *** “Emang ada apa sih, Nia?” Aku mengambil segelas teh hangat yang sudah kutuang dari teko alumunium. Nyai baru saja mengisinya dengan penuh. “Yang seperti tadi aku jelaskan. Tentang sampan berbalik itu.” Aku mendongak. Setelah meneguk beberapa kali dalam satu gelas itu, aku duduk di sebelah Nia dan mulai kembali mengorek-orek cerita tentang sampan terbalik di sungai hijau itu. Apa yang terjadi sebenadnya? “Ayolah, Nia. Biasanya kan kalau cerita selalu lengkap seperti Mbak admin lambe turah!” celetukku padanya. Kemudian, ia turut menuang teko dengan teh hangat itu ke dalam gelas kosong di depannya. Meneguk satu dua tegukan dengan pelan. “Jadi begini... “
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN