Satu bulan berlalu. Kinigenao tiga bulan Wak Jaman mengidap penyakit yang entah apa yang menyebabkannya menjadi demikian. Pak dokter sudah memeriksa. Tidak ada yang bisa dieluhkan. Semua alat vitalnya sehat, kata Pak Dokter. Mak Jaman yang sejak itu jadi sering berdiam diri di dalam rumah pun sudah membawa Wak Jaman ke rumah sakit besar. Sama saja. Hasilnya nihil. Sementara itu, kondisi Wak Jaman terlihat parah dari hari ke hari.
Kemarin, aku mengikuti Nyai yang kebetulan lagi-lagi mengantarkan kunyit asam untuk Mak Jaman. Sejak ia sering bergadang karena harus menunggui suaminya itu, magh nya sering kali kumat. Asam lambungnya sering naik. Jadilah Nyai selalu membuatkannya kunyit asam seperti sekarang ini. Di situlah kulihat tubuh lelaki yang sebenarnya belum begitu tua. Lelaki yang baru aku sadari, kalau ternyata dia lah yang memandangiku dengan tatapan janggal sambil duduk di bawah pohon mangga, saat aku pertama kali tiba di rumah Nyai. Sangat berbeda dengan ketika pertama kali aku melihatnya. Tubuhnya dahulu begitu segar dan berisi. Terlihat lebih muda di banding sekarang ini. Sedikit kaget dan turut prihatin, meskipun sampai sekarang aku tak tahu mengapa ia memandangiku saat itu.
“Nih, cobaan.”
Tiba-tiba saja Nia mengacungkan sebuah kue yang dibungkus dengan daun pisang mengkilap.
“Apaan ini?”
Nia baru saja kembali dari dapur. Beberapa waktu yang lalu, Mbok Mar datang ke mari. Membawa sebuah baskom yang ditutupi oleh selendang. Aku juga tidak tahu apa isinya. Tapi, sepertinya, sih, kue ini salah satu isi dari baskom tersebut.
“Unti.”
“Bibi? Dih kanibal!”
Aku mencoba bercanda dengannya. Benar, kan? Jika dalam bahasa Inggris, Unti itu adalah bibi.
“Aunty, oneng!”
Nia tertawa setelah mendengar leluconku. Aku mengambil kue yang ia sodorkan. Mencoba untuk membukanya. Dulu, aku pernah makan ini. Kue berwarna putih yang kenyal yang di dalamnya terdapat potongan pisang.
Tapi, begitu bungkusan ini kubuka, aku menaikkan alis. Warnanya hitam. Bukan putih seperti yang aku bayangkan sebelumnya.
“Kok item sih, Nia. Bukannya putih, ya? Yang ada pisangnya itu, lho,” celetukku.
Nia mengedip-kedipkan matanya. Kemudian duduk di sebelahku yang sejak tadi meliriknya dengan tatapan bingung.
“Yang putih itu namanya papais. Beda sama yang ini. Udah, makan weh dulu. Cobain. Sama enaknya.”
Demi mendengar perkataan manis Nia yang seperti itu, akhirnya kemasukan kue hitam yang juga bertekstur kenyal itu ke dalam mulut. Di dalamnya terdapat kelapa parut yang sudah dibubuhi gula merah cair. Benar kata Nia. Kue ini enak sekali. Kenapa kue di kampung-kampung terasa lebih nikmat, ya? Apa karena aku jarang menemukan kue seperti ini?
“Enak, kan? Ceuk Nia ge naon!”
Aku mengangguk-anggukkan kepala.
“By the way, dari siapa ini? Nyai bikin sendiri?”
Nia menggelengkan kepalanya. Benar dugaanku, bukan Nyai yang membuat kue ini.
“Tadi dikirimin Mbok Mar.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Sementara Nia menyodorkan satu bungkusan lagi yang segera kuserobot dan kubuka bungkusannya.
“Dalam rangka apa? Emang orang Sunda sering bikin kue kaya gini, ya?”
Lagi-lagi, Nia menggelengkan kepalanya.
“Enggak juga, sih. Sebenernya kue-kue kaya gini teh dibikin kalau lagi ada acara aja gitu. Kaya selametan, atau tahlilan, marhabaan, kawinan. Gitu.”
Aku menoleh ke arahnya. Kemudian bertanya, “Terus Mbok Mar lagi punya acara apa? Tahlilan? Emang ada yang meninggal ya?”
Dengan cepat, Nia menggelengkan kepala. “Bukan tahlilan.”
Jangan-jangan, ini ada kaitannya dengan kedatangan Mbok Mar sebulan yang lalu untuk mencari Abah. Waktu itu, kebetulan memang Abah tidak sedang ada di rumah. Mbok Mar akhirnya bertemu dengan Nyai dan menitip pesan. Benar saja, esoknya Mbok Mar kembali menemui Abah. Tapi, aku tidak tahu untuk apa Mbok Mar ke mari. Ternyata untuk acara ini. Sebentar, tapi kenapa Mbok Mar harus ketemu Abah? Kan Abah gak bisa bikin kue begini. Harusnya Mbok Mar nyarinya Nyai dong?
“Terus ada acara apa katanya?”
Nia sepertinya sudah tahu. Tidak salah lagi, Nia kan google nya kampung ini. Ditambah, anak itu selalu up to date masalah pergosipan kampung. Sudah pasti lah, ia tahu akan hal ini.
Tak lama, terdengar suara anak perempuan meneriaki kami dari luar.
“Assalamu’alaikum, Nia! Agis!”
Dari suaranya yang khas, sudah sangat jelas kalau itu adalah Dita. Si anak yang jauh lebih cerewet dari pada aku. Ia datang dengan kacang tanah rebus di dalam mangkok besar. Jika sudah begini, sudah tahu kan apa yang akan terjadi?
WIB di mulai. Waktu Indonesia Bergibah. Aku dengan cepat bangkit dan menyusul Dita yang lebih dulu berlari ke dipan bambu di bawah pohon mangga. Sementara, di sana sudah ada Rendi yang duduk manis dengan kaus berwarna biru tua. Ia melambai-lambaikan tangannya ke arahku.
“Teh Kinar mana?” tanyaku begitu kami sampai di bawah pohon mangga. Hanya ada Dita dan Rendi. Kami tidak melihat Teh Kinar. Kami memang jadi jarang berkumpul dengan formasi lengkap akhir-akhir ini. Teh Kinar paling sering absen di antara kami.
Nia tersenyum, “Tah, baru ge tadi mau dibilangin. Keburu Dita datang,” katanya sembari duduk dan mencomot kacang tanah rebus yang dibawa Dita tadi.
“Tadi Teh Kinar titip salam. Kebetulan tadi Dita ketemu. Katanya lusa mau nikah.”
Spontan mataku terbelalak. Kaget, jelas. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba mendengar kabar kalau Teh Kinar akan menikah. Padahal sejak tiga bulan lalu, tidak terdengar isu-isu ataupun desas desus demikian. Sementara itu, tidak seperti aku yang kaget bukan kepalang, Nia terlihat santai-santai saja seperti sudah tahu akan hal ini.
“Kok kamu gak kaget Nia? Kamu udah tau ya?” Aku langsung menodongnya dengan pertanyaan. Sementara itu, Nia malah tertawa dibuatnya.
“Kan ceuk Nia ge tadi Nia mau ngomong. Cuma keburu Dita datang. Mbok Mar ke rumah teh buat nentuin tanggal. Dia ngomong ke Abah kalau lusa Teh Kinar mau menikah.”
Secepat itu? Tapi tunggu dulu. Lagi-lagi aku dibuat bingung. Apa hubungannya penentuan tanggal nikah dengan Abah? Toh, Abah kan bukan wali Teh Kinar.
Kupikir hanya aku yang terkejut mendengar kabar ini. Ternyata, Rendi tak kalah terkejut. Ia juga baru mendengar kabar ini karena Bapaknya tidak mengatakan apapun padanya. Imbang, dua lawan dua.
“Kenapa atuh Mbok Mar malah nemuin Abah? Bukan Pak RT? Rendi juga sepertinya enggak tahu ya, masalah ini?”
Rendi mengangguk. Ia tidak tahu menahu. Lagi pula, sebulan lalu ketika kami bertemu dengan Teh Kinar, perempuan itu tidak membahas hal-hal yang merujuk ke pernikahan.
“Karena mau ada acara ya Abah kudu nyarang hujan, Gis.”
Rendi dan Dita sepertinya sudah paham karena reaksi mereka biasa saja. Tinggal aku yang bingung seorang diri. Nyarang hujan itu apa lagi?
“Itu lho, biar acaranya lancar. Enggak kena hujan atau apa gitu. Emangnya, di Kota gak ada yang gitu-gituan? Nanti kalau pas ada acara terus hujan gimana, Gis?”
Kali ini Dita yang menjawab pertanyaanku. Nyarang hujan di kampung ini merupakan sebuah hal wajib yang ada di sebuah acara rupanya. Dan orang yang terkenal menjadi pawang hujan terbaik di kampung ini adalah Abah.
“Jadi Abah teh pawangnya?”
“Bisa dibilang begitu.”
Dengan entengnya Nia menjawab, dengan tangan yang masih sibuk membuka cangkang kacang tanah rebus. Satu pertanyaan sudah memiliki jawaban. Aku melirik ke arah Rendi. Sepertinya ia juga ingin mengatakan sesuatu. Benar saja. Begitu aku selesai dengan ucapanku, akhirnya ia berbicara.
“Terus, Teh Kinar menikah dengan siapa?”