Pelet

1110 Kata
“Gak salah denger kan, ini?” Aku terkejut mendengar perkataan Dita. Bagaimana mungkin Teh Kinar pada akhirnya menikah dengan seseorang yang sejak dulu seringkali ia hindari. Aku tahu persis bagaimana perempuan itu terlihat sebal ketika ia melihat lelaki yang terus menerus mengejarnya itu datang dari ujung jalan. Perempuan itu akan lari seketika. Tapi, sekarang? Kabar yang kudengar benar-benar membuatku tercengang. Tidak, bukan hanya aku. Rendi juga. Ia sejak tadi hanya membulatkan mata dan menganga. Sepertinya ia sepemikiran dengan aku. “Kaget kan? Atuh Dita ge sama pas awal ngadangu teh. Hoh, geuning sih Teh Kinar akhirnya mau?” Dita menjelaskan pada kami kalau awalnya ia juga memiliki reaksi yang sama seperti aku. Rasanya baru kemarin melihat Teh Kinar bersembunyi hanya karena ia tak mau bertemu dengan Bang Bruno. Dalam waktu satu bulan saja, masa iya Teh Kinar langsung berubah pikiran? “Apa mereka dijodohkan oleh Mbok Mar?” Kali ini Rendi yang bertanya. Sepertinya itu bukan kemauan Teh Kinar. Bisa saja kan memang ada faktor keterpaksaan yang akhirnya membuat Teh Kinar mau tak mau harus menerima pinangan lelaki itu. Namun, Nia menggelengkan kepala. “Engga. Nia teh kemaren sempet nguping obrolan Mbok Mar sama Nyai soalnya.” Demi mendengar perkataan Nia, aku mendelik. Bukankah kemarin Nia berkata kalau menguping itu sesuatu yang tidak baik? Mengapa ia melarangku sementara ia juga berbuat demikian? Mengerti akan tatapanku yang tajam, Nia terkekeh geli. “Gak sengaja, Agis.” Tapi, Dita dan Rendi tidak peduli. Mereka juga ingin tahu apa yang terjadi pada teman kami, Teh Kinar. “Orang Mbok Mar bilang sama Nyai, tiba-tiba Teh Kinar minta dinikahkan sama Bang Bruno.” Kami bertiga, aku, Rendi, juga Dita saling tatap tak percaya. Yang bener aja? “Harusnya sih ini kita tanya langsung sama Teh Kinar. Kok bisa-bisanya dia tiba-tiba mau nikah sama Bang Bruno,” celetukku. Meski baru kenal dengan mereka selama kurang lebih empat bulan, aku merasa sudah dekat dengan mereka. Mereka adalah teman yang aku miliki di tempat ini. Jadi, masalah mereka adalah masalahku juga. Kira-kira begitulah. Kami sempat terdiam beberapa waktu. Sibuk dengan kacang tanah rebus yang sedikit lagi hanya tersisa cangkangnya saja. Memang, Dita membawa kacang tanah rebus ini tidak terlalu banyak. Hanya semangkuk besar. Tapi, begitu hening menjadi latar perbincangan kami saat itu, tiba-tiba Dita mengejutkan kami dengan kata-katanya. Dita mengatakannya dengan sedikit berbisik. Sebelumnya, ia melambaikan tangan, memberi kami kode untuk mendekatkan badan. “Jangan-jangan Teh Kinar dipelet!” Begitu katanya. Kami berempat seketika saling tatap. Tunggu dulu, di zaman se modern ini, mereka masih percaya hal seperti itu? Aku menarik badan paling pertama. Setelahnya mereka semua turut kembali ke posisi semula. “Emang masih ada yang kaya gituan ya?” Aku bertanya. Sebenarnya kurang percaya dengan hal-hal demikian. “Sekarang mah pikir weh, baru kemaren-kemaren Teh Kinar teh sebel banget sama Bang Bruno, terus ayeuna Teh Kinar mau nikah. Apalagi kalau bukan dipelet coba?” Nia dan Rendi mengangguk-anggukkan kepala. Mereka berdua sepertinya sepakat dengan perkataan Dita. Berbeda dengan aku yang memang sejak awal tidak begitu percaya dengan hal hal yang seperti ini, mereka tumbuh dengan adat dan kepercayaan akan hal mistis yang kental. “Bisa jadi, sih.” Tiba-tiba Rendi berujar demikian. Ia pun menyimpulkan kalau ini adalah kekuatan dari pelet. Rasanya tidak mungkin kalau Teh Kinar mau menerima pinangan Bang Bruno. Ia sangat membenci pria itu. “Lusa mereka nikah, tadi Mbok Mar nganterin unti ke rumah. Sekalian ngajadikeun sama Abah.” Aku melempar lagi tatapan ke arah Nia. Kali ini bukan tatapan tajam seperti pertama. Tapi, lebih ke tatapan bertanya. Ngejadiin apa maksudnya? Tapi sepertinya Dita dan Rendi sudah paham dengan perkataan Nia. Dilihat dari wajah mereka yang tidak kebingungan seperti aku. “Ngejadiin hajat. Kan Abah kudu jaga pandaringan!” Bukannya Nia yang menjawab, tapi aku malah mendapatkan jawaban itu dari Dita. Kenapa juga pandaringan alias tempat menyimpan beras itu harus dijaga? Toh, gak bakal lari ke mana-mana, bukan? Melihat ekspresiku yang masih kebingungan, akhirnya Nia memperjelas penjelasan Dita. “Kan Abah jadi pawang hujan, tah ngerjainnya teh di pandaringan, Agis. Syarat-syaratnya teh ditaro di sana.” Tidak ingin berlama-lama terjebak dalam situasi yang seolah olah hanya aku yang bodoh karena kurang mengerti dan percaya akan hal seperti ini, akhirnya aku menganggukkan kepala agar mereka berpikir kalau aku sudah mengerti. Meskipun sebenarnya, bagiku masih tidak masuk ke dalam logika. Tentang segala macam yang terjadi di kampung ini, benar-benar di luar nalar. Seperti nya aku hanya dapat menemukan hal seperti ini ya di kampung ini. Sebelumnya, hidupku terasa normal-normal saja. Tak lama, seseorang terlihat dari ujung barat. Perempuan yang sejak tadi kami perbincangkan. Ia berjalan dengan senyuman yang mrngembang di wajah. Siapa lagi kalau bukan Teh Kinar, perempuan yang dua hari lagi akan menikah. “Assalamu’alaikum!” Ia mengucap salam begitu tiba. “Wa alaikum salam,” jawab kami serempak. Tidak terlihat wajah yang sedih atau tertekan. Ia seperti benar-benar akan menikah dengan seorang pujaan hatinya. Wajahnya berseri-seri. Bisa kami simpulkan kalau ini benar-benar sebuah pernikahan tanpa paksaan seperti yang kami duga sebelumnya. “Lusa datang ya, Teteh mau nikah. Enggak raramean pisan, sih. Tapi, ya pokoknya mah kudu daratang!” ujarnya lagi. Ia kemudian memberi kami kertas undangan berwarna merah muda yang bertuliskan nama Teh Kinar dan Bang Bruno di depannya. Kami tidak sedang bermimpi, ia memang akan menikahi lelaki bertubuh tambun itu. “Teh,” Aku memanggilnya sedikit ragu. Tapi, rasa ketidak percayaanku membuat bibir ini berani memanggilnya untuk sekadar memastikan kalau apa yang ia lakukan ini benar-benar dengan penuh kesadaran. “Kenapa, Gis?” tanyanya lagi. Ia memang Teh Kinar yang kami kenal. Tapi, entah kenapa rasanya sekarang ini terlihat berbeda. “Ini serius Teh Kinar mau nikah?” Teh Kinar malah tertawa mendengar pertanyaanku. “Kalau enggak serius teh kenapa atuh udah nyebar undangan begini?” Ia malah balik bertanya padaku. “Ya, engga, Teh. Maksudnya, serius mau nikah sama Bang Bruno?” Seketika semua mata tertuju padaku. Meskipun aku yakin, Nia, Dita, juga Rendi sebenarnya ingin bertanya mengenai hal ini pada Teh Kinar, akhirnya mereka hanya bisa menatapku ketika aku bertanya demikian. Toh, apa bagusnya kami berbicara tentangnya di belakang dan menebak-nebak apa yang terjadi? Bukankah lebih baik diklarifikasi langsung dengan yang bersangkutan? Teh Kinar yang mendengar pertanyaanku itu hanya menganggukkan kepala. “Padahal dulu Teteh benci banget sama Bang Bruno. Kok bisa sih?” Lagi-lagi aku tidak puas dengan jawabannya yang hanya anggukkan kepala itu. Sementara yang lain juga turut menunggu, jawaban apa yang akan diberikan Teh Kinar pada kami. “Bang Bruno teh kan kasep pisan. Badannya juga bagus kaya artis. Atletis gitu. Siapa atuh yang enggak bakal suka sama Bang Bruno.” Mendengar perkataan Teh Kinar yang demikian, kami bertiga saling tatap tak percaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN